1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan
yang luas lautnya mencapai dua per tiga dari luas wilayahnya, sehingga memiliki
daerah terumbu karang yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kondisi tersebut menempatkan Indonesia
sebagai negara yang kaya akan plasma nutfah yang potensial untuk dikembangkan.
Kepulauan Wakatobi ini terdiri dari 39 gugusan pulau, 3 karang
gosong dan 5 atol. Terumbu karang di
kepulauan ini terdiri dari karang tepi (fringing
reef), gosong karang (patch reef)
dan atol. Wakatobi merupakan singkatan dari nama 4 pulau besar yang ada di
kawasan tersebut, yaitu Pulau Wangi-wangi,
Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko yang relatif kering,
berbukit-bukit dan ditumbuhi oleh hutan tropis yang kering, sedangkan
pulau-pulau yang lain berukuran relatif kecil (COREMAP, 2008).
Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,menunjang
budidaya, pariwisata dan rekreasi (UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya).
Penataan zona pada kawasan Taman nasional Wakatobi ( TNW ) diperlukan
dalam rangka pengelolaan kawasan dan potensi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya secara efektif guna memperoleh manfaat yang lebih optimal dan
lestari. Keberadaan zonasi dalam sistem pengelolaan
taman nasional menjadi sangat penting, tidak saja sebagai acuan dalam
menentukan gerak langkah pengelolaan dan pengembangan konservasi di taman
nasional, tetapi sekaligus merupakan sistem perlindungan yang akan
mengendalikan aktivitas di dalam dan disekitarnya.
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang sangat penting bagi
keberlanjutan sumberdaya yang ada di kawasan pesisir dan lautan. Namun dibalik
potensi tersebut aktivitas manusia dalam memanfaatkan potensi sumber daya terumbu
karang atau lingkungan di sekitarnya, sering tumpang tindih, dan bahkan banyak
di antara aktivitas tersebut, baik yang sengaja maupun tidak sengaja, telah
menyebabkan kerusakan terumbu karang (Supriharyono, 2000).
Keanekaragaman spesies ikan karang yang tinggi,
disebabkan oleh bervariasinya habitat yang terdapat di terumbu karang. Terumbu
karang tidak terdiri dari karang tetapi juga daerah pasir, bermacam–macam gua
dan celah, daerah alga, dan juga perairan yang dangkal dan dalam serta adanya
zonasi terumbu karang.
Seperti yang kita ketahui
kondisi terumbu karang di suatu wilayah perairan sangat mempengaruhi jumlah
komunitas ikan karang yang hidup dan berkembang di daerah tersebut. Oleh sebab
itu, semakin baik kondisi terumbu karang pada suatu ekosistem perairan makan
jenis dan kelimpahan ikan karang juga akan melimpah.
Kegiatan pariwisata dan pemanfaatan lokal
di kawasan
pulau Hoga
walaupun secara nyata telah mendatangkan keuntungan ekonomi, namun
secara ekologis dapat merusak ekosistem terumbu karang akibat aktivitas diving secara terus-menerus, baik untuk
keperluan penelitian maupun pelatihan menyelam yang secara tidak sengaja
menginjak terumbu karang hidup. Selain itu, meskipun pulau Hoga sudah
ditetapkan sebagai Zona Pariwisata dan Zona Pemanfaatan Lokal oleh Taman
Nasional Wakatobi (TNW), tetap saja masih ada aktivitas penangkapan ikan karang
secara ilegal oleh masyarakat suku Bajo dengan menggunakan alat tangkap yang
tidak ramah lingkungan seperti bahan beracun potasium dan bom ikan.
1.1 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah :
1.
Menganalisa
kondisi terumbu karang di sekitar Perairan Pulau Hoga, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
2.
Mengidentifikasi
jenis dan menganalis kelimpahan ikan karang yang hidup di sekitar Perairan Pulau Hoga.
3.
Menganalisa
kondisi ekologi terumbu karang dan ikan karang yang hidup disekitar Perairan Pulau Hoga.
4.
Menganalisa
parameter perairan yang menjadi faktor pembatas kehidupan terumbu karang.
1.2 Batasan
Masalah
Studi ini dibatasi pada permasalahan :
1. Kondisi terumbu karang ditinjau dari tutupan
karang hidup (karang keras acropora dan
non acropora) dan karang lembut (soft coral).
2. Mengidentifikasi jenis dan kelimpahan ikan
karang di Perairan
Pulau Hoga.
3. Kondisi ekologi terumbu karang dan ikan karang
ditinjau dari indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominasi (C).
4. Analisa parameter pembatas ditinjau dari suhu,
kecerahan, salinitas, pH dan kecepatan arus
yang menjadi parameter pembatas terumbu karang dan ikan karang.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Terumbu Karang
Karang
termasuk dalam anggota filum cnidaria yang memiliki bermacam-macam bentuk
seperti ubur-ubur, hydroid, Hydra air
tawar, dan anemon laut. Karang dan anemon laut adalah anggota taksonomi klas
yang sama yaitu Anthozoa. Perbedaan
yang utama bahwa karang menghasilkan kerangka luar dari kalsium karbonat,
sedangkan anemon tidak. Karang dapat
hidup berkoloni atau sendiri, tetapi hampir semua karang hermatipik merupakan
koloni dengan berbagai individu hewan karang atau polip menempati mangkuk kecil atau koralit dalam kerangka yang massive
(Nybakken, 1992).
Menurut
Vaughan dan Wells, (1943) dalam Supriharyono
(2000), terumbu karang (coral reefs)
merupakan organisme yang hidup didasar periran laut dangkal terutama di daerah
tropis. Terumbu karang terutama disusun oleh karang-karang jenis anthozoa dari
klas Sclerectinia, yang mana termasuk hermatypic
coral atau jenis karang yang mampu membuat bangunan atau kerangka karang
dari kalsium karbonat. Struktur batuan kapur tersebut (CaCO3) cukup
kuat sehingga mampu menahan gaya gelombang air laut.
Berkaitan
dengan terumbu karang disini dibedakan antara binatang karang (reef coral) sebagai individu organisme
atau komponen masyarakat, dan terumbu karang (coral reef) sebagai suatu ekosistem, yang termasuk didalamnya
organisme-organisme karang. Ada dua tipe karang, yaitu karang yang membentuk
bangunan kapur (hermatypic corals)
dan yang tidak dapat membentuk bangunan kapur (ahermatypic corals). Kemampuan hermatypic
corals membentuk bangunan kapur tidak lepas dari proses hidup binatang ini.
Binatang karang ini dalam hidupnya bersimbiose dengan sejenis algae (zooxanthellae) yang hidup
dijaringan-jaringan polip binatang karang tersebut, dan melaksanakan
fotosintesa. Hasil samping dari proses fotosintesa tersebut adalah endapan
kapur, kalsiaum karbonat, yang struktur dan bangunannya khas. Cirri ini
akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies binatang karang. Karena
aktivitas fotosintesa tersebut, maka peran cahaya matahari sangat penting bagi hermatypic corals. Sehingga jenis
binatang karang ini umumnya hidup di perairan pantai atau laut yang cukup
dangkal, yang mana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan
tersebut. Disamping itu, untuk hidupnya binatang karang membutuhkan suhu air
yang hangat dengan suhu optimum berkisar antara 25-29°C (Wells, 1957 dalam Supriharyono, 2000). Karena sifat
hidup ini ekosistem terumbu karang umumnya tumbuh di daerah tropis, walaupun
ada yang tumbuh di daerah sub-tropis.
2.2 Tipe-Tipe
Terumbu Karang
Menurut Supriharyono (2000), dikenal beberapa macam
bentuk pertumbuhan karang, di antaranya yaitu globose, ramose, branching, encrusting, plate, fragile
branching, encrusting, plate, foliate, dan nicro atol. Bentuk-bentuk pertumbuhan ini menurut beberapa
ahli dipengaruhi oleh beberapa faktor alam, terutama oleh level cahaya dan tekanan gelombang. Menurut Chappell (1980) dalam Supriharyono (2000) ada empat faktor lingkungan
yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang yaitu faktor cahaya, Hydrodinamis,
sedimen, dan sub-areal exposure.
Pembentukan terumbu karang merupakan suatu
proses yang lama dan kompleks. Adanya
perbedaan dasar dari kebutuhan akan cahaya matahari, maka secara ekologi karang
dapat di bedakan menjadi dua kelompok. Kelompok yang pertama tumbuh terbatas di
daerah hangat dengan penyinaran yang cukup karena adanya symbion algae dalam jaringan tubuhnya yang disebut karang
hermatipik atau karang pembentuk terumbu karang. Kelompok kedua adalah karang
yang tumbuh dan berkembang di tempat yang tak terbatas dan tidak mempunyai
symbion disebut ahermatipik atau karang bukan pembentuk terumbu karang.
Perbedaan antara karang hermatipik dan ahermatipik terletak pada kemampuan
untuk membentuk terumbu karang dimana hermatipik tumbuh
lebih cepat dan
mendeposit kapur (CaCO3) jauh lebih cepat daripada karang ahermatipik (Supriharyono,
2000).
Menurut Timotius
(2003), karang atau disebut polyp
memiliki bagian-bagian tubuh terdiri dari:
1. Mulut dikelilingi oleh tentakel
yang berfungsi untuk menangkap mangsa dari perairan serta sebagai alat
pertahanan diri.
2. Rongga
tubuh (coelenteron) yang juga merupakan saluran pencernaan (gastrovascular).
3.
Dua lapisan tubuh yaitu ektodermis dan endodermis yang lebih umum disebut gastrodermis karena berbatasan dengan saluran
pencernaan. Di antara kedua lapisan terdapat jaringan pengikat tipis yang
disebut mesoglea. Jaringan ini terdiri dari sel-sel, serta kolagen,
dan mukopolisakarida. Pada sebagian
besar karang, epidermis akan menghasilkan material guna membentuk rangka luar
karang, material tersebut berupa kalsium karbonat (kapur).
Karang pembentuk terumbu bersama algae kalkareus dan beberapa biota yang
berasosiasi dalam komunitas terumbu karang mengeluarkan bahan keras. Bahan ini
merupakan kerangka mineral atau material yang akan tetap tinggal di dalam
jaringan sampai biota-biota tersebut mati. Scleractinian atau karang batu sebagai pembentuk terumbu,
sedangkan algae kalkareus dan biota lain penghasil kapur berfungsi sebagai
penyemen atau penyatu kerangka dari material-material yang dibentuk oleh karang
batu. Walaupun karang batu dan koralin algae merupakan pembentuk utama terumbu
karang, namun berbagai biota yang hidup melekat pada terumbu karang juga
mempunyai andil sebagai penyumbang material (Suharsono, 2003).
Menurut Nybakken (1992) berdasarkan tipe tumbuhanya, terumbu karang
dibedakan menjadi 3 tipe dasar yaitu :
1. Karang tepi (Fringing reef), yakni terumbu karang yang tumbuh di luar
suatu pulau, bisa sejajar garis pantai.
2. Karang pembatas (Barrier reef), yakni terumbu karang yang tumbuh di luar suatu
pulau atau kontinen yang membentuk sebuah laguna (goba).
3. Karang atol, yakni terumbu karang yang tumbuh
melingkar seperti cincin, di bagian tengah membentuk sebuah laguna (goba)

Gambar 1. Formasi dan tipe
terumbu karang (Nonji, 1987)
2.3
Faktor–Faktor Pembatas Terumbu Karang
Keanekaragaman, penyebaran dan pertumbuhan pada karang hermatypic
tergantung pada kondisi lingkungannya. Kondisi ini pada kenyataannya tidak
selalu tetap, akan tetapi seringkali berubah karena adanya gangguan, baik yang
berasal dari alam atau aktivitas manusia. Gangguan dapat berupa factor fisik,
kimia, dan biologis. Faktor-faktor fisik-kimia yang diketahui dapat
mempengaruhi kehidupan atau laju pertumbuhan karang, antara lain adalah cahaya
matahari, suhu, salinitas, dan sedimen. Sedangkan faktor biologis, biasanya
berupa predator atau pemangsa.
Kehidupan terumbu karang sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor pembatas seperti berikut ini (Nontji, 1987) :
1. Kedalaman dan Cahaya
Intensitas cahaya yang cukup sangat dibutukan oleh algae (zooxanthellae) yang bersimbiosis dengan
karang untuk melakukan fotosintesis. Terumbu karang umumnya tumbuh dengan baik
di daerah tropis pada kedalaman kurang dari 25 meter, dan tidak dapat
berkembang pada perairan dengan kedalaman lebih dari 50-70 meter.
2. Suhu
Suhu air adalah faktor yang sangat penting
dalam pertumbuhan terumbu karang. Perkembangan terumbu karang yang paling
optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 23-25oC,
namun terumbu karang dapat mentoleransi suhu sampai dengan 36 oC. Di
Indonesia yang suhu rata-rata tahunannya cukup tinggi, suhu yang baik untuk
pertumbuhan terumbu karang berkisar antara 25-29 oC.
3. Salinitas
Karang hermatipik adalah organisme lautan sejati yang hidup pada dasar
perairan dan tidak dapat bertahan pada salinitas air laut yang jelas menyimpang
dari salinitas air laut yang normal (32 - 35‰).
4. Endapan dan Sedimen
Kebanyakan karang pembentuk terumbu tidak dapat bertahan dengan endapan
berat yang menutupinya dan meyumbat struktur pemberian makanannya. Sedimentasi
juga mengurangi cahaya yang di butuhkan untuk fitosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan karang.
5. Sirkulasi Air
Terumbu karang biasanya lebih berkembang pada daerah yang mengalami
gelombang atau arus yang cukup besar. Koloni karang dengan kerangka-kerang yang
padat dan massive dari kalsium
karbonat (CaCO3) tidak akan rusak. Pada saat yang sama, gelombang-gelombang itu juga
memberikan sumber air yang segar, member oksigen, dan menghalangi pengendapan
pada koloni. Gelombang itu juga membawa nutrient dan unsur hara serta plankton
yang di butuhkan oleh koloni karang.
2.4 Sebaran Terumbu
Karang di Indonesia
Terumbu karang di Indonesia tersebar mulai dari
Sabang hingga Utara Jayapura. Sebaran
karang tidak merata di seluruh perairan Indonesia, ada
daerah tertentu dimana karang tidak dapat tumbuh dengan baik dan pada daerah
lainnya tumbuh sangat baik. Daerah di sekitar Sulawesi,
Maluku, Sorong, NTB, dan NTT merupakan daerah yang sangat baik untuk pertumbuhan karang. Laut sekitar
Sulawesi diyakini sebagai pusat keanekaragaman karang di dunia dan merupakan
salah satu lokasi asal-usul karang yang ada di dunia saat ini. Karang yang ada di dunia berasal
dari laut sekitar Karibia dan laut sekitar Sulawesi (Suharsono, 2004).
Karang tumbuh dengan baik dan mencapai puncaknya di sekitar perairan
Sulaweasi, Maluku, Halmahera, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Pulau-pulau Raja Ampat, Pantai Utara Papua Barat, Pulau-pulau Aru dan Kei.
Sebaran karang di daerah ini hampir merata di sekeliling pulau. Karang tidak
tumbuh di sepanjang utara Papua Barat oleh karena banyaknya sungai yang
bermuara disepanjang pantai dan dasar yang berlumpur. Karang tumbuh dengan baik
dibagian timur Indonesia secara vertical maupun horizontal dari tempat yang dangkal hingga kedalaman lebih dari 30 meter. Karang tumbuh oleh karena faktor alam yang sangat mendukung seperti adanya pola arus, air yang jernih,
tidak banyak sungai besar, dan rugositas pantai yang tinggi. Pola arus yang mengalir secara terus menerus
dari Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang lebih dikenal sebagai arus
lintas Indonesia, menjamin tersedianya makanan bagi karang, air yang jernih, substrat dasar keras dan
lekuk–lekuk pantai yang dalam serta sedikitnya sedimentasi yang terbawa oleh sungai
merupakan jaminan bagi pertumbuhan karang yang ideal (Suharsono, 2004).
Connel (1978) dalam
Supriharyono (2000), menyatakan bahwa tingginya keanekaragaman jenis karang di
daerah tersebut umumnya berada dalam kondisi yang tidak seimbang, yang mana
apabila tidak ada “gangguan”, keanekaragamannya akan turun. Keanekaragaman yang
tinggi terjadi apabila ada “gangguan” (disturbance),
dalam skala menengah (intermediate
disturbance), baik pada frekuensinya maupun intensitasnya.
2.5
Manfaat Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang mempunya manfaat yang beranekaragam. Manfaatnya tidak hanya berhubungan dengan biota laut sebagai tempat
tinggalnya. Terumbu karang merupakan penunhang produksi perikanan, sumber
makanan maupun industri, dan menjadi salah satu alternative objek wisata bahari
yang ditawarkan pada wisatawan domestik maupun mancanegara.
Menurut Supriharyono (2000), manfaat ekosistem terumbu karang adalah
sebagai berikut:
1. Sumber makanan
Ikan karang, penyu, udang barong, octopus, conches, kerang, oyster dan
rumput laut merupakan sumber makanan bagi manusia yang terdapat di ekosistem
terumbu karang, dan banyak dimanfaatkan oleh nelayan, baik untuk dimakan
sendiri maupun untuk dijual. Pada umumnya para nelayan menangkap ikan-ikan
karang hanya untuk dikonsumsi sendiri, namun lama kelamaan ternyata peminat
daging ikan-ikan karang cukup banyak, sehingga laku untuk di jual.
Hal itu sejalan dengan Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1982 tentang
Pengembangan budidaya laut yang menitikberatkan pada pemanfaatan bagian-bagian
perairan Indonesia yang kondisinya memungkinkan sebagi budidaya laut. Salah satu sasaran Kepres adalah meningkatkan
penghasilan nelayan petani ikan, mencukupi kebutuhan masyarakat akan gizi serta
perluasan kerja. Beberapa jenis mahluk hidup laut yang
dapat dipergunakan sebagai sumber makanan adalah ikan-ikan karang,
echinodermata, molusca, rumput laut, dan udang.
2. Bahan obat-obatan
Menurut Weber Van Bosse (Sibolga Expedition 1899-1900) diperairan
Indonesia ditemukan 782 spesies rumput laut, yang terdiri dari 179 algae hijau,
134 algae coklat, dan 452 algae merah (Nontji,1987). Rumput selain dapat di manfaatkan sebagai bahan makanan, juga dapat digunakan sebagai
bahan obat-obatan. Beberapa jenis algae ini dimanfaatkan sebagai bahan pembuat
agar-agar, algin dan karagenan. Agar-agar banyak digunakan pada industry
makanan untuk bahan penyeimbang dan penebalan. Pada industri pharmaceutical dan
penelitian mikrobiologis agar-agar digunakan untuk media kultur mikroorganisme.
Sedangkan pada industri kosmetik, agar-agar digunakan untuk cream, lotion,
sabun, dan minyak.
3. Wisata bahari
Di sektor wisata, laut menjadi salah satu pemikat wisatawan asing maupun
domestik. Seperti diketahui, Indonesia mempunyai potensi untuk mengembangkan sektor wisata
bahari dengan memanfaatkan keindahan laut yang dimiliki. Wisata
bahari menjadi salah satu produk pariwisata penting yang dapat ditawarkan pada
wisatawan baik asing maupun domestik. Beberapa perusahaan asing juga telah melakukan
kerjasama dengan Indonesia untuk mengemas wisata bahari dalam paket kapal
pesiar. Wisatawan dapat menikmati keindahan kawasan perairan laut, mulai
menikmati sinar matahari daerah tropis, memancing, maupun adventure cruise seperti snorkling
dan diving.
4. Ornamental dan
bahan aquarium ikan laut
Ornamen tersebut biasanya di buat dari cangkang molusca, akar bahar,
cangkang penyu, karang mati atau bahan langsung dari bahan tersebut yang
diawetkan, seperti penyu, cangkang moluska, kerang mutiara, dan akar bahar.
Ornament tersebut banyak diminati oleh para wisatawan.
Ikan-ikan karang biasanya mempunyai warna yang sangat indah, disamping
itu bentuknya yang sering unik, memberikan kesan tersendiri bagi para
wisatawan. Ikan-ikan tersebut banyak yang dijadikan hiasan dalam aquarium.
5. Bahan bangunan
Batu-batu karang mati banyak ditambang (diambil) dari terumbu karaang
untuk produksi kapur, bahan bangunan sebagai pengganti batu bata, untuk
konstruksi, untuk produk kalsium karbonat dan untuk penahan gelombang. Selain itu
pasir dari karang banyak ditambang untuk produksi kapur untuk pertanian dan bahan
campuran pembuat semen. Demikian pula banyak batu-batu karang yang digunakan
untuk bahan pengisian daerah reklamasi pantai.
6. Penahan gelombang
dan pelabuhan
Secara alami keberadaan terumbu karang dapat melindungi pantai dari
bahaya abrasi. Demikian pula breakwater
alami ini juga berfungsi untuk melindungi back
reef dari gelombang besar. Laguna di daerah goba atau daerah back reef bisa sangat dalam dan sangat
jernih, sehingga terumbu karangnya bisa tumbuh sangat subur. Disamping itu
karena bebas dari badai atau ombak besar, laguna di daerah tersebut sering
dimanfaatkan untuk pelabuhan pendaratan ikan perahu dan kapal.
2.6 Faktor Penyebab Kerusakan Terumbu Karang
Dalam sepuluh tahun terakhir ini kondisi terumbu karang Indonesia
mengalami penurunan sampai pada tingkat yang menghawatirkan karena adanya
berbagai faktor penyebab. Merosotnya kondisi terumbu karang dengan intensitas
tinggi dan skala yang besar, bukan saja
akan berdampak bagi manusia itu sendiri, namun juga menyulitkan pulihnya
kondisi terumbu karang. Hal ini disebabkan karena untuk menjadi pulih kembali
diperlukan waktu yang relatif lama dan hanya mungkin terjadi dalam kondisi yang
sesuai dengan yang diperlukan oleh hewan karang.
Rusaknya ekosistem terumbu karang banyak disebabkan karena ketidaktahuan
manusia akan manfaat terumbu karang baik sebagai sumberdaya alam, pariwisata
maupun lingkungan. Adapun hal diatas mempengaruhi dalam pelestarian terumbu
karang. Menurut Supriharyono (2000), hal ini dapat dikelompokkan sebagai
kegiatan manusia yang mengakibatkan kerusakan terumbu karang tersebut antara
lain adalah :
1.
Penambangan
karang
2. Penangkapan ikan:
(a). Penggunaan bom rakitan
(b). Penggunaan bahan beracun (potasium sianida)
(c). Penggunaan alat tangkap bubu tambun
(d). Penggunaan jaring
3. Pencemaran lingkungan perairan
4. Pengembangan daerah wisata
5.
Pembangunan wilayah daerah
2.7 Ikan Karang
Indonesia termasuk kedalam wilayah
perairan Indo-Pasifik dan merupakan perairan yang terkaya dengan keanekaragaman
hayatinya. Kenyataannya menunjukkan bahwa daerah pesisir dimana ekosistem ini
berada mendapatkan tekanan yang besar, baik karena terbatasnya jangkauan
nelayan maupun berbagai kegiatan di darat yang membuang limbah di laut. Hal ini
memungkinkan berkurangnya populasi pada perairan tersebut.
Menurut Nybakken (1992) ikan karang merupakan organisme
yang sangat mencolok pada ekosistem terumbu karang sehingga mudah dan sering
ditemui. Keberadaannya menjadikan terumbu karang sebagai ekosistem yang kaya di
planet ini. Keanekaragaman ikan karang ditandai dengan banyaknya jenis dengan
berbagai ukuran. Salah satu penyebab tingginya keanekaragaman ikan karang adalah
karena variasi habitat terumbu karang. Jenis
ikan-ikan karang tersebut yang beragam, tetapi tingkah laku dan interaksi diantara
ikan-ikan karang tersebut juga sangat bermacam-macam.
Ikan-ikan
penghuni dasar hidup di sekitar kepala karang batu dan pada dasar pasir yang
terdapat diantara karang-karang tersebut. Karang massive yang biasanya tidak
mempunyai lubang-lubang atau gua-gua banyak dikunjungi ikan-ikan yang memanen
polip-polip karang seperti ikan kakatua, ikan kupu-kupu, dan lain-lain
(Romimohtarto, 2007).
Adapun Pengelompokan
Ikan Karang Berdasarkan Periode Aktif Mencari Makan:
1.
Ikan Nokturnal
Adalah
ikan karang yang aktif ketika malam hari, contohnya pada ikan-ikan dari Suku
Holocentridae (Swanggi), Suku Apogoninade (Beseng), Suku Hamulidae.
Priacanthidae (Bigeyes), Muraenidae (Eels), Seranidae (Jewfish) dan beberapa
dari suku dari Mullidae (goatfishes) dan lain-lain.
2.
Ikan Diurnal
Adalah
ikan karang yang aktif dan mencari makan ketika siang hari, contohnya adalah pada
ikan-ikan dari Suku Labraidae (wrasses), Chaetodontidae (Butterflyfishes), Pomacentridae
(Damselfishes), Scaridae (Parrotfishes), Acanthuridae (Surgeonfishes), Bleniidae
(Blennies), Balistidae (triggerfishes), Pomaccanthidae (Angelfishes), Monacanthidae,
Ostracionthidae (Boxfishes),etraodontidae, Canthigasteridae dan beberapa dari
Mullidae (goatfishes).
3.
Ikan Crepuscular
Adalah
ikan karang yang aktif diantara kedua waktu tersebut, contohnya pada ikan-ikan
dari suku Sphyraenidae (Baracudas), Serranidae (groupers), Carangidae (Jacks), Scorpaenidae
(Lionfishes), Synodontidae (Lizardfishes), Carcharhinidae, lamnidae, Spyrnidae
(Sharks) dan beberapa dari Muraenidae (Eels).
Sedangkan
pengelompokan ikan berdasarkan peranannya adalah sebagai berikut :
1.
Ikan Target
Ikan
yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan
ekonomis penting atau ikan kosumsi seperti; Seranidae, Lutjanidae, Kyphosidae,
Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae Labridae (Chelinus, Himigymnus, choerodon) dan Haemulidae.
2.
Ikan Indikator
Sebagai
ikan penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat hubunganya dengan
kesuburan terumbu karang yaitu ikan dari Famili Chaetodontidae (kepe-kepe).
3.
Ikan Lain (Mayor Famili)
Ikan
ini umumnya dalam jumlah banyak dan banyak dijadikan ikan hias air laut
(Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae, Pomacanthidae Labridae, Apogonidae dll).
2. 7. 1 Interaksi Ikan Karang Dengan
Terumbu Karang
Tiap kumpulan ikan mempunyai
habitat yang berbeda, tetapi banyak spesies yang terdapat pada lebih dari satu
habitat. Umumnya tiap spesies mempunyai kesukaan (preferensi) terhadap habitat tertentu.
Contohnya, ikan–ikan pemakan polip (polip
grazer) menyukai glomerate corals,
ikan–ikan kecil pemakan zooplankton menykai branched
corals dan bersembunyi dibalik karang (Nybakken, 1992). Interaksi ikan
karang dalam ekosistem terumbu karang dapat ditampilkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Interaksi ikan karang yang terjadi dalam ekosistem
terumbu karang (Nybakken, 1992).
Nybakken (1992), membahas
interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang dan menyimpulkan tiga bentuk
umum interaksi yang diperlihatkan dalam hubungan, yaitu :
a. Interaksi langsung, sebagai tempat
berlindung dari predator atau pemangsa terutama bagi ikan–ikan muda.
b. Interaksi dalam mencari makan, meliputi
hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk algae.
c. Interaksi tak langsung akibat struktur
karang dan kondisi hidrologi dan sedimen pada karang glomerate (seperti Porites sp) pada umunya tidak mempunyai
celah yang dalam, banyak terdapat ikan pemakan polip (polip grazer) seperti
ikan kepe–kepe (Chaetodontidae) dan
ikan pokol (Balistidae). Karang
bercabang (seperti Acropora Sp)
merupakan tempat berlindung bagi ikan kecil (seperti ikan Gobi dan ikan Betok
Laut) yang berenang keluar mencari makan berupa zooplankton dan segera kembali
ke terumbu. Asosiasi ikan karang dan habitatnya dapat di tampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Asosiasi ikan karang dan habitatnya (Nybakken, 1992)
Nybakken (1992) menyatakan bahwa interaksi ikan
karang yang terjadi
dalam ekosistem terumbu karang adalah :
1. Pemangsaan
Predator yang mampu merusak
koloni karang dan memodifikasi struktur terumbu karang dalah bintang laut (A. plancii) dan berbagai jenis ikan.
Pemangsaan pada koloni-koloni karang oleh ikan pada keadaan yang cukup berat
mungkin dapat mematikan koloni terumbu karang.
Ada dua kelompok ikan yang
secara aktif memakan koloni-koloni karang yaitu :
a.
Spesies–spesies
yang memakan polip karang seperti ikan buntal (Tetraodontidae), ikan pakol (Balistidae),
ikan kuli pasir (Monacanthidae), dan
ikan kepe – kepe (Chaetodontidae).
b.
Ikan
karang yang memindahkan polip karang untuk mendapatkan polip karang untuk
mendapatkan alga atau invertebrata yang hidup dalam polip karang. Kelompok ini
biasanya dari famili Scridae dan Achantudae.
2. Grazing
Alga berpotensi menjadi saingan
utama bagi terumbu karang dalam mendapatkan ruang hidup karena pertumbuhannya
yang lebih cepat dibandingkan karang. Kondisi ini tidak sampai terjadi karena
pertumbuhan alga dikendalikan dengan grazing yang dilakukan oleh beberapa
kelompok ikan dan invertabrata tertentu. Famili yang merupakan herbivora grazer adalah Siganidae, Pomacentridae, Achanthuridae dan Scaridae. Beberapa bulu babi juga melakukan grazer seperti Deadema
(Nybakken, 1992).
Tipe pemangsaan yang paling
banyak pada terumbu karang adalah karnivora, yaitu 50–70% dari spesies ikan.
Kelompok besar kedua adalah ikan herbivora dan pemakan karang (sekitar 15% dari
spesies ikan) dan yang paling penting dari kelompok ini adalah famili Scaridae dan Acanthuridae sisanya di klasifikasikan kedalam omnivora atau
multivora yaitu ikan–ikan dari famili Pomacentridae.
Terdapat juga ikan yang merupakan pemakan zooplankton dan umumnya
berukuran kecil yaitu ikan yang
membentuk kumpulan (Schooling), dari
famili Clupeidae dan Atherinidae.
3. Persaingan
Suatu
keistimewaan pada ekosistem terumbu karang adalah bahwa pada ekosistem ini
tidak terdapat ruang yang terluang karena semuanya telah ditutupi oleh karang.
Persaingan untuk memperoleh cahaya yang cukup dapat terjadi antara jenis karang
yang bercabang dan karang yang membentuk hamparan atau massive. Biasanya karang
yang bercabang tumbuh lebih cepat daripada karang yang membentuk hamparan atau
masif dan sering memperluas koloninya ke bagian atas dan lebih tinggi daripada
hamparan, menutupi karang hamparan dari cahaya matahari. Untuk mencegah
terjadinya penguasaan tempat dan memelihara keanekaragaman pada terumbu karang,
karang yang berbentuk massive dapat mencegah pertumbuhan yang cepat dari karang
bercabang dengan memakan jaringan hidup koloni karang yang menutupi mereka.
3. METODE
3. 1 Waktu dan Tempat
3. 2 Alat dan Bahan
Adapun
alat dan bahan yang digunakan selama pelaksanaan praktek ini adalah sebagai
berikut :
Tabel 1. Alat-alat yang digunakan dalam praktek
No
|
Alat
|
Spesifikasi
|
Jumlah
|
Kegunaan
|
|
1
|
Scuba
|
Fin, masker, BCD, Tabung, Pemberat
|
3 Unit
|
Sebagai alat selam
|
|
2
|
Roll meter 100 m
|
Ketelitian 1 Cm
|
1 Unit
|
Transek
|
|
3
|
Kamera bawah air
|
16 MP
|
1 Unit
|
Mengabadikan gambar terumbu karang
|
|
4
|
GPS
|
S60
|
1 Unit
|
Menentukan posisi stasiun pengamatan
|
|
5
|
DO meter
digital
|
Portable-Oxygen-Meter-LDOHQ10
|
1 Unit
|
Mengukur
Suhu,pH,DO
|
|
6
|
Windows shade drogue
|
Pelampung +
kayu + plastik + pemberat (m/s)
|
1 Unit
|
Menentukan arah
dan menghitung kecepatan arus
|
|
7
|
Refraktometer
|
Akurasi 1 (0/00)
|
1 Unit
|
Mengukur salinitas
|
|
8
|
Secchi disk
|
Tali berskala +
piring secchi + pemberat (meter)
|
1 Unit
|
Mengukur kecerahan
|
|
9
|
Buku identifikasi
ikan karang
|
REEF
FISH Identification SOUTH PASIFIC
|
1 Unit
|
Mengenali
jenis-jenis ikan karang
|
|
10
|
Buku identifikasi terumbu karang
|
Jenis-Jenis
Karang Di Indonesia
|
1 Unit
|
Mengenali
jenis-jenis terumbu Karang
|
|
11
|
Kapal
|
KM. Songampa dengan panjang ± 10 m
|
1 Unit
|
Sebagai sarana untuk ke lokasi Stasiun pengamatan
|
|
12
|
Alat tulis bawah air
|
Sabak, pensil 2B
|
1 Unit
|
Sebagai alat
tulis
|
|
3. 3 Metode.
3.3.1 Metode Penentuan Stasiun
Pengamatan
Sebelum melakukan
pengamatan, dilakukan survey dengan menggunakan metode observasi renang bebas ”
free swimming observation ”
yang dilakukan denga cara snorkling, bertujuan untuk memperoleh gambaran secara
umum daerah yang akan diambil datanya dan sebaran dasar dalam menentukan letak
stasiun pengamatan yang dianggap dapat mewakili oseanografi perairan dan
kondisi terumbu karang pada perairan Pulau Hoga. Lokasi pengamatan umumnya berada pada hamparan
terumbu karang. Terumbu karang itu sendiri bisa terdapat pada sekitar pulau
(mengelilingi suatu pulau). Pengukuran pada setiap lokasi dilakukan pada kedalaman dasar perairan 3
m sejajar garis pantai sebagai perwakilan kondisi dangkal dan 10 m sejajar
garis pantai sebagai perwakilan kondisi perairan dalam (DKP, 2008).
Dalam
melakukan pengambilan data, Pulau Hoga dibagi menjadi empat stasiun pengamatan
yang dianggap mewakili kondisi perairan. Pengambilan data dilakukan dengan
menarik transek garis sejajar garis pantai dimana terdapat gugusan terumbu
karang. Penentuan koordinat stasiun pengamatan diambil dengan menggunakan GPS.
Titik koordinat pada stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2 dan gambar peta berikut ini.
Tabel 2. Titik Koordinat Stasiun Pengamatan
Stasiun
|
Koordinat
|
Arah Transek
|
I
|
50 28’ 44,07”S dan 1230 45’ 39,4”E
|
1500
|
II
|
50 27’ 14,36”S dan 1230 45’ 33,7”E
|
400
|
III
|
50
27’ 44,16”S
dan 1230 46’ 52,1”E
|
1200
|
IV
|
50
28’ 40,07”S
dan 1230 47’ 14,62”E
|
900
|

Gambar 4. Stasiun
Pengamatan Pulau Hoga, Kabupaten
Wakatobi
3.3.2 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dibagi menjadi
2, yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan metode survey
langsung ke lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari studi literature,
dengan mengumpulkan beberapa literature yang terkait dan bersifat mendukung
dengan kegiatan yang dilakukan.
Pengumpulan data primer diambil dengan
metode survey, yaitu pengamatan secara langsung pada lokasi praktek, dengan
membagi lokasi pengamatan menjadi empat Stasiun pengamatan yaitu Stasiun I,
Stasiun II, Stasiun III, Stasiun IV, kemudian setiap stasiun dibagi menjadi dua
kedalaman, yaitu kedalaman 3 meter dan 10 meter. Pengamatan terumbu karang dan
ikan karang pada setiap stasiun dilakukan pada dua kedalaman tersebut.
Pengamatan kondisi terumbu karang dengan melihat langsung Benthic life form karang.
Untuk pengamatan ikan karang digunakan
metode Underwater Visual Census (UVC)
seperti yang disebutkan dalam Survey Manual For Tropical Marine Recources oleh
English (1994). Sedangkan untuk data sekunder didapat dari Balai Taman Nasional
Wakatobi (BTNW), TNC dan WWF Wakatobi dan masyarakat sekitar, serta
mengumpulkan beberapa literatur terkait yang mendukung kegiatan Praktek Akhir
ini.
1.
Pengamatan Kondisi Terumbu Karang
Metode
yang digunakan untuk pengamatan kondisi
terumbu karang adalah Metode Line
Intercept Transect (LIT). Pengambilan data dilakukan dengan cara kerja
sebagai berikut :
1.
Membuat
transek (sub stasiun) sebanyak tiga kali pada tiap lokasi (stasiun pengamatan).
2.
Menggunakan
GPS tegak lurus untuk mengetahui letak Stasiun satu, Stasiun dua, Stasiun tiga,
Stasiun empat..
3.
Pita
berskala (roll meter) di gunakan untuk membuat garis transek dengan ukuran
panjang satu transek 20 meter dengan tiga transek yang diletakkan pada reef cest kedalaman 2-5 meter atau reef slope kedalaman 8-10 meter serta
sejajar garis pantai. Untuk praktisnya roll meter di tarik sepanjang 80 meter,
kemudian transek pertama ditentukan dari titik 0 sampai titik 20 m, kemudian
diberi interval/jarak 10 m, transek kedua dimulai dari titik 40, dan seterusnya
transek ketiga dari titik 70 (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut,
2008).
4.
Mencatat
biota dasar perairan yang terdapat pada kedalaman 3 meter dan 10 meter dengan
pendekatan hingga 1 cm dalam transek yang telah dibentangkan.
5.
Mencatat
biota yang mengisi dasar perairan dengan metode pencatatan yang didasarkan pada
bentuk pertumbuhan.




Transek dipasang secara paralel terhadap
garis pantai (80 m)
|
|
|





10 m 10 m
![]() |
Gambar 5. Skema cara meletakkan garis transek (LIT) di lokasi kerja
(Manual Kesehatan
Karang (Reef Healt Monitoring),
Coremap.2009).
Posisi
penyelam ketika melakukan pengambilan data LIT dapat dilihat pada Gambar 6
berikut.

Gambar 6. Posisi pengambilan data LIT (Reef Watch Community
Monitoring Program, 2007)
2.
Pengamatan Ikan
Karang
Pengamatan
ikan karang menggunakan metode pencacahan visual bawah air atau underwater visual cencus (UVC) seperti yang disebutkan dalam Survey Manual For
Tropical Marine Recources oleh English (1994) dalam Terangi (2009). Pengamatan dan
penghitungan jumlah ikan karang secara kuantitatif dilakukan 5-15 menit setalah
transek diletakkan. Pengamatan ikan karang menggunakan metode pencacahan visual
bawah air (underwater visual cencus).
Pengamatan terhadap ikan karang ini dilakukan pada siang hari ketika pada
umumnya ikan karang beraktifitas.
Pengamat
berenang perlahan sepanjang garis transek dan mencatat ikan-ikan yang ditemui.
Luas pengamatan setiap transek berukuran 25 x (2 x 2,5) atau 125 meter persegi
dengan jarak pengamatan 2,5 meter ke sebelah kiri dan kanan. Jenis dan
kelimpahan individu ikan karang diamati pada setiap transek. Yang perlu
diperhatikan dalam pengamatan ikan karang yaitu tidak boleh menoleh ke belakang
untuk menghindari terjadinya pengulangan data yang diambil. Data ikan karang
ini dicatat pada sabak yaitu berupa data spesies ikan beserta jumlahnya.
Ikan-ikan
yang diamati dengan metode ini adalah ikan-ikan yang memenuhi kriteria sebagai
berikut :
a. Spesies ikan yang secara visual dan numerik dominan,
dengan perilaku tidak
tersamar.
b. Dapat diidentifikasi dengan mudah di bawah air.
c. Memiliki sifat yang berhubungan dengan
habitat lereng terumbu.
Di Indonesia,
metode visual sensus telah dimodifikasi, dimana untuk pengambilan data
menggunakan garis transek 70 meter, dengan luas area sensus (70 x 10) m2.
Jenis dan perkiraan jumlah ikan dicatat dalam data sheet kedap air.
Identifikasi jenis ikan menggunakan buku petunjuk bergambar (Kuiter dan
Tonozuka, 2001). Penyelaman pendahuluan dilakukan untuk membuat daftar spesies
baku ikan setempat. Ikan karang dikelompokkan menurut statusnya, seperti ikan
indikator, ikan major dan ikan target (English et al, 1994). Ikan indikator kebanyakan dari suku Chaetodontidae yang kehadirannya dapat
merefleksikan kondisi kesehatan karang. Ikan major adalah golongan ikan hias
dan non-ikan hias yang selalu berasosiasi dengan karang, baik sebagai penetap
maupun pelintas. Ikan target merupakan golongan ikan yang biasa dicari oleh
nelayan untuk dimakan.

Gambar
7. Cara pengambilan data ikan karang (English et,al 1997)
3. Parameter Pembatas Kehidupan Karang
Parameter lingkungan yang
merupakan faktor pembatas terumbu karang dan ikan karang yang diukur meliputi parameter fisika dan kimia
perairan yaitu suhu, kecerahan, salinitas dan kecepatan arus. Pengukuran ini
dilakukan bertepatan pada saat melakukan penyelaman. Pengukuran kondisi
perairan dilokasi praktek mencakup beberapa parameter yang mempengaruhi kodisi
terumbu karang itu sendiri adalah :
a.
Suhu
Pengukuran suhu dilakukan dengan cara
mencelupkan thermometer kedalam air laut
dengan posisi tubuh membelakangi sinar mata hari. Thermometer dicelupkan
beberapa detik lalu diangkat dengan bagian bawah thermometer masih berada pada
air laut tersebut. Usahakan bagian atas thermometer jangan bersentuhan dengan
tangan kita.
b.
Kecerahan
Pengukuran kecerahan dilakukan dengan
menggunakan alat yang bernama Secchi disk.
Secchi disk dicelupkan kedalam air
laut sampai untuk pertama kalinya tidak terlihat, catat berapa meter
kedalamannya, kemudian angkat secchi disk
tersebut secara perlahan-lahan sampai untuk pertama kalinya secchi disk tersebut terlihat. Setelah
kedua kedalaman tersebut kemudian rata-ratakanlah.
c. Arus
Untuk mengukur kecepatan arus
digunakan alat windows slade drogue. Untuk menggunakannya adalah masukkan
windows slade drogue ke permukaan air laut, kemudian lepaskan secara
perlahan-lahan. Pada saat windows shade
drag dilepas hidupkan stopwatch. Pada saat tali sudah menegang
matikan stopwatch, lalu catat waktu yang tertera pada stopwatch tersebut dan tentukanlah arah bergeraknya. Untuk
perhitungan kecepatannya adalah panjang tali pada saat menegang dibagi dengan
waktu yang dibutuhkan tali untuk menegang.
d. Salinitas
Pengukuran
salinitas dengan menggunakan refraktometer yang sudah dikalibrasi dan dilakukan
bersamaan dengan waktu pengambilan sampel, dengan cara meneteskan air sampel
yang akan diukur salinitasnya ke prisma sebanyak satu tetes dan air harus menutupi
semua prisma dan amatilah sekala yang ditunjukkan, besarnya sekala tersebut
merupakan nilai salinitasnya dengan satuan ‰.
Tabel 3.
Parameter pembatas yang
diukur dan alat yang digunakan
![]() |
Satuan
|
Alat yang
Digunakan
|
Suhu
|
˚C
|
Thermometer
|
Kecerahan
|
m
|
Sechidisk
|
Kecepatan Arus
|
cm/det
|
Windows droug
|
Salinitas
|
‰
|
Refraktometer
|
3. 4 Metode Analisis Data
3. 4. 1
Persentase Tutupan Karang
Persen penutupan didasarkan pada kategori dan persentase karang hidup (life form) dan karang mati. Semakin tinggi persen penutupan karang hidup
maka kondisi ekosistem terumbu karang semakin baik untuk potensi wisata bahari
dan semakin penting untuk dilindungi. Hasil pengukuran menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect) dimasukkan
dalam table ilustrasi pengulahan dan tutupan karang sebagaimana dalam Rahman, (2007) yang disajikan pada
Tabel 4.
Tabel 4. Ilustrasi Pengolahan Data LIT
Benthik life form
|
Kode
|
Panjang Koloni
|
Jumlah Koloni
|
% Tutupan
|
Hard Coral (Acropora)
|
|
|
|
|
Branching
|
ACB
|
|
|
|
Tabulate
|
ACT
|
|
|
|
Encrusting
|
ACE
|
|
|
|
Submassive
|
ACS
|
|
|
|
Digitate
|
ACD
|
|
|
|
Hard coral (non Acropora)
|
|
|
|
|
Branching
|
CB
|
|
|
|
Massive
|
CM
|
|
|
|
Encrusting
|
CE
|
|
|
|
Tabel 4. (lanjutan)
Benthik life form
|
Kode
|
Panjang Koloni
|
Jumlah Koloni
|
% Tutupan
|
Submassive
|
CS
|
|
|
|
Foliose
|
CF
|
|
|
|
Mushroom
|
CMR
|
|
|
|
Millepora
|
CME
|
|
|
|
Heliopora
|
CHL
|
|
|
|
Dead
sclectinia
|
|
|
|
|
Dead coral
|
DC
|
|
|
|
(With alga covering)
|
DCA
|
|
|
|
Alga
|
|
|
|
|
Macro Alga
|
MA
|
|
|
|
Turf Alga
|
TA
|
|
|
|
Coraline
|
CA
|
|
|
|
Halimeda
|
HA
|
|
|
|
Assemblage
|
AA
|
|
|
|
Other Fauna
|
|
|
|
|
Soft Coral
|
SC
|
|
|
|
Spong
|
SP
|
|
|
|
Zoanthids
|
ZO
|
|
|
|
Others
|
OT
|
|
|
|
Abiotik
|
|
|
|
|
Sand
|
S
|
|
|
|
Rubble
|
RB
|
|
|
|
Silt
|
SI
|
|
|
|
Water
|
WA
|
|
|
|
Rock
|
RCK
|
|
|
|
Total
|
|
|
|
|
Data persen penutupan karang hidup yang diperoleh
berdasarkan metode Linear Intercept Ttransect
(LIT) dihitung berdasarkan persamaan English et,al (1997) dalam
Terangi (2009) adalah sebagai berikut:
![]() |
dimana :
Ni = persen penutupan karang life form jenis ke-i
Ii = panjang intersep life form jenis ke-i
L = panjang tali transek (50 m)
Kategori kondisi dalam
persentase tutupan karang hidup berdasarkan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 04 tahun 2001, Kriteria Baku Kerusakan
Terumbu Karang sebagai berikut:
· Rusak bila persen
tutupan karang hidup antara 0 - 24,9%
· Sedang bila persen tutupan karang hidup antara 25 - 49,9%
· Baik bila persen
tutupan karang hidup antara 50 - 74,9%
· Sangat baik bila
persen tutupan karang hidup antara 75-
100%
Indikator kesehatan terumbu
karang dapat terdiri dari : kondisi fisik ekologi terumbu karang (dalam bentuk
persen tutupan karang batu hidup) dan biota yang berasosiasi dengan terumbu
karang yaitu :
· Populasi biota berasosiasi dengan terumbu
karang (megabentos),
· Populasi ikan terumbu karang yang terdiri
dari ikan target, ikan indikator dan ikan major.
3.4.2 Indeks Mortalitas Karang, Keseragaman (H’),
Keanekaragaman (C),
Dominasi (C) Terumbu Karang.
1. Indeks Mortalitas karang

![]() |
Keterangan : IM = Indeks Mortalitas
Indeks Mortalitas memiliki kisaran antara 0 -1. Nilai
indeks mortalitas yang mendekati 1 menunjukan bahwa terjadi perubahan yang
berarti dari karang hidup menjadi karang mati, sedangkan nilai yang mendekati 0
menunjukan bahwa tidak ada perubahan berarti bagi karang hidup yang mati.
2. Indeks Keanekaragaman (H’)
Indeks Keanekaragaman atau keragaman
(H') menyatakan keadaan populasi organisme secara matematis agar mempermudah dalam
menganalisa informasi jumlah individu masing-masing spesies karang dalam suatu
komunitas habitat karang. Indeks keanekaragaman terumbu karang dapat dihitung
dengan rumus berdasarkan Ludwig
dan Reynolds (1988) dalam
Terangi (2009) yaitu:

Dengan
: H’ =
Indeks Keanekaragaman
S =
jumlah spesies karang
pi = perbandingan
antara jumlah panjang karang genus ke-i (ni) dengan jumlah panjang genus
karang (N) dalam mm
i = 1,2,3,…,n.
Log digunakan
untuk komunitas karang karena karang merupakan biota penyusun substrat dasar.
Kriteria bagi Indeks Keanekaragaman adalah jika
H’ ≤ 2,0 :
keanekaragaman rendah
2,0 < H’ ≤ 3,0 :
sedang
H’ ≥ 3,0 :
tinggi
3.
Keseragaman (E)


Dengan
: H’ maks = Indeks Keanekaragaman maksimum
Kisaran
yang digunakan untuk Indeks Keseragaman adalah :
0,0 < E ≤ 0,5 :
komunitas tertekan
0,5 < E ≤ 0,75 :
komunitas labil
0,75 < E ≤ 1,0 :
komunitas stabil
4.
Dominansi (C)
Nilai
Indeks Keseragaman dan nilai indeks keanekaragaman yang kecil biasanya
menandakan adanya dominasi suatu jenis terhadap jenis-jenis lain. Dominasi
jenis yang cukup besar akan mengarah pada kondisi ekosistem atau komunitas yang
labil atau tertekan, rumus yang digunakan adalah (Ludwig
dan Reynolds (1988) dalam Terangi
(2009).


Kisaran Indeks Dominasi dinyatakan sebagai berikut :
0,0 < C≤ 0,5 :
dominasi rendah
0,5< C ≤0,75 : dominasi sedang
0,75< C ≤ 1,0 : dominasi
tinggi
3. 4. 3.
Kelimpahan Ikan Karang

Xi = xi / n
Keterangan :
Xi : Kelimpahan ikan jenis ke-i
xi : Jumlah ikan jenis ke-i
n : Luas transek pengamatan
1. Indeks Keanekaragaman (H') Ikan karang
Indeks
keanekaragaman adalah ukuran kekayaan komunitas dilihat dari jumlah spesies
dalam suatu kawasan berikut jumlah individu dalam tiap spesiesnya (Krebs,
1994). Indeks ini juga mengasumsikan bahwa semakin banyak jumlah anggota
spesies maka semakin penting peranan spesies itu dalam komunitas tersebut,
walaupun hal ini tidak selalu berlaku. Semakin banyak spesies maka komunitasnya
akan semakin beragam dan nilai indeks keanekaragamannya pun semakin besar.
Indeks
keanekaragaman yang paling umum digunakan adalah indeks keanekaragaman Shannon-Wiener yang
diterapkan pada komunitas acak dalam ukuran yang besar dimana jumlah total
spesies diketahui (Rudi,E.
Muschin,I. 2011).

Keterangan : H’: Indeks
Keanekaragaman Shannon-Wiener
Pi : Perbandingan jumlah ikan karang spesies ke-i
(ni) terhadap jumlah total Ikan karang (N) = ni/N
n : Jumlah spesies ikan karang
Kisaran nilai indeks
keanekaragaman (H’) berdasarkan modifikasi kisaran yang diklasifikasikan oleh
Krebs (1994) adalah sebagai berikut :
H’ < 2,30 : Keanekaragaman populasi kecil,
tekanan . ekologis kuat
2,30
< H’ < 6,90 : Keanekaragaman populasi sedang
H’ > 6,90 : Keanekaragaman populasi tinggi,
terjadi keseimbangan ekosistem
Jika H’ = 0 berarti komunitas
hanya terdiri dari satu spesies (jenis tunggal) sedangkan apabila nilai H’
mendekati maksimum berarti semua spesies dalam komunitas tersebut menyebar
merata.
2. Indeks Keseragaman (E) Ikan
Karang
Keseimbangan
komunitas ikan karang dapat diketahui melalui indeks keseragaman populasi (E).
Indeks keseragaman populasi adalah ukuran kesamaan jumlah individu antar
spesies dalam suatu komunitas, yang merupakan perbandingan antara keseragaman
dengan keseragaaman maksimum. Perhitungan indeks keseragaman modifikasi Eveness
adalah seperti berikut :

Keterangan : E : Indeks
keseragaman (equitability) Eveness
H'maks
: Keanekaragaman spesies dalam keseimbangan
maksimum ln S
S : Jumlah spesies
Indeks keseragaman menunjukkan distribusi jumlah individu dalam spesies
yang ada. Indeks keseragaman mempunyai nilai berkisar antara 0-1 dengan kisaran
sebagai berikut (Rudi,E.
Muschin,I. 2011), yaitu :
E
> 0 : Keseragaman spesies
tinggi
0,4
< E < 0,6 : Keseragaman spesies
sedang
E
< 0,4 :
Keseragaman spesies rendah
Jika nilai
keseragaman mendekati 0 berarti dalam ekosistem tersebut terdapat kecenderungan
dominasi spesies tertentu yang mungkin disebabkan adanya ketidak stabilan
faktor lingkungan. Sedangkan jika nilai indeks mendekati 1, menunjukkan bahwa
ekosistem tersebut berada dalam kondisi relatif mantap dimana jumlah individu
tersebar merata dispesies yang ada (Rudi,E. Muschin,I. 2011).
3. Indeks Dominasi (C)

C = - ∑
(Pi)2
Keterangan :
C :
Indeks Dominasi Simpson
Pi :
Hasil bagi antara jumlah individu dari spesies ke-i (ni)
dengan total jumlah individu dalam komunitas (N).
Kisaran indeks dominasi (C)
terletak antara 0-1. Semakin mendekati 0 berarti cenderung tidak ada individu
yang mendominasi komunitas tersebut yang biasanya diikuti dengan nilai indeks
keseragaman yang besar. Sebaliknya apabila mendekati nilai 1, berarti ada
kecenderungan dominasi satu atau lebih spesies dalam komunitasnya dan biasanya
diikuti dengan nilai indeks keseragaman yang kecil (Krebs, 1994).
Kisaran nilai indeks dominasi yaitu :
0,00
< E ≤ 0,30 : Dominasi rendah
0,30
< E ≤ 0,60 : Dominasi sedang
0,60
< E ≤ 1,00 : Dominasi tinggi
3.5. Analisa Hubungan Persentase Tutupan Karang
Hidup dengan
Kelimpahan Ikan Karang
Analisa
hubungan kelimpahan ikan karang digunakan untuk mengetahui apakah terjadi
korelasi antara persentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan ikan karang.
Perhitungan analisa dengan menggunakan metode regresi linier sederhana menurut
Sudjana (2002), yaitu :

Y = a + bX
Dimana : Y = peubah tak bebas X
= peubah bebas
a = konstanta b = kemiringan
Hubungan antara kedua peubah
tersebut dapat dilihat berdasarkan nilai koefisien r2. Bila nilai
koefisien r2 medekati +1 menunjukan hubungan antara kedua peubah
tersebut positif sebaliknya bila nilai koefisien -1 menunjukan hubungan kedua
peubah sangat lemah atau mungkin tidak ada sama sekali (Sudjana,
2002).
titanium nipples for women - TITNCER ART
ReplyDeleteThe most important where to buy titanium trim fact about TITNCER ART is titanium trim hair cutter reviews the quality! All in all, its quality is what makes a TOTO style. If you want more of a TOTO titanium nitride coating service near me style, you titanium pan have to titanium security
r573v6ehavb398 cheap sex dolls,dog dildo,huge dildos,sex chair,silicone sex doll,real dolls,vibrators,Clitoral Vibrators,adult sex toys w028j1zpnys494
ReplyDelete