BAB III
METODE PENELITIAN
Praktek
Akhir ini dilaksanakan mulai dari tanggal 15 Februari 2012
s/d 15 Mei 2012, dengan lokasi praktek di
Pulau Kaledupa, Taman Nasioanal Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
3.2 Alat dan Bahan
Berikut
adalah alat dan bahan yang digunakan dalam praktek, antara lain :
Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan dalam Praktek
No
|
Alat
|
Kegunaan
|
Spesifikasi
|
1
|
Scuba
|
Untuk
menyelam
|
|
2
|
Roll
meter
|
Alat
transek karang
|
Satuan
inchi/meter, akurasi 1 cm
|
3
|
Kamera
bawah air
|
Mengabadikan
gambar terumbu karang
|
Merek
OLYMPUS 725 SW
7,1
MEGAPIXEL
|
4
|
GPS
|
Menentukan
posisi praktek
|
Merek
Garmin, 12 channel
|
5
|
Thermometer
|
Mengukur
suhu
|
Alcohol
(0C),
Akurasi
1 oC
|
6
|
Windows
|
Menentukan
arah dan menghitung kecepatan arus
|
Pelampung
+ kayu + plastic + pemberat (m/s)
|
7
|
Hand
Refraktometer
|
Mengamati
salinitas
|
Merek
atago (0/00)
|
8
|
Secchi
disk
|
Mengukur
kecerahan
|
Tali berskala *(akurasi 50 cm) + piring secchi +
pemberat (meter)
|
9
|
Buku
identifikasi terumbu karang
|
Mengenali jenis-jenis terumbu karang
|
Jenis-jenis
terumbu karang di Indonesia
|
10
|
Kapal
|
Sebagai sarana untuk pergi kelokasi praktek
|
Speed
Boad
|
3.3 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data diambil dengan metode survey yaitu pengamatan
secara langsung dengan membagi pulau menjadi enam
stasiun yaitu Stasiun 1, Stasiun 2, Stasiun 3, Stasiun
4, Stasiun 5, dan
Stasiun 6 sesuai titik – titik Zona Pariwisata dan Zona Perlindungan Bahari (Gambar 7). Setiap stasiun selanjutnya dibagi menjadi satu transek, dalam tiap pengamatan
karang. Pada pengamatan terumbu karang dilakukan pengamatan pada
kedalaman 5 meter, dan
10 meter karena diduga terdapat pengaruh kegiatan manusia pada Pulau ini.
Metode pengamatan karang menggunakan metode Transek Bentuk
Pertumbuhan (Lifeform Transect) seperti yang disebutkan dalam Survey Manual For Tropical Marine Resources
oleh English et.al., (1994). Untuk
mencari dan mengumpulkan data yang mendukung dalam Praktek Akhir ini dilakukan pula dengan mengumpulkan beberapa literatur yang terkait
serta mendukung dengan kegiatan yang dilakukan. Literatur yang akan digunakan
berupa text book, laporan, karya
ilmiah, makalah, majalah, dan sumber lainnya.
3.3.1
Metode Penentuan Stasiun
Setiap
melakukan pengamatan, posisi atau stasiun pengamatan dilakukan pencatatan dari
GPS (Global Positioning System) dan waktu pengambilan, hal ini di maksudkan
untuk mempermudah mengetahui titik atau pun lokasi pengambilan data, apabila
suatu saat ingin di lakukan pengambilan data di lokasi yang sama.
3.3.2 Metode Pengumpulan Data Karang
Metode yang di gunakan untuk pengambilan
data biota pengisi habitat dasar adalah metode transek garis menyinggung (LIT).
Metode line intercept transect (LIT)
adalah dilakukan dengan cara menyelam dan berenang mengikuti lintasan tali yang
di pasang melintang di atas permukaan terumbu karang. Pengukuran pada setiap lokasi
di lakukan di kedalaman 5 m sejajar garis pantai sebagai perwakilan
kondisi dangkal, dan 10 m sejajar garis pantai sebagai perwakilan kondisi
perairan dalam untuk terumbu karang. Pengamatan
biota pengisi habitat dasar di dasarkan pada bentuk pertumbuhan (Lifeform) seperti di sajikan pada gambar
8 (English et al., 1994).
Gambar 7 . Skema cara melakukan
garis transek di lokasi pengamtan
Direktorat Konservasi dan Taman
Nasional, 2006)
Semua bentuk pertumbuhan karang serta biota lainya yang
berada dibawah garis transek dicatat dengan ketelitian sentimeter (cm). Hasil
pencatatan kemudian dipindahkan kedalam format tabel life form.
Gambar 8. Metode Line Intersept
Transect (English et al dalam Fachrul, 2006)
3.3.3 Metode Pengumpulan Data Lingkungan
Parameter lingkungan yang
merupakan faktor pembatas terumbu karang yang di ukur meliputi parameter fisika
dan kimia periran yaitu suhu, kecerahan, slainitas dan kecepatan arus.
Pengukuran ini di lakukan bertepatan pada saat melakukan penyelaman.
Pengukuran
kondisi periaran di lokasi praktek mencakup beberapa parameter yang
mempengaruhi kondisi terumbu karang itu sendiri meliputi parameter fisika dan
kimia.
a. Parameter Fisika
Pengukuran
parameter fisika meliputi pengukuran suhu, kecerahan, salinitas, dan arus.
1. Suhu
1.
Memasukkan bagian
kantong alkohol/air raksa (ujung bawah termometer) kedalam perairan.
2.
Melakukan pengukuran
dengan tidak menghadapkan termometer kearah matahari. Dengan cara, melindungi
termometer dengan bayangan badan (membelakangi matahari).
3.
Mendiamkan termometer
beberapa saat, hingga permukaan alkohol/air raksa tidak bergerak lagi (stabil).
Membutuhkan waktu sekitar 3 - 5 menit.
4.
Mencatat skala yang
tertera sebagai nilai suhu perairan tersebut.
2. Salinitas
1.
Mengkalibrasi prisma
refraktometer dengan air tawar terlebih dahulu,
2.
Meneteskan sample air
laut pada prisma refraktometer sebanyak 1 - 2 tetes
3.
Menutup prisma kembali
4.
Mengarahkan
refraktometer kearah sinar matahari untuk mengamati nilainya.
5.
Membersihkan kembali
prisma refraktometer dengan menggunakan tisu.
3. Kecerahan
1.
Mencelupkan keping
secchi kedalam perairan
2.
Mencelupkan keping
secchi hingga tidak terlihat oleh mata, lalu menarik kembali keping secchi
secara perlahan hingga hampir terlihat (samar-samar)
3.
Mencatat panjang tali
penggantung yang telah diberi skala mulai dari keping secchi hingga batas tali
pada permukaan air.
4. Arus
- Melepaskan windows yang telah diberikan tali pengikat (dengan skala ukur) keperairan.
- Menunggu windows yang telah dilepaskan hingga beberapa saat hingga tali menegang.
- Mencatat waktu dan jarak windows yang ditempuh sebagai nilai kecepatan arus perairan.
- Menggunakan kompas untuk mengamati arah arus serta mencatatnya.
b). Parameter Kimia
Pengukuran parameter kimia yang
dilakukan ialah salinitas.Pengukuran salinitas dengan menggunakan refraktometer
yang sudah di kalibrasi dan dilakukan bersamaan dengan waktu pengambilan
sampel, dengan cara meneteskan air sampel yang akan di ukur salinitasnya ke prisma
sebanyak satu tetes dan air harus menutupi prisma dan amatilah skala yang di
tunjukkan, besarnya skala tersebut merupakan nilai salinitasnya dengan satuan ‰.
|
|
3.4. Metoda Analisa Data
3.4.1
Persentase Tutupan Karang
Rumus
di bawah digunakan untuk menghitung persentase tutupan karang
li
Ni =
----- x 100%
L
Keterangan : Ni =
Persentase tutupan karang ke –i (%)
li =
Panjang lifeform karang jenis ke-i
L =
Panjang total transek garis
Kategori kondisi dalam presentase tutupan
karang hidup menurut Gomez and Yap, 1988 dalam
Muzahar, 2003 dan keputusan Menteri Negara dan Lingkungan Hidup Nomor 04 tahun
2001, Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang sebagai berikut:
Sangat baik : 75 % - 100 %
Baik : 50 % - 74,9 %
Sedang : 25 % - 49,9 %
Buruk : 0 % - 24,9 %
Menganalisa data
transek yang terkumpul, berbagai macam indeks dapat dihitung dengan rumus
indeks dominan, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman yang secara ringkas
diterangkan sebagai berikut :
a.
Indeks Keanekaragaman (H’)
Indeks
keanekaragaman yang menggambarkan kekayaan dan kelimpahan spesies dalam
komunitas diperoleh berdasrkan indeks keragaman Shanoon – Wiener (Krebs,1989) dalam Rudi dan Muchsin 2011 dalam
persamaan :
|
Keterangan :
H’ =
Indeks keanekaragaman
ni =
Jumlah individu dalam setiap jenis
N =
Jumlah total individu ke seluruhan
Indeks keanekaragaman berkisar:
H’ : ≤ 2,0: Maka Keanekaragaman rendah, tekanan
lingkungan kuat.
H’ : berkisar antara 2,0 – 3,0
: Maka Keanekaragaman sedang,
tekanan lingkungan sedang.
H : ≥ 3 : maka
Keanekaragaman tinggi, terjadi keseimbangan ekosistem.
b.
Indeks Keseragaman (E)
Indeks keseragaman menggambarkan keseimbangan
(evenness) penyebaran individu jenis alam suatu dihitung dengan membandingkan
indeks keragaman yang didapat dengan indeks keragaman maksiumnya (Krebs,1989)
dalam Rudi dan Muchsin (2011) dengan persamaan:
Untuk melihat seberapa besarnya keragaman
atau penyebaran individu, maka
|
Keterangan :
E = Indeks keseragaman
H’ = Indeks keanekaragaman
S = Jumlah jenis karang yang ditemui
Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0
– 1. Indeks keseragaman berkisar :
0 < E ≤
0,5 : Komunitas tertekan
0,5 < E ≤ 0,75 :
Komunitas labil
0,75 < E ≤ 1 : Komunitas stabil
c. Indeks Dominansi (C)
Apabila
indeks dominansi suatu komunitas tinggi maka komunitas tersebut cenderung labil (Krebs 1972, dalam Prayogo 1999) .
Rumus yang digunakan sebagai
berikut:
|
Keterangan:
C
: Indeks Dominansi
Pi :
Proporsi Lifeform ke-i terhadap jumlah total penutupan Lifeform.
Indeks Dominasi (Dengan kriteria) :
0 < E ≤ 0,5
= Dominansi rendah
0,5
< E ≤ 0,75 = Dominansi sedang
0,75
< E ≤ 1,00 = Dominansi tinggi.
BAB IV
KEADAAN UMUM LOKASI
4.1 Sejarah dan Status Kawasan
Taman Nasional Wakatobi (TNW) merupakan kawasan konservasi perairan laut (marine
conservation area) (Ditjen PHKA 1989). Kawasan Kepulauan Wakatobi dan perairan laut di
sekitarnya seluas 1.390.000 ha ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tanggal
30 Juli 1996 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 393/Kpts-VI/1996.
Nama Wakatobi diambil dari singkatan nama pulau-pulau besar yang menyusun
kepulauan ini, yakni Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko, nama lain dari
gugusan pulau-pulau tersebut adalah Kepulauan Tukang Besi.
Usulan Taman Nasional Wakatobi
(TNW) bermula dari hasil survey
penilaian potensi sumber daya alam laut yang dilaksanakan oleh Tim Direktorat
Pelestarian Alam. Direktorat Jenderal PHPA Departemen Kehutanan bekerjasama
dengan WWF (World Wide Fund for Nature) pada bulan September 1989. Hasil survey
tersebut ditindaklanjuti oleh Sub Balai KSDA Sultra dan Kanwil Dep. Kehutanan
Sulawesi Tenggara dengan dukungan penuh Pemerintah Daerah, dengan
diterbitkannya Rekomendasi Bupati KDH Tk. II Buton No. 522.51/3226 tanggal 3
Oktober 1993 dan Rekomendasi Gubernur KDH Tk. 1 Sulawesi Tenggara No.
522.51/2548 tanggal 7 Maret 1994.
Berdasarkan usulan atau rekomendasi pemerintah
daerah tersebut. Menteri Kehutanan menyetujui dan menunjuk kawasan perairan
laut Kep. Wakatobi seluas 306.680 ha sebagai taman wisata alam laut
dengan SK Nomor 462/Kpts-II/1995 tanggal 4 September 1995, dan akhirnya karena
pertimbangan dari aspek konservasi serta perkembangan keadaan maka status
kawasan diubah menjadi Taman Nasional.
4.2 Kondisi Geografis dan Iklim
4.2.1 Letak Geografis dan
Batas Wilayah
Kecamatan Kaledupa terletak di kepulauan
Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi dan bila ditinjau pada peta Propinsi Sulawesi
Tenggara secara geografis terletak di bagian tengah deretan Kepulauan Wakatobi.
Terdapat beberapa pulau di Kecamatan Kaladupa antara lain Pulau Hoga, Pulau
Watuhari, Pulau One, Pulau Ooa Nujawa, Pulau Ompu, Pulau Watu Pabode, Pulau
Watu Sahau, Pulau Watu Totolu, Pulau Gili- Gili dan Pulau Kaledupa (BPS ,
2010).
Secara
geografis, batas- batas kecamatan Kaledupa sebagai berikut :
1.
Sebelah utara berbatasan dengan Laut
Banda.
2.
Sebelah selatan berbatasan dengan Laut
Flores.
3.
Sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Wangi-wangi Selatan.
4.
Sebelah timur berbatasan dengan
Kecamatan Tomia.
Pulau Kaledupa yang memiliki luas ± 3,42
km2 dan berada tepat di bagian utara Kaledupa merupakan salah satu
kawasan yang telah dikelola kegiatan wisata baharinya. Secara administratif
Pulau Kaledupa masuk ke dalam wilayah
Desa Ambeua, merupakan pusat aktifitas Operation Wallacea sejak tahun 1995
sampai sekarang. Memiliki sarana-prasarana yang lengkap untuk menunjang
kegiatan seperti menyelam, snorkeling dan penelitian. Selain itu juga terdapat
± 100 homestay yang dikelola masyarakat setempat yang berlokasi tepat di
belakang pantai pasir putih sepanjang ± 1 km. Kawasan wisata bahari di pulau Kaledupa dapat ditempuh dengan
menggunakan speed boat dari Ibukota Kecamatan ± 45 menit. Aktivitas yang dapat dilakukan
adalah menyelam, snorkeling, berjemur, dan penelitian.
Taman Nasional Wakatobi merupakan kawasan
taman nasional terluas kedua di Indonesia. Letak Kabupaten Wakatobi secara geografis berada pada posisi
05°12’00”-06°10’13’’ LS, 123°20’00”-124°39’00” BT atau pada bagian tenggara
pulau Sulawesi dan diapit oleh dua lautan yaitu Laut Banda dan Laut Flores
(Marine Program, WWF Indonesia,2003).
Kawasan TN Wakatobi terbagi menjadi 6
zona berdasarkan Keputusan Dirjen PHKA Nomor : S.149/IV-KK/2007 tentang Zonasi
Taman Nasional Wakatobi dapat di lihat pada Peta Kawasan dan Zonasi Taman
Nasional Wakatobi sebagai berikut.
Gambar 9.
Peta kawasan Taman Nasional Wakatobi.
1.
Zona Inti (1.300 Ha)
Wilayah
perairan dan sebagian daratan Pulau Moromaho.
2.
Zona Perlindungan Bahari (36.450 Ha)
Sebagian
wilayah perairan bagian utara Pulau Wangi-Wangi, bagian utara dan timur Pulau
Hoga, sebagian perairan sekitar Pulau Lentea dan Pulau Derawa, perairan Pulau
Anano, perairan sekitar Pulau Lintea Selatan.
3.
Zona Pariwisata (6.180 Ha)
Wilayah
perairan bagian timur Pulau Wangi-Wangi (Matahora), perairan dan pantai bagian
barat Pulau Hoga, perairan tanjung Sombano, mangrove di pesisir Derawa,
perairan bagian barat Waha Pulau Tomia, perairan sekitar Pulau Tolandono Tomia
(Onemobaa), dan sebagian wilayah karang Koromaha
4.
Zona Pemanfaatan Lokal (804.000 Ha)
Sebagian
besar wilayah perairan pesisir pulau-pulau di Kep. Wakatobi selain peruntukan
zona lainnya dalam radius ± 4 mil dari Pulau Wangi-Wangi, Pulau Kaledupa, Pulau
Tomia, Pulau Binongko, Pulau Runduma, Pulau Kapota, Pulau Komponaone, Pulau
Nuabalaa, Pulau Nuaponda, Pulau Matahora, Pulau Sumanga, Pulau Oroho, Pulau
Ndaa dan serta sebagian besar wilayah Karang Kapota, Karang Kaledupa/Tomia, dan
bagian Utara Karang Koromaha.
5.
Zona Pemanfaatan Umum (495.700 Ha)
Sebagian
besar wilayah perairan diluar radius ± 4 mil dari pulau-pulau dan gugusan
terumbu karang di Wakatobi.
6.
Zona Khusus/Daratan (46.370 Ha)
Daratan
Pulau Wangi-Wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, Pulau Binongko, Pulau Runduma,
Pulau Kapota, Pulau Komponaone, Pulau Sumanga, Pulau Hoga, Pulau Lentea, Pulau
Derawa, Pulau Lentea Selatan, Pulau Sawa, Pulau Anano, Pulau Kentiole, Pulau
Tuwu-Tuwu, dan sebagian Pulau Moromaho.
Khususnya
pada bulan April dan Mei di daerah Kecamatan Kaledupa arah angin tidak menentu,
demikian pula dengan curah hujan, sehingga pada bulan- bulan ini dikenal dengan
musim pancaroba Sumber : Dinas Pertanian, Kehutanan, Peternakan dan Perkebunan
Kab. Wakatobi dalam BPS (2009).
4.2.2 Kondisi iklim
Keadaan
musim di Kecamatan Kaledupa pada umumnya seperti daerah - daerah lain di
Indonesia dimana mempunyai dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau. Musim
hujan tahun 2008 terjadi diantara bulan Desember sampai dengan bulan April,
pada saat tersebut angin darat yang bertiup dari Benua Asia dan Lautan Pasifik
yang mengandung banyak uap air. Musim kemarau terjadi antara bulan Juli dan
September, pada bulan- bulan tersebut angin Timur yang bertiup dari Benua
Australia sifatnya kering dan kurang mengandung air.
4.4
Kondisi Demografi
4.4.1 Struktur Penduduk
Penduduk Kecamatan
Kaledupa menurut proyeksi hasil SUPAS tahun 2010 sebanyak 11.778 jiwa.
Selanjutnya pada tahun 2009 penduduk Kaledupa berjumlah 11.851 jiwa yang
terdiri dari laki- laki 5.240 jiwa dan perempuan 6.611 jiwa. Dengan demikian,
diketahui terjadi peningkatan jumlah penduduk yang dikarenakan lebih besarnya
angka kelahiran dibanding angka kematian, atau dapat pula disebabkan oleh lebih
besarnya penduduk yang masuk Kaledupa daripada yang keluar dari Kaledupa.
4.4.2 Kondisi Sosial,
Ekonomi dan Budaya
Wakatobi
sebagian besar bermata pencaharian dengan memanfaatkan sumberdaya alam laut
yang ada di perairan kawasan TNW sebagai sumber pendapatan/mata pencahariannya
yaitu sebagai nelayan tradisional dan petani budidaya
rumput laut. Selebih nya sebagai PNS (pegawai negri sipil),
Polisi, TNI, pedagang, selain itu adalah sebagai petani sederhana yang hanya
berkebun singkong dan jagung, dan petani kelapa kopra karena kondisi tanah di
seluruh Pulau-pulau yang ada di Wakatobi adalah berupa karang/berbatu. Tingkat
pendapatan masyarakat masih tergolong rendah, sehingga dapat dikatakan sebagai
kategori menengah.
Kondisi
sosial Penduduk Pulau Wakatobi terdiri dari berbagai macam etnis yaitu etnis
Wakatobi asli, Bugis, Buton, Jawa dan Bajo. Namun kebudayaan etnis asli masih
kuat dan belum banyak mengalami akulturasi dan masing-masing etnis hidup dengan
teratur, rukun dan saling menghargai. Etnis Bajo merupakan etnis yang sangat
unik, karena kehidupannya sangat tergantung pada sumber daya laut, mulai dari
pemukiman yang berada di atas perairan laut dengan memanfaatakan batu karang untuk
membangun kawasan pemukimannya, sampai mata pencahariaanya pun sangat
tergantung pada laut. Etnis Bugis, Buton dan Jawa umumnya sebagai pedagang dan
petani dan hanya sebagian kecil sebagai nelayan. Masyarakat Wakatobi seluruhnya
menganut agama Islam.
Kondisi
budaya Masyarakat asli Wakatobi terdiri dari sembilan masyarakat adat atau
lokal, yaitu masyarakat adat atau lokal Wanci, Mandati, Liya, dan Kapota di
Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa di P. Kaledupa, Waha, Tongano dan masyarakat adat
atau lokal Timu di Pulau Tomia, serta masyarakat adat atau lokal berbeda-beda
di Pulau Binongko. Selain itu juga terdapat dua masyarakat adat atau lokal yang
merupakan pendatang yaitu masyarakat adat Bajo dan masyarakat adat Cia-cia yang
berasal dari etnis Buton. Setiap
masyarakat adat atau lokal tersebut memiliki bahasa yang khas untuk adat atau
lokal masing-masing. Walaupun bahasa yang digunakan berbeda-beda tetapi
diantara mereka tetap bisa saling memahami saat melakukan komunikasi. Tarian khas masyarakat Wakatobi diantaranya
adalah Tari Lariangi (Kaledupa), Pajoge, Tari Balumpa (Binongko), dan
lain-lain, (Elfiandi, 2011).
4.4.3 Pendidikan
Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) tahun 2005,
jumlah penduduk Kabupaten Wakatobi usia 10 tahun ke atas sekitar 73.516 jiwa.
Kondisi pendidikan masyarakat Wakatobi masih tergolong rendah, hal ini bisa
dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat yang rata-rata hanya tamatan SD dan
SMP, hanya sebagian kecil yang merupakan lulusan SLTA dan Perguruan Tinggi. Sarana prasarana pendidikan juga belum
lengkap. Sarana prasarana pendidikan yang tertinggi baru sampai SMU, dimana di
setiap pulau telah memiliki satu bangunan SMU.
4.4.4
Kesehatan
Kondisi kesehatan
masyarakat Wakatobi tergolong sudah baik, hal ini dapat dilihat dari kehidupan
keseharian dan kondisi lingkungan yang ada di masyarakat Wakatobi yang umunya
dapat dikatakan bersih, dan pola pemukiman serta kesehatan pemukiman sudah
tertata dengan baik walaupun jumlah sarana kesehatan masih rendah. Masalah
bidang kesehatan di Kabupaten Wakatobi untuk sekarang ini adalah masih
kurangnya Rumah Sakit dan jumlah petugas kesehatan terutama dokter.
4.4.5 Sarana dan Prasarana
Kawasan
Taman Nasional Wakatobi (TNW), Khusus nya Seksi II memiliki berbagai sarana dan
prasarana antara lain pusat informasi, Mes atau tempat tinggal, bumi
perkemahan, jalan setapak, menara pengamat dan shelter. Selain itu terdapat
bandara dan sarana akomodasi seperti hotel dan restoran yang berada di Pulau
Wanci. TNW memiliki kantor pusat pengelolaan di Pulau Bau-Bau yang merupakan ibukota
Kabupaten Buton, dan Seksi Pengelolaan TNW berada di Pulau Wangi-Wangi ( Seksi
I), Kaledupa (Seksi II), Tomia (Seksi
III), dan Binongko dan wisma cinta alam.
No comments:
Post a Comment