Monday, 1 December 2014

PERBANDINGAN KONDISI TERUMBU KARANG DI ZONA PARIWISATA DENGAN ZONA PERLINDUNGAN BAHARI DI PULAU KALEDUPA, TAMAN NASIONAL WAKATOBI, SULAWESI TENGGARA



BAB III
METODE PENELITIAN

            Praktek Akhir ini dilaksanakan mulai dari tanggal 15 Februari 2012 s/d 15 Mei 2012, dengan lokasi praktek di Pulau Kaledupa, Taman Nasioanal Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
3.2 Alat dan Bahan
            Berikut adalah alat dan bahan yang digunakan dalam praktek, antara lain :
Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan dalam Praktek
No
Alat
Kegunaan
Spesifikasi
1
Scuba
Untuk menyelam

2
Roll meter
Alat transek karang
Satuan inchi/meter, akurasi 1 cm
3
Kamera bawah air
Mengabadikan gambar terumbu karang
Merek OLYMPUS 725 SW
7,1 MEGAPIXEL
4
GPS
Menentukan posisi praktek
Merek Garmin, 12 channel
5
Thermometer
Mengukur suhu
Alcohol (0C),
Akurasi 1 oC
6
Windows
Menentukan arah dan menghitung kecepatan arus
Pelampung + kayu + plastic + pemberat (m/s)
7
Hand Refraktometer
Mengamati salinitas
Merek atago (0/00)
8
Secchi disk
Mengukur kecerahan
Tali berskala *(akurasi 50 cm) + piring secchi + pemberat (meter)
9
Buku identifikasi terumbu karang
Mengenali jenis-jenis terumbu karang
Jenis-jenis terumbu karang di Indonesia
10
Kapal
Sebagai sarana untuk pergi kelokasi praktek
Speed Boad

3.3  Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data diambil dengan metode survey yaitu pengamatan secara langsung dengan membagi pulau menjadi enam stasiun yaitu Stasiun 1, Stasiun 2, Stasiun 3, Stasiun 4, Stasiun 5, dan Stasiun 6 sesuai titik – titik Zona Pariwisata dan Zona Perlindungan Bahari  (Gambar 7). Setiap stasiun selanjutnya dibagi menjadi satu transek, dalam tiap pengamatan karang. Pada pengamatan terumbu karang dilakukan pengamatan pada kedalaman 5 meter, dan 10 meter karena diduga terdapat pengaruh kegiatan manusia pada Pulau ini. Metode pengamatan karang menggunakan metode Transek Bentuk Pertumbuhan (Lifeform Transect) seperti yang disebutkan dalam Survey Manual For Tropical Marine Resources oleh English et.al., (1994). Untuk mencari dan mengumpulkan data yang mendukung dalam Praktek Akhir ini dilakukan pula dengan mengumpulkan beberapa literatur yang terkait serta mendukung dengan kegiatan yang  dilakukan. Literatur yang akan digunakan berupa text book, laporan, karya ilmiah, makalah, majalah, dan sumber lainnya.
3.3.1        Metode Penentuan Stasiun
Setiap melakukan pengamatan, posisi atau stasiun pengamatan dilakukan pencatatan dari GPS (Global Positioning System) dan waktu pengambilan, hal ini di maksudkan untuk mempermudah mengetahui titik atau pun lokasi pengambilan data, apabila suatu saat ingin di lakukan pengambilan data di lokasi yang sama.



3.3.2 Metode Pengumpulan Data Karang
   Metode yang di gunakan untuk pengambilan data biota pengisi habitat dasar adalah metode transek garis menyinggung (LIT). Metode line intercept transect (LIT) adalah dilakukan dengan cara menyelam dan berenang mengikuti lintasan tali yang di pasang melintang di atas permukaan terumbu karang. Pengukuran pada setiap lokasi di lakukan di kedalaman 5 m sejajar garis pantai sebagai perwakilan kondisi dangkal, dan 10 m sejajar garis pantai sebagai perwakilan kondisi perairan dalam untuk terumbu karang. Pengamatan biota pengisi habitat dasar di dasarkan pada bentuk pertumbuhan (Lifeform) seperti di sajikan pada gambar 8 (English et al., 1994). 
 

Gambar 7 . Skema cara melakukan garis transek di lokasi pengamtan
        Direktorat   Konservasi dan Taman Nasional, 2006)

Semua bentuk pertumbuhan karang serta biota lainya yang berada dibawah garis transek dicatat dengan ketelitian sentimeter (cm). Hasil pencatatan kemudian dipindahkan kedalam format tabel life form.
 
Gambar 8.  Metode Line Intersept Transect (English et al dalam Fachrul, 2006)
3.3.3 Metode Pengumpulan Data Lingkungan
            Parameter lingkungan yang merupakan faktor pembatas terumbu karang yang di ukur meliputi parameter fisika dan kimia periran yaitu suhu, kecerahan, slainitas dan kecepatan arus. Pengukuran ini di lakukan bertepatan pada saat melakukan penyelaman.
            Pengukuran kondisi periaran di lokasi praktek mencakup beberapa parameter yang mempengaruhi kondisi terumbu karang itu sendiri meliputi parameter fisika dan kimia.
a.       Parameter Fisika
            Pengukuran parameter fisika meliputi pengukuran suhu, kecerahan, salinitas, dan arus.


1. Suhu
1.      Memasukkan bagian kantong alkohol/air raksa (ujung bawah termometer) kedalam perairan.
2.      Melakukan pengukuran dengan tidak menghadapkan termometer kearah matahari. Dengan cara, melindungi termometer dengan bayangan badan (membelakangi matahari).
3.      Mendiamkan termometer beberapa saat, hingga permukaan alkohol/air raksa tidak bergerak lagi (stabil). Membutuhkan waktu sekitar 3 - 5 menit.
4.      Mencatat skala yang tertera sebagai nilai suhu perairan tersebut.
2.  Salinitas
1.      Mengkalibrasi prisma refraktometer dengan air tawar terlebih dahulu,
2.      Meneteskan sample air laut pada prisma refraktometer sebanyak 1 - 2 tetes
3.      Menutup prisma kembali
4.      Mengarahkan refraktometer kearah sinar matahari untuk mengamati nilainya.
5.      Membersihkan kembali prisma refraktometer dengan menggunakan tisu.
3. Kecerahan
1.      Mencelupkan keping secchi kedalam perairan
2.      Mencelupkan keping secchi hingga tidak terlihat oleh mata, lalu menarik kembali keping secchi secara perlahan hingga hampir terlihat (samar-samar)
3.      Mencatat panjang tali penggantung yang telah diberi skala mulai dari keping secchi hingga batas tali pada permukaan air.


4.   Arus
  1. Melepaskan windows yang telah diberikan tali pengikat (dengan skala ukur) keperairan.
  2. Menunggu windows yang telah dilepaskan hingga beberapa saat hingga tali menegang.
  3. Mencatat waktu dan jarak windows yang ditempuh sebagai nilai kecepatan arus perairan.
  4. Menggunakan kompas untuk mengamati arah arus serta mencatatnya.
b). Parameter Kimia
            Pengukuran parameter kimia yang dilakukan ialah salinitas.Pengukuran salinitas dengan menggunakan refraktometer yang sudah di kalibrasi dan dilakukan bersamaan dengan waktu pengambilan sampel, dengan cara meneteskan air sampel yang akan di ukur salinitasnya ke prisma sebanyak satu tetes dan air harus menutupi prisma dan amatilah skala yang di tunjukkan, besarnya skala tersebut merupakan nilai salinitasnya dengan satuan ‰.


3.4. Metoda Analisa Data
3.4.1 Persentase Tutupan Karang
Rumus di bawah digunakan untuk menghitung persentase tutupan karang
                                      li
            Ni  =  -----   x  100%
                         L                 

Keterangan  :  Ni = Persentase tutupan karang ke –i (%)
                          li   = Panjang lifeform karang jenis ke-i
                          L   = Panjang total transek garis

Kategori kondisi dalam presentase tutupan karang hidup menurut Gomez and Yap, 1988 dalam Muzahar, 2003 dan keputusan Menteri Negara dan Lingkungan Hidup Nomor 04 tahun 2001, Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang sebagai berikut:
Sangat baik           : 75 % - 100 %
Baik                       : 50 % - 74,9 %
Sedang                  : 25 % - 49,9 %
      Buruk                    :   0 % - 24,9 %
Menganalisa data transek yang terkumpul, berbagai macam indeks dapat dihitung dengan rumus indeks dominan, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman yang secara ringkas diterangkan sebagai berikut :
a.      Indeks Keanekaragaman (H’)
Indeks keanekaragaman yang menggambarkan kekayaan dan kelimpahan spesies dalam komunitas diperoleh berdasrkan indeks keragaman Shanoon – Wiener (Krebs,1989) dalam Rudi dan Muchsin 2011 dalam persamaan :

Keterangan :
                  H’  =  Indeks keanekaragaman
                  ni   = Jumlah individu dalam setiap jenis
                  N   = Jumlah total individu ke seluruhan 

Indeks keanekaragaman berkisar:
H’ : ≤ 2,0:  Maka Keanekaragaman rendah, tekanan lingkungan kuat.
H’ : berkisar antara 2,0 – 3,0 :  Maka Keanekaragaman sedang, tekanan    lingkungan sedang.
            H  : ≥ 3 : maka Keanekaragaman tinggi, terjadi keseimbangan ekosistem.
b.      Indeks Keseragaman (E)
            Indeks keseragaman menggambarkan keseimbangan (evenness) penyebaran individu jenis alam suatu dihitung dengan membandingkan indeks keragaman yang didapat dengan indeks keragaman maksiumnya (Krebs,1989) dalam Rudi dan Muchsin (2011) dengan persamaan:
             Untuk melihat seberapa besarnya keragaman atau penyebaran individu, maka
 digunakan indeks keragaman menurut Krebs (1972) yaitu :
Keterangan :
       E   = Indeks keseragaman
      H’  = Indeks keanekaragaman
       S   = Jumlah jenis karang yang ditemui



Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0 – 1.  Indeks keseragaman berkisar :
0 < E ≤ 0,5        : Komunitas tertekan
0,5 < E ≤  0,75  : Komunitas labil
0,75  < E ≤ 1     : Komunitas stabil        

c.       Indeks Dominansi (C)
Apabila indeks dominansi suatu komunitas tinggi maka komunitas tersebut cenderung labil (Krebs 1972, dalam Prayogo 1999) .
Rumus yang digunakan sebagai berikut:
 



Keterangan:
            C         : Indeks Dominansi
            Pi         : Proporsi Lifeform ke-i terhadap jumlah total penutupan Lifeform.
Indeks Dominasi (Dengan kriteria) :
0 < E ≤ 0,5                  = Dominansi rendah
0,5 < E ≤ 0,75             = Dominansi sedang
0,75 < E ≤ 1,00           = Dominansi tinggi.




BAB IV
KEADAAN UMUM LOKASI

4.1  Sejarah dan Status Kawasan


            Taman Nasional Wakatobi (TNW) merupakan kawasan konservasi perairan laut (marine conservation area) (Ditjen PHKA 1989). Kawasan Kepulauan Wakatobi dan perairan laut di sekitarnya seluas 1.390.000 ha ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tanggal 30 Juli 1996 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 393/Kpts-VI/1996. Nama Wakatobi diambil dari singkatan nama pulau-pulau besar yang menyusun kepulauan ini, yakni Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko, nama lain dari gugusan pulau-pulau tersebut adalah Kepulauan Tukang Besi.
      Usulan Taman Nasional Wakatobi (TNW) bermula dari hasil survey penilaian potensi sumber daya alam laut yang dilaksanakan oleh Tim Direktorat Pelestarian Alam. Direktorat Jenderal PHPA Departemen Kehutanan bekerjasama dengan WWF (World Wide Fund for Nature) pada bulan September 1989. Hasil survey tersebut ditindaklanjuti oleh Sub Balai KSDA Sultra dan Kanwil Dep. Kehutanan Sulawesi Tenggara dengan dukungan penuh Pemerintah Daerah, dengan diterbitkannya Rekomendasi Bupati KDH Tk. II Buton No. 522.51/3226 tanggal 3 Oktober 1993 dan Rekomendasi Gubernur KDH Tk. 1 Sulawesi Tenggara No. 522.51/2548 tanggal 7 Maret 1994.
      Berdasarkan usulan atau rekomendasi pemerintah daerah tersebut. Menteri Kehutanan menyetujui dan menunjuk kawasan perairan laut Kep. Wakatobi seluas 306.680 ha sebagai taman wisata alam  laut dengan SK Nomor 462/Kpts-II/1995 tanggal 4 September 1995, dan akhirnya karena pertimbangan dari aspek konservasi serta perkembangan keadaan maka status kawasan diubah menjadi Taman Nasional.
4.2  Kondisi Geografis dan Iklim
4.2.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah
      Kecamatan Kaledupa terletak di kepulauan Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi dan bila ditinjau pada peta Propinsi Sulawesi Tenggara secara geografis terletak di bagian tengah deretan Kepulauan Wakatobi. Terdapat beberapa pulau di Kecamatan Kaladupa antara lain Pulau Hoga, Pulau Watuhari, Pulau One, Pulau Ooa Nujawa, Pulau Ompu, Pulau Watu Pabode, Pulau Watu Sahau, Pulau Watu Totolu, Pulau Gili- Gili dan Pulau Kaledupa (BPS , 2010).
Secara geografis, batas- batas kecamatan Kaledupa sebagai berikut :
1.      Sebelah utara berbatasan dengan Laut Banda.
2.      Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores.
3.      Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Wangi-wangi Selatan.
4.      Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Tomia.

      Pulau Kaledupa yang memiliki luas ± 3,42 km2 dan berada tepat di bagian utara Kaledupa merupakan salah satu kawasan yang telah dikelola kegiatan wisata baharinya. Secara administratif Pulau Kaledupa masuk ke dalam wilayah Desa Ambeua, merupakan pusat aktifitas Operation Wallacea sejak tahun 1995 sampai sekarang. Memiliki sarana-prasarana yang lengkap untuk menunjang kegiatan seperti menyelam, snorkeling dan penelitian. Selain itu juga terdapat ± 100 homestay yang dikelola masyarakat setempat yang berlokasi tepat di belakang pantai pasir putih sepanjang ± 1 km. Kawasan wisata bahari di pulau Kaledupa dapat ditempuh dengan menggunakan speed boat dari Ibukota Kecamatan ± 45 menit. Aktivitas yang dapat dilakukan adalah menyelam, snorkeling, berjemur, dan penelitian.
      Taman Nasional Wakatobi merupakan kawasan taman nasional terluas kedua di Indonesia. Letak Kabupaten Wakatobi  secara geografis berada pada posisi 05°12’00”-06°10’13’’ LS, 123°20’00”-124°39’00” BT atau pada bagian tenggara pulau Sulawesi dan diapit oleh dua lautan yaitu Laut Banda dan Laut Flores (Marine Program, WWF Indonesia,2003).
      Kawasan TN Wakatobi terbagi menjadi 6 zona berdasarkan Keputusan Dirjen PHKA Nomor : S.149/IV-KK/2007 tentang Zonasi Taman Nasional Wakatobi dapat di lihat pada Peta Kawasan dan Zonasi Taman Nasional Wakatobi sebagai berikut.
 
Gambar 9. Peta kawasan Taman Nasional Wakatobi.
1.   Zona Inti (1.300 Ha)
Wilayah perairan dan sebagian daratan Pulau Moromaho.
2.   Zona Perlindungan Bahari (36.450 Ha)
Sebagian wilayah perairan bagian utara Pulau Wangi-Wangi, bagian utara dan timur Pulau Hoga, sebagian perairan sekitar Pulau Lentea dan Pulau Derawa, perairan Pulau Anano, perairan sekitar Pulau Lintea Selatan.
3.   Zona Pariwisata (6.180 Ha)
Wilayah perairan bagian timur Pulau Wangi-Wangi (Matahora), perairan dan pantai bagian barat Pulau Hoga, perairan tanjung Sombano, mangrove di pesisir Derawa, perairan bagian barat Waha Pulau Tomia, perairan sekitar Pulau Tolandono Tomia (Onemobaa), dan sebagian wilayah karang Koromaha
4.   Zona Pemanfaatan Lokal (804.000 Ha)
Sebagian besar wilayah perairan pesisir pulau-pulau di Kep. Wakatobi selain peruntukan zona lainnya dalam radius ± 4 mil dari Pulau Wangi-Wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, Pulau Binongko, Pulau Runduma, Pulau Kapota, Pulau Komponaone, Pulau Nuabalaa, Pulau Nuaponda, Pulau Matahora, Pulau Sumanga, Pulau Oroho, Pulau Ndaa dan serta sebagian besar wilayah Karang Kapota, Karang Kaledupa/Tomia, dan bagian Utara Karang Koromaha.
5.   Zona Pemanfaatan Umum (495.700 Ha)
Sebagian besar wilayah perairan diluar radius ± 4 mil dari pulau-pulau dan gugusan terumbu karang di Wakatobi.
6.   Zona Khusus/Daratan (46.370 Ha)
Daratan Pulau Wangi-Wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, Pulau Binongko, Pulau Runduma, Pulau Kapota, Pulau Komponaone, Pulau Sumanga, Pulau Hoga, Pulau Lentea, Pulau Derawa, Pulau Lentea Selatan, Pulau Sawa, Pulau Anano, Pulau Kentiole, Pulau Tuwu-Tuwu, dan sebagian Pulau Moromaho.
Khususnya pada bulan April dan Mei di daerah Kecamatan Kaledupa arah angin tidak menentu, demikian pula dengan curah hujan, sehingga pada bulan- bulan ini dikenal dengan musim pancaroba Sumber : Dinas Pertanian, Kehutanan, Peternakan dan Perkebunan Kab. Wakatobi dalam BPS (2009).
4.2.2 Kondisi iklim
      Keadaan musim di Kecamatan Kaledupa pada umumnya seperti daerah - daerah lain di Indonesia dimana mempunyai dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan tahun 2008 terjadi diantara bulan Desember sampai dengan bulan April, pada saat tersebut angin darat yang bertiup dari Benua Asia dan Lautan Pasifik yang mengandung banyak uap air. Musim kemarau terjadi antara bulan Juli dan September, pada bulan- bulan tersebut angin Timur yang bertiup dari Benua Australia sifatnya kering dan kurang mengandung air.
4.4 Kondisi Demografi
4.4.1 Struktur Penduduk
         Penduduk Kecamatan Kaledupa menurut proyeksi hasil SUPAS tahun 2010 sebanyak 11.778 jiwa. Selanjutnya pada tahun 2009 penduduk Kaledupa berjumlah 11.851 jiwa yang terdiri dari laki- laki 5.240 jiwa dan perempuan 6.611 jiwa. Dengan demikian, diketahui terjadi peningkatan jumlah penduduk yang dikarenakan lebih besarnya angka kelahiran dibanding angka kematian, atau dapat pula disebabkan oleh lebih besarnya penduduk yang masuk Kaledupa daripada yang keluar dari Kaledupa.
4.4.2 Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya
        Wakatobi sebagian besar bermata pencaharian dengan memanfaatkan sumberdaya alam laut yang ada di perairan kawasan TNW sebagai sumber pendapatan/mata pencahariannya yaitu sebagai nelayan tradisional dan petani  budidaya rumput laut. Selebih nya sebagai  PNS (pegawai negri sipil), Polisi, TNI, pedagang, selain itu adalah sebagai petani sederhana yang hanya berkebun singkong dan jagung, dan petani kelapa kopra karena kondisi tanah di seluruh Pulau-pulau yang ada di Wakatobi adalah berupa karang/berbatu. Tingkat pendapatan masyarakat masih tergolong rendah, sehingga dapat dikatakan sebagai kategori menengah. 
            Kondisi sosial Penduduk Pulau Wakatobi terdiri dari berbagai macam etnis yaitu etnis Wakatobi asli, Bugis, Buton, Jawa dan Bajo. Namun kebudayaan etnis asli masih kuat dan belum banyak mengalami akulturasi dan masing-masing etnis hidup dengan teratur, rukun dan saling menghargai. Etnis Bajo merupakan etnis yang sangat unik, karena kehidupannya sangat tergantung pada sumber daya laut, mulai dari pemukiman yang berada di atas perairan  laut dengan memanfaatakan batu karang untuk membangun kawasan pemukimannya, sampai mata pencahariaanya pun sangat tergantung pada laut. Etnis Bugis, Buton dan Jawa umumnya sebagai pedagang dan petani dan hanya sebagian kecil sebagai nelayan. Masyarakat Wakatobi seluruhnya menganut agama Islam.
            Kondisi budaya Masyarakat asli Wakatobi terdiri dari sembilan masyarakat adat atau lokal, yaitu masyarakat adat atau lokal Wanci, Mandati, Liya, dan Kapota di Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa di P. Kaledupa, Waha, Tongano dan masyarakat adat atau lokal Timu di Pulau Tomia, serta masyarakat adat atau lokal berbeda-beda di Pulau Binongko. Selain itu juga terdapat dua masyarakat adat atau lokal yang merupakan pendatang yaitu masyarakat adat Bajo dan masyarakat adat Cia-cia yang berasal dari etnis Buton.  Setiap masyarakat adat atau lokal tersebut memiliki bahasa yang khas untuk adat atau lokal masing-masing. Walaupun bahasa yang digunakan berbeda-beda tetapi diantara mereka tetap bisa saling memahami saat melakukan komunikasi.  Tarian khas masyarakat Wakatobi diantaranya adalah Tari Lariangi (Kaledupa), Pajoge, Tari Balumpa (Binongko), dan lain-lain, (Elfiandi, 2011).     

4.4.3  Pendidikan


      Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) tahun 2005, jumlah penduduk Kabupaten Wakatobi usia 10 tahun ke atas sekitar 73.516 jiwa. Kondisi pendidikan masyarakat Wakatobi masih tergolong rendah, hal ini bisa dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat yang rata-rata hanya tamatan SD dan SMP, hanya sebagian kecil yang merupakan lulusan SLTA dan Perguruan Tinggi.  Sarana prasarana pendidikan juga belum lengkap. Sarana prasarana pendidikan yang tertinggi baru sampai SMU, dimana di setiap pulau telah memiliki satu bangunan SMU.
4.4.4  Kesehatan
Kondisi kesehatan masyarakat Wakatobi tergolong sudah baik, hal ini dapat dilihat dari kehidupan keseharian dan kondisi lingkungan yang ada di masyarakat Wakatobi yang umunya dapat dikatakan bersih, dan pola pemukiman serta kesehatan pemukiman sudah tertata dengan baik walaupun jumlah sarana kesehatan masih rendah. Masalah bidang kesehatan di Kabupaten Wakatobi untuk sekarang ini adalah masih kurangnya Rumah Sakit dan jumlah petugas kesehatan  terutama dokter.

4.4.5  Sarana dan Prasarana


            Kawasan Taman Nasional Wakatobi (TNW), Khusus nya Seksi II memiliki berbagai sarana dan prasarana antara lain pusat informasi, Mes atau tempat tinggal, bumi perkemahan, jalan setapak, menara pengamat dan shelter. Selain itu terdapat bandara dan sarana akomodasi seperti hotel dan restoran yang berada di Pulau Wanci. TNW memiliki kantor pusat pengelolaan di Pulau Bau-Bau yang merupakan ibukota Kabupaten Buton, dan Seksi Pengelolaan TNW berada di Pulau Wangi-Wangi ( Seksi I), Kaledupa (Seksi II), Tomia (Seksi  III), dan Binongko dan wisma cinta alam.

 



No comments:

Post a Comment