Monday, 1 December 2014

PERBANDINGAN KONDISI TERUMBU KARANG DI ZONA PARIWISATA DENGAN ZONA PERLINDUNGAN BAHARI DI PULAU KALEDUPA,WAKATOBI



Perbandingan Kondisi Terumbu Karang Pada Zona Pariwisata dan Zona Perlindungan Bahari di Pulau kaledupa, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Taman Nasional Wakatobi memiliki luas area sekitar 1.39 juta ha dengan potensi sumberdaya alam laut yang bernilai tinggi, baik jenis dan keunikannya, yang menyajikan panorama bawah laut yang menakjubkan. Secara umum, perairannya mempunyai konfigurasi mulai dari datar, melandai ke arah laut, dan bertubir curam. Kedalaman airnya bervariasi hingga mencapai 1.044 meter dengan dasar perairan sebagian besar berpasir dan berkarang. Taman tersebut (berada di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara) terdiri dari empat pulau besar, yaitu: Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Pada tahun 1994, tim survei IPB mengungkapkan  bahwa di Wakatobi terdapat beranekaragam kekayaan alam bawah laut, seperti terumbu karang dan aneka binatang laut. Karena memiliki kekayaan alam bawah laut, kawasan tersebut menyajikan panorama bawah laut yang begitu menawan dan sangat bagus sebagai tempat kegiatan menyelam. Setelah mempelajari dengan seksama hasil temuan tim IPB, Menteri Kehutanan pada tahun 1996 mengeluarkan surat keputusan No.393/Kpts-V/1996 yang menetapkan Wakatobi sebagai taman nasional (Wikipedia, 2010).
Biota laut di Zona ini sangat beragam. Menurut informasi pemerintah daerah setempat saat ini terumbu karang banyak diekploitasi, selain itu penangkapan ikan di pulau banyak menggunakan bahan peledak yang dapat merusak ekosistem terumbu karang selain itu juga banyaknya akktifitas masyrakat lokal yang melalukan kegiatan pengambilan karang untuk bahan bangunan, penggunaan teknologi penangkapan ikan tradisional yang menggunakan bahan peledak dan racun sianida, aktifitas pengambilan hasil laut (mencungkil, menginjak dan mematahkan karang) dan aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan jala dan bubu yang dapat merusak terumbu karang, pengambilan ikan hias dengan cara mengangkat terumbu karang dari tempatnya, pengambilan terumbu karang yang khas untuk asessoris rumah serta berbagai keiatan lainnya. Selain itu juga banyak aktifitas masyarakat dalam maupun luar yang melakukan aktifitas menyelam ataupun snorkling yang sering merusak karang dengan di injak.
            Atas dasar pertimbangan tersebut maka penulis  perlu mengetahui berbagai aktivitas masyarakat dan mengetahui suatu kondisi terumbu karang di zona – zona tertentu yang berada di Pulau Kaledupa yang  dituangkan dalam Karya Ilmiah Praktek Akhir dengan judul: “ Perbandingan Kondisi Terumbu Karang pada Zona Pariwisata dengan Zona Perlindungan Bahari di Pulau Kaledupa, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara”.



Tujuan 
Untuk mengetahui kondisi, tutupan, dan parameter pembatas terumbu karang serta membandingkan Kondisi Tutupan setiap Zona Pariwisata dan Zona Perlindungan Bahari di perairan Pulau Kaledupa, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Batasan Masalah
Pada pelaksanaan praktek ini penulis membatasi masalah hanya pada :
  1. Pengamatan persentase tutupan terumbu karang (life form) pada kedalaman 5 dan 10 m.
2.  Pengamatan parameter lingkungan yang mempengaruhi kehidupan karang, yaitu: suhu, salinitas, kecerahan, kedalaman, serta kecepatan dan arah arus.
3.  Mengamati dan aktifitas masyarakat di Zona Pariwisata dan Zona Perlindungan serta mengetahui upaya – upaya pengelolaan yang dilakukan oleh pihak Taman Nasional Wakatobi.
Tipe-tipe Terumbu Karang
1.      Fringing reefs (terumbu karang tepi)
Terumbu karang yang terbentuk memanjang di sepanjang pinggiran pantai. Terumbu karang ini terdapat di daerah kontinental shelf di laut dengan kedalaman air yang dangkal.

2.      Barrier reefs (terumbu karang  penghalang)
Terumbu karang tumbuh sejajar garis pantai akan tetapi terletak jauh ketengah laut, biasanya terpisah dari daratan dengan laguna (lagoon) bagian laut yang dalam, disebut barrier karena membentuk batas antara laguna dan laut lepas.
3.  Coral Atolls (terumbu karang cincin)
Terumbu karang berbentuk cincin yang tumbuh di atas gunung berapi yang tua dan tenggelam di laut. Menurut teori Darwin dalam proses pembentukan karang atol mula-mula karang tumbuh sebagai fringing reef di bagian yang dangkal mengelilingi suatu pulau vulkanik. Kemudian secara alamiah perlahan-lahan pulau tersebut tenggelam dan terumbu karang tetap meneruskan pertumbuhannya makin ke atas, sel baru tumbuh di atas sel yang mati, sampai akhirnya hanya terumbu karangnya saja yang tersisa.





      Pengamatan Kondisi dan Jenis Terumbu Karang
A.    Pembuatan Transek
1.  Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada enam stasiun dengan 2 kedalaman yaitu kedalaman 5 meter dan 10 meter, maka kondisi terumbu karang di Zona pariwisata dan Zona Perlindungan Bahari berdasarkan titik-titik pengamatan yang diamati adalah sebagai berikut :Kedalaman seluruh stasiun pengamatan dengan kedalaman 5 meter menunjukkan kondisi tutupan terumbu karang dengan kategori baik dengan persentase tutupan karang hidup 54,73% - 69,72%. Persentase tutupan karang hidup terbesar berada di stasiun 2 sebesar 69,72% . Sedangkan untuk tutupan karang terkecil berada di stasiun 4 sebesar 54,73% .
2. Kerusakan karang di stasiun 4 disebabkan karena sisa-sisa penangkapan ikan dengan menggunakan potassium yang dulu dipakai oleh nelayan dan sisa – sisa dari alat tangkap bubu. Dan lokasi ini merupakan jalur transportasi laut yang di leawati oleh kapal – kapal yang menghubungkan antara pula – pulau.persentase tutupan karang hidup di kedalaman 10 meter menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di seluruh stasiun dalam kategori baik dengan persentase tutupan karang hidup sebesar 63,23% - 65,68%.
3.  Parameter lingkungan yang diambil pada lokasi pengamatan yaitu suhu, salinitas, kecerahan, dan kecepatan arus. Suhu pada lokasi pengamatan yaitu mencapai 28°C - 30°C, sesuai dengan suhu yang baik bagi pertumbuhan karang yaitu berkisar antara 25°C - 32°C. Salinitas pada lokasi pengamatan berkisar 33 - 34, terumbu karang hidup subur pada kisaran salinitas antara 33 - 35 (Nybakyen, 1988). Kecerahan pada lokasi pengamatan berkisar antara 8 – 10 meter, sedangkan kecepatan arus pada lokasi pengamtan berkisar antara 0,28 – 0,34 m/s.
Kesimpulan
         Dari Pengamatan yang dilakukan menunjukkan bahwa persentase Karang Hidup di Zona Perlindungan lebih kecil dibanding dengan Zona Pariwisata.

Saran
         Perlunya dilakukan pengamatan lebih lanjut agar diketahui apakah persentase tutupan Karang meningkat atau menurun, dan penjagaan Zonasi lebih sering dilakukan.


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan posisi yang sangat strategis dan menguntungan, karena terletak pada posisi silang diantara 2 samudera yaitu Samudera Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km 2 (Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi, 2001).
Indonesia merupakan negara kepulauan dan perairan yang kaya fauna dan flora dengan kharisma pemilikannya bukan saja sebagai kekayaan nasional bahkan aset kekayaan internasional. Salah satu potensi kelautan yang sangat penting dalam menunjang produksi perikanan laut adalah terumbu karang (coral reef).Terumbu karang adalah jenis karang laut yang hidup dan secara alamiah merupakan habitat dan sumber pangan bagi kebanyakan ikan dan biota laut lainnya (Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 2001 dalam Ari 2011).
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang sangat peka terhadap kondisi dan perubahan lingkungan. Pertambahan penduduk yang cepat dan ditambah dengan pemanfaatan teknologi yang maju akan mempercepat usaha untuk eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya tersebut. Eksploitasi dan pemanfaatan yang tidak optimal dan berkelanjutan akan mengarah pada proses kelangkaan dan kerusakan terumbu karang.

Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya).
            Kepulauan Wakatobi ini terdiri dari 39 gugusan pulau, 3 karang gosong  dan 5 atol. Terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef) dan atol. Wakatobi merupakan singkatan dari nama 4 pulau besar yang ada di kawasan tersebut, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko yang relatif kering, berbukit-bukit dan ditumbuhi oleh hutan tropis yang kering, sedangkan pulau-pulau yang lain berukuran relatif kecil (COREMAP, 2001).
            Penataan zona pada kawasan Taman Nasional Wakatobi (TNW) diperlukan dalam rangka pengelolaan kawasan dan potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara efektif, guna memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari. Penataan zonasi juga merupakan penataan ruang pada setiap kawasan taman nasional dimana penerapan dan penegakan hukum dilaksanakan secara tegas dan pasti. Sebagai konsekuensi dari sistem zonasi tersebut, maka setiap perlakuan atau kegiatan terhadap kawasan taman nasional, baik untuk kepentingan pengelolaan dan pemanfaatan, harus mencerminkan pada aturan yang berlaku pada setiap zona dimana kegiatan tersebut dilakukan. Dengan demikian keberadaan zonasi dalam sistem pengelolaan taman nasional menjadi sangat penting, tidak saja sebagai acuan dalam menentukan gerak langkah pengelolaan dan pengembangan konservasi di taman nasional, tetapi sekaligus merupakan sistem perlindungan yang akan mengendalikan aktivitas di dalam dan disekitarnya. Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang sangat penting bagi keberlanjutan sumberdaya yang ada di kawasan pesisir dan lautan. Namun dibalik potensi tersebut aktivitas manusia dalam memanfaatkan potensi sumber daya terumbu karang atau lingkungan di sekitarnya, sering tumpang tindih, dan bahkan banyak di antara aktivitas tersebut, baik yang sengaja maupun tidak sengaja, telah menyebabkan kerusakan terumbu karang (Supriharyono, 2000).
            Pada kenyataannya terumbu karang yang berfungsi sebagai daerah perlindungan bagi organisme laut, mempunyai  kestabilan, keragaman dan ekosistem yang beradaptasi baik adanya simbiose internal dan intra komunitas, akan tetapi tidak kebal terhadap gangguan aktivitas manusia dan mudah sekali diserang oleh faktor – faktor perusak (ekosistem yang fragile) (Odum, 1971).
Biota laut di pulau ini sangat beragam. Menurut informasi pemerintah daerah setempat saat ini terumbu karang banyak diekploitasi, selain itu penangkapan ikan di pulau banyak menggunakan bahan peledak yang dapat merusak ekosistem terumbu karang selain itu juga banyaknya akktifitas masyrakat lokal yang melalukan kegiatan pengambilan karang untuk bahan bangunan, penggunaan teknologi penangkapan ikan tradisional yang menggunakan bahan peledak dan racun sianida, aktifitas pengambilan hasil laut (mencungkil, menginjak dan mematahkan karang) dan aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan jala dan bubu yang dapat merusak terumbu karang, pengambilan ikan hias dengan cara mengangkat terumbu karang dari tempatnya, pengambilan terumbu karang yang khas untuk asessoris rumah serta berbagai keiatan lainnya. Selain itu juga banyak aktifitas masyarakat dalam maupun luar yang melakukan aktifitas menyelam ataupun snorkling yang sering merusak karang dengan di injak.
 Atas dasar pertimbangan tersebut maka penulis  perlu mengetahui berbagai aktivitas masyarakat dan mengetahui suatu kondisi terumbu karang di zona – zona tertentu yang berada di Pulau Kaledupa yang  dituangkan dalam Karya Ilmiah Praktek Akhir dengan judul:
 “ Perbandingan Kondisi Terumbu Karang pada Zona Pariwisata dengan Zona Perlindungan Bahari di Pulau Kaledupa, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara”.








  

1.2 Tujuan
1.      Untuk mengetahui sejauh mana Perbandingan terumbu karang pada Zona Pariwisata Zona Perlindungan Bahari di pulau kaledupa
2.      Mengetahui kondisi lingkungan (faktor-faktor pembatas) yang paling berpengaruh pada pertumbuhan karang.
3.       Inventarisasi upaya perlindungan Zona Pariwisata dan Zona Perlindungan bahari.
1.3 Batasan Masalah
      Pada praktek Akhir ini penulis membatasi masalah  pada :
1.      Pengamatan tutupan karang hidup, karang mati dan bentuk pertumbuhan (life   form) karang dengan menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect) untuk pengambilan data terumbu karang.
2.      Faktor - faktor pembatas yang mempengaruhi terumbu karang seperti (suhu, salinitas, kecerahan dan kecepatan arus).
3.      Upaya perlindungan Zona Pariwisata dan Zona Perlindungan Bahari di batasi dengan program – program yang dilaksanakan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ekosistem Terumbu Karang
            Terumbu karang adalah endapan masif yang merupakan hasil akhir dari kombinasi dinamika produksi kalsium karbonat oleh alga berkabur, organisme – organisme lain penghasil kalsium karbonat dan hewan karang (Filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan erosi terumbu akibat faktor biologis dan fisik (Idris 2007)
            Hewan karang atau polip memperoleh energi dalam bentuk makann dan oksigen langsung dari zooxanthellae hal ini sangat membantu pertumbuhan dari polip karang itu sendiri. Sebaliknya,zooxanthellae yang hidup pada jaringan karang, selain memperoleh tempat berlindung dari pemangsa,dapat juga memakai karbondioksida yang dihasilkan polip karang dari proses respirasi, nutrien – nutrien (PO4, NH3) dan produk – produk metabolisme lainnya (urea, asam amino) yang berasal dari eksresi karang untuk proses fotosintesis (Burke et al., 2002;Nontji,1984).
            Struktur hewan karang tersusun rapat membentuk berbagai bentuk koloni kokoh yang mampu mencapai ukuran yang sangat besar sampai berkilo – kilo meter lebarnya (Burke et al., 2002).
            Koloni karang tumbuh dengan cara menambah polip baru yang di modifikasi sesuai faktor lingkungan terutama intensitas cahaya dan tekanan gelombang (Wood, 1993). Kondisi ini menyebabkan koloni karang memiliki beragam bentuk pertumbuhan hidup (lifeform)
2.2 Biologi Karang
      Karang adalah anggota filum Cnidaria, yang termasuk mempunyai bermacam-macam bentuk seperti ubur-ubur, hidroid, Hydra air tawar, dan anemon laut. Karang dan anemon laut adalah anggota taksonomi klas yang sama yaitu Anthozoa. Perbedaan yang utama  bahwa karang menghasilkan kerangka luar dari kalsium karbonat, sedangkan anemon tidak. Karang dapat hidup berkoloni atau sendiri, tetapi hampir semua karang hermatipik merupakan koloni dengan berbagai individu hewan karang atau polip menempati mangkuk kecil atau koralit dalam kerangka yang masive (Nybakken, 1992).
Dinding dari polip karang terdiri dari tiga lapisan yaitu ektoderma, endoderma dan mesoglea. Ektoderma merupakan jaringan terluar yang terdiri dari berbagai jenis sel yang antara lain sel mucus dan sel nematocyts. Mesoglea merupakan jaringan di tengah yang berupa lapisan berupa jelly. Di dalam lapisan jelly terdapat fibril – fibril, sedangkan di lapisan luar terdapat sel semacam sel otot.  Sedangkan jaringan endoderma berada di lapisan dalam yang sebagian besar selnya berisi sel algae yang merupakan simbion karang. Seluruh permukaan jaringan karang juga dilengkapi dengan cilia dan flagela. Kedua sel ini berkembang baik di tentakel dan di dalam sel mesenteri.  Pada lapisan ektoderma banyak dijumpai sel glandula yang berisi mucus dan sel knidoblast yang berisi sel nematocyts. Nematocyts merupakan sel penyengat yang berfungsi sebagai alat penangkap makanan dan mempertahankan diri. Sedangkan sel mucus berfungsi sebagai produsen mucus yang membantu menangkap makanan dan untuk membersihkan diri dari sedimen yang melekat (Suharsono, 2004).
 










Gambar 1. Anatomi Terumbu Karang
(Sumber: Castro dan Huber, 2000 dalam  Wikipedia, 2006)

2.2.1 Taksonomi

              Menurut Veron (2000) dalam Direktorat Konservasi Taman Nasional Laut, Departemen kelautan dan Perikanan (2006),  hewan karang dapat diklasifikasikan menjadi:
Filum         :     Coelenterata
Sub Filum :      Cnidaria
Kelas         :     Anthozoa
Ordo          :     Scleractinia (Madreporaria)
Famili        :     (1). Astrocoeiniidae, (2). Pocilloporidae, (3). Acroporidae, (4). Poritiidae, (5). Siderastreidae, (6). Agariciidae, (7). Fungiidae, (8). Oculinidae, (9). Pectinidae, (10). Mussidae, (11). Merulinidae, (12). Faviidae, (13). Dendrophylliidae, (14). Caryophyllidae, (15). Trachyphylliidae.

2.2.2 Morfologi

         Menurut Timotius (2003), karang atau disebut polip memiliki bagian-bagian tubuh yang terdiri dari:
1.      Mulut, dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa dari perairan serta sebagai alat pertahanan diri.
2.      Rongga tubuh (coelenteron), yang juga merupakan saluran pencernaan (gastrovascular)
3.      Dua lapisan tubuh yaitu ektodermis dan endodermis yang lebih umum disebut gastrodermis karena berbatasan dengan saluran pencernaan. Di antara kedua lapisan terdapat jaringan pengikat tipis yang disebut mesoglea. Jaringan ini terdiri dari sel-sel, serta kolagen, dan mukopolisakarida. Pada sebagian besar karang, epidermis akan menghasilkan material guna membentuk rangka luar karang, material tersebut berupa kalsium karbonat (kapur).

2.2.3 Reproduksi Karang

         Proses reproduksi karang secara aseksual terjadi dengan cara membentuk tunas baru seperti halnya pada tanaman. Tunas baru biasanya tumbuh dipermukaan bagian bawah atau pinggir dan melekat sampai ukuran tertentu, kemudian melepaskan diri dan tumbuh sebagai individu baru. Ketika polip dewasa dan membentuk koralit, maka ia mulai melakukan reproduksi secara aseksual untuk memperbesar koloni. Reproduksi aseksual pada karang dapat terjadi melalui intratentacular budding adalah tumbuhnya individu baru dari individu yang lama dan hasilnya terdapat dua individu yang identik. Extratentacular budding adalah tumbuhnya individu baru diantara individu yang lama. Polip karang memiliki jaringan otot, berfungsi untuk menggerakkan polip. Pada rongga perut terdapat filamen mesentri yang menghasilkan enzim sebagai pencerna makanan, dan pada bagian luar filamen terdapat silia halus yang berfungsi untuk menangkap partikel makanan. Pencernaan terjadi secara intra seluler sederhana dan exstra seluler (Direktorat Konservasi Taman Nasional Laut, Jendral Kelautan dan Perikanan, 2006).
.





Gambar 2. Proses Reproduksi Karang secara Seksual (Nybakken, 1988)
2.2.4        Pertumbuhan Terumbu Karang
1        Proses reproduksi karang dapat dilakukan dalam 2 cara yaitu dengan cara seksual dan aseksual. Proses reproduksi karang secara seksual menghasilkan larva plánula karang yang memiliki silia yang berguna dalam pergerakakn dalam air (Direktorat Konservasi Taman Nasional Laut, Jendral Kelautan dan perikanan, 2006). .
2        Proses reproduksi karang secara seksual dimulai saat spermatogenium dan oogenium bekembang menjadi gamet. Selanjutnya gamet yang telah masak dilepas di dalam air, terjadi pembuahan internal atau eksternal menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi blástula, kemudian gástrula dan setelah itu menjadi plánula. Plánula yang diselubungi oleh silum akan berenang bebas. Apabila menemukan tempat yang cocok, plánula akan menempel dan menetap dengan posisi bagian mulut berada di sebelah atas, sedangkan bagian pangkalnya mengeluarkan zat untuk memperkuat penempelanya, setelah karang melekat pada substrat maka  akan mengalami perubahan struktur dan histologi (Direktorat Konservasi Taman Nasional Laut, Jenderal Kelautan dan Perikanan, 2006).
3        Proses reproduksi karang secara aseksual dilakukan dengan cara membentuk tunas baru seperti halnya pada tanaman. Tunas baru biasanya tumbuh dipermukaan bagian bawah atau pinggir. Tunas baru tersebut akan melekat sampai ukuran tertentu, kemudian melepaskan diri dan tumbuh sebagai individu baru. Ketika polip dewasa dan membentuk koralit, maka ia mulai melakukan reproduksi secara aseksual untuk memperbesar koloni. Reproduksi aseksual pada karang dapat terjadi melalui intratentacular budding adalah tumbuhnya individu baru dari individu yang lama dan hasilnya terdapat dua individu yang identik. Extratentacular budding adalah tumbuhnya individu baru diantara individu yang lama. Polip karang memiliki jaringan otot, berfungsi untuk menggerakkan polip. Pada rongga perut terdapat filamen mesentri yang menghasilkan enzim sebagai pencerna makanan, dan pada bagian luar filamen terdapat silia halus yang berfungsi untuk menangkap partikel makanan. Pencernaan terjadi secara intra seluler sederhana dan exstra seluler (Direktorat Konservasi Taman Nasional Laut, Jendral Kelautan dan perikanan, 2006).
2.3 Tipe-tipe Terumbu Karang
Dapat dikenal beberapa tipe terumbu karang yang berlainan. Umumnya mereka dikelompokkan menjadi tiga kategori. Nybakken (1992) mengelompokkan formasi terumbu karang menjadi tiga kategori yaitu:
2.3.1  Fringing reefs (terumbu karang tepi)
Terumbu karang yang terbentuk memanjang di sepanjang pinggiran pantai. Terumbu karang ini terdapat di daerah kontinental shelf di laut dengan kedalaman air yang dangkal.
2.3.2   Barrier reefs (terumbu karang  penghalang)
Terumbu karang tumbuh sejajar garis pantai akan tetapi terletak jauh ketengah laut, biasanya terpisah dari daratan dengan laguna (lagoon) bagian laut yang dalam, disebut barrier karena membentuk batas antara laguna dan laut lepas.
2.3.3   Coral Atolls (terumbu karang cincin)
Terumbu karang berbentuk cincin yang tumbuh di atas gunung berapi yang tua dan tenggelam di laut. Menurut teori Darwin dalam proses pembentukan karang atol mula-mula karang tumbuh sebagai fringing reef di bagian yang dangkal mengelilingi suatu pulau vulkanik. Kemudian secara alamiah perlahan-lahan pulau tersebut tenggelam dan terumbu karang tetap meneruskan pertumbuhannya makin ke atas, sel baru tumbuh di atas sel yang mati, sampai akhirnya hanya terumbu karangnya saja yang tersisa.




2.4. Metode pengamatan terumbu karang
            Survey kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai metode tergantung pada tujuan survey, waktu yang tersedia, tingkat keahlian peneliti, dan ketersediaan sarana dan prasarana. Agar hasil survey dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah maka perlu diperhatikan cara pemilihan keterwakilan lokasi, panjang transek (sampling) yang diambil dan banyaknya ulangan yang diperlukan.
            Pengamatan terumbu karang dalam suatu lokasi pengamatan dapat diambil beberapa stasiun pengamatan. Penentuan stasiun ini dapat didasarkan kepada : (Purba, 2007).


1.         Arah datangnya angin
Penentuan stasiun berdasarkan daerah yang menghadap angin (wind-ward) dan yang membelakangi angin (lee-word). Penentuan stasiun dengan cara ini sangat tergantung pada musim saat pengamatan dilaksanakan, sehingga stasiun pengamatan dapat berubah nama dari wind-ward ke lee-ward atau sebaliknya tergantung musim saat pengamatan berlangsung.
2.         Mata angin
Penentuan stasiun berdasarkan arah mata angin yang umumnya digunakan adalah arah mata angin utama yakni Utara, Timur, Selatan dan Barat dari lokasi pengamatan. Jumlah stasiun tidak terbatas pada empat mata angin utama saja namun dapat ditambah atau dikurangi sesuai dengan tujuan pengamatan.
3.         Kondisi pulau
Penentuan stasiun berdasarkan kondisi pulau maksud adalah jika pulau (pulau kecil) yang menjadi lokasi pengamatan berpenduduk perlu dipertimbangkan lokasi penduduk dan lokasi buangan limbah penduduknya karena hal ini amat mempengaruhi hasil pengamatan.
2.5. Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang
            Disamping faktor spesies, kecepatan tumbuh karang juga ditentukan oleh kondisi lingkungan hidup mereka berada. Perairan yang kondisi lingkungannya mendukung pertumbuhan karang, maka biasanya karang tumbuh lebih cepat dibandingkan di daerah yang tercemar (Supriharyono, 2000).
            Ada beberapa faktor penentu proses kalsifikasi atau pertumbuhan karang, diantaranya yang paling dominan (Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau–Pulau Kecil, Direktorat Konservasi dan Taman Nasional, 2002) adalah : 
1.      Cahaya
            Intensitas cahaya sangat mempengaruhi kehidupan karang yaitu pada proses fotosintesa zooxanthella yang produknya kemudian disumbangkan ke polip karang. Intensitas cahaya berhubungan dengan kedalaman. Ditempat dalam dengan intensitas cahaya rendah tidak ditemukan terumbu karang. Kedalaman yang dalam berarti berkurangnya cahaya, sehingga menyebabkan laju fotosintesa akan berkurang dan pada akhirnya kemampuan karang untuk membentuk kerangka juga berkurang. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang dengan baik pada kedalaman 25 meter atau kurang. Pertumbuhan karang sangat berkurang saat tingkat laju produksi primer sama dengan respirasinya (zona kompensasi) yaitu kedalaman di mana kondisi intensitas cahaya berkurang sekitar 15 – 20 % dari intensitas cahaya di lapisan permukaan air. Dahuri (2003)
Penetrasi cahaya pada badan air dapat berkurang oleh sebab kekeruhan air, sehingga sedimentasi yang ekstrim dapat bersifat merugikan pada karang dan terumbu, dimana  pengaruhnya mulai dari perlambatan pertumbuhan koloni baru (Brown dan Howard, 1985 ; Babcock dan Davies, 1991; Wilkinson dan Buddemier, 1994 dalam Balai Riset Perikanan Laut, 2008). Sebaliknya, kejernihan air dapat menyebabkan penetrasi radiasi solar ultra violet B (UV-B), sehingga terumbu karang lebih terbuka pada radiasi yang kemudian menyebabkan efek detrimental pada organisme terumbu (Jokiel dan York, 1982 dalam Balai Riset Perikanan Laut). Namun, karang dan banyak fauna yang hidup di terumbu pada perairan dangkal telah mengembangkan mekanisme yang mampu mencegah dan menghindar dari kerugian akibat radiasi UV dengan jalan menghasilkan substansi yang dapat menyerap radiasi UV, yang kemudian dapat disintesa oleh simbion atau diakumulasi melalui rantai makanan.
2.      Suhu air
            Suhu mempengaruhi kecepatan metabolisme, reproduksi dan perombakan bentuk luar dari karang. Suhu paling optimal bagi pertumbuhan karang berkisar antara 23°C - 30°C. Pada suhu di bawah 18°C, dapat menghambat pertumbuhan karang bahkan dapat mengakibatkan kematian. Pada suhu di atas 33°C dapat menyebabkan gejala pemutihan (bleaching), yaitu keluarnya zooxanthella dari polip karang dan akibat selanjutnya dapat mematikan karang. Ketika perubahan suhu sangat cepat, dipertimbangkan bahwa karang lebih rentan pada pemanasan daripada pendinginan, namun ada beberapa yang tahan hidup di dekat batas atas suhu yang mematikan (Jokiel dan Coles, 1990 dalam  Balai Riset Perikanan Laut, 2008).
3.      Arus
            Arus atau gelombang penting untuk transportasi zat hara, larva, bahan sedimen dan oksigen. Selain itu arus atau gelombang dapat membersihkan polip karang dari kotoran yang menempel. Sedimentasi dari partikel lumpur padat yang dibawa oleh aliran permukaan (surface run off) akibat erosi yang menutupi terumbu karang dapat berdampak negatif terhadap hewan karang tetapi juga terhadap biota yang hidup berasosiasi dengan habitat tersebut. Partikel lumpur yang tersedimentasi tersebut dapat menutupi polip sehingga respirasi organisme terumbu karang dan proses fotosintesis oleh zooxanthella akan terganggu. Itulah sebabnya karang yang hidup di daerah berombak atau berarus kuat lebih berkembang dibanding daerah yang tenang dan terlindung. Itulah sebabnya karang yang hidup di daerah berombak atau berarus kuat lebih berkembang dibanding daerah yang tenang dan terlindung (DKP, 2006). Arus akan membawa makanan dan oksigen yang diperlukan oleh karang. Selain membawa suplai makanan, arus dapat membersihkan kotoran yang menyumbat  polip karang (Nybakken 1988).
4.      Salinitas
      Salinitas mempengaruhi kehidupan hewan karang karena adanya tekanan osmosis pada jaringan hidup. Salinitas optimum bagi kehidupan karang berkisar 30-33 ‰, oleh karena itu karang jarang ditemukan hidup pada muara-muara sungai besar, bercurah hujan tinggi atau perairan dengan kadar garam yang tinggi.
Daya tahan terhadap salinitas setiap jenis karang tidak sama. Sebagai contoh, Kinsman (1964) dalam Supriharyono (2000) mendapatkan bahwa Acropora dapat bertahan pada salinitas 40‰ hanya beberapa jam di West Indies, akan tetapi Porites dapat tahan dengan salinitas sampai mencapai 48‰.
5.      Substrat
Substrat yang keras dan bersih dari limpur di perlukan untuk peletakan larva karang  (Planula) yang akan membentuk koloni baru. Substrat keras ini berupa benda padat yang di dasar laut, misalnya batu, cangkang moluska, potongan kayu bahkan besi yang terbenam (Suharsono, 1996).



2.6 Nilai dan Manfaat Terumbu Karang
Menurut DKP (2006), terumbu karang memiliki peranan penting dalam lingkungan kawasan pesisir dan lautan, baik ditinjau dari segi biologi, ekologi maupun sosio-ekonomi maupun budaya.
            Terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya (Idris dkk, 2007).
2.6.1 Manfaat Bio-Ekologi
            Sebagai ekosistem pesisir, terumbu karang mempunyai manfaat secara bio-ekologi sebagai berikut:
  1. Penyedia pangan (perikanan perairan karang);
  2. Pelindung pantai sebagai pemecah ombak, dan badai;
  3. Tempat hidup, berpijah, bertelur, mencari makan dari berbagai biota laut yang bernilai ekonomis tinggi;
  4. Sebagai pencatat iklim atau gejala masa lalu;
  5. Penghasil berbagai macam bahan baku obat-obatan;
Dengan demikian terumbu karang merupakan sistem bioekologi esensial dan sistem penyangga kehidupan yang sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia dan pembangunan berkelanjutan.


2.6.2 Nilai Sosio-Ekonomi
            Komunitas karang saling berinteraksi antara komponen biotik dan abiotik yang sangat dibutuhkan untuk mendukung perekonomian masyarakat, antara lain berupa :
1.      Perikanan terumbu karang, baik tradisional maupun komersial memberikan sumbangan yang besar untuk meningkatkan kehidupan masyarakat pesisir dan perekonomian nasional.
2.      Kegiatan wisata bahari yang bertumpu pada terumbu karang memiliki nilai estetika tinggi memberikan peranan dalam meningkatkan pendapatan daerah dan nasional.
3.      Keanekaragaman karang dan ikan hias merupakan potensi perdagangan yang cukup besar, terutama untuk memenuhi kebutuhan akuarium laut dalam dan luar negeri.
4.      Nilai Estetika, dapat membentuk panorama yang indah di kedalaman laut, yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai  arena wisata bahari.
5.      Nilai Edukasi, sebagai obyek penelitian dan pendidikan.

2.6.3  Penyebab Kerusakan Terumbu Karang
Menurut Suharsono (1998), kerusakan terumbu karang dapat digolongkan menjadi 4 faktor berdasarkan penyebab kerusakannya, antara lain akibat faktor biologis, akibat faktor fisik, akibat aktifitas manusia secara langsung dan akibat manusia secara tidak langsung.


2.6.3.1.  Akibat Faktor Biologis
1.      Predasi
Predasi yaitu adanya jenis-jenis karang/biota karang lain tertentu yang bersifat aktif dan agresif untuk mendapatkan makanan, sehingga dapat menghambat/mematikan pertumbuhan karang lainnya. Kerusakan dapat disebabkan oleh beberapa hewan pemakan polyp karang atau hewan yang membuat rumahnya didalam koloni karang. Hewan pemakan polip biasanya aktif pada malam hari. Dari berbagai hewan pemakan polyp karang maka Acanthaster planci yang mempunyai kemampuan paling besar untuk merusak koloni karang. Acanthaster planci menyukai daerah terumbu karang yang padat dengan persentase tutupan yang tinggi dan pada umumnya menyukai karang bercabang dengan bentuk pertumbuhan pertumbuhan seperti meja.
Gambar 4. Acanthaster planci (bulu seribu) merupakan binatang pemakan karang yang sangat berbahaya (doc. Rahman, 2007)


2.      Penyakit
Karang secara alami mempunyai penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Serangan penyakit ini biasanya dipicu oleh adanya kondisi perairan yang tidak normal. White band disease atau penyakit gelang putih ditandai dengan adanya warna putih pada sebagian koloni sedang bagian koloni yang lain mempunyai warna normal. Penyakit ini diduga terdapat konsenterasi bakteri yang sangat banyak, bakteri ini berbentuk memanjang dan ditemukan didalam jaringan epidermis kalikoblast.
Gambar 5. ”White band disease” Penyakit Gelang Putih (doc. Rahman, 2007)
3.      Bioerosi
Bioerosi yaitu kerusakan karang baik secara kimiawi maupun mekanis karena terdegradasi nya kapur kerangka tubuh karang (CaCO3) yang disebabkan aktifitas organisme lain. Contoh bioerosi yang di sebabkan oleh poliket, moluska, crustacea membuat lubang untuk rumahnya dengan cara mengebor kerangka karang.
Gambar 6 . Bioerosi Kerusakan Terumbu Karang (doc. Rahman, 2007)
2.6.3.1.2  Akibat Faktor Alam
1.   Kenaikan Suhu Air Laut
Kenaikan suhu air laut sekitar 3 - 4 °C dari suhu normal akibat peristiwa El Nino dapat menyebabkan karang ”Bleaching” yang kadang-kadang diikuti dengan kematian karang. Karang di daerah tropis lebih sensitif terhadap perubahan suhu air laut dibandingkan dengan di daerah sub tropis. Peristiwa bleaching yang diikuti oleh kematian karang yang terbesar terjadi pada tahun 1983 dimana hampir semua karang hidup di daerah tropis mulai dari Panama sampai daerah Pasifik Barat dan laut Karibia mengalami bleaching  yang diikuti kematian. Di laut Jawa pada tahun 1983 kenaikan suhu air laut mencapai 3 - 4 °C di atas normal selama enam minggu dan kematian karang mencapai 80 - 90 %. Karang mati mulai dari kedalaman 1 - 15 meter yang mula-mula terlihat mati terlebih dahulu adalah karang jenis Acropora dan Pocillopora sesudah 4 minggu kemudian hampir seluruh jenis karang dan karang lunak ikut memutih dan pada akhir minggu keenam semua karang yang memutih mengalami kematian (Suharsono, 1998).
2.      Pasang Surut
Kematian akibat pasang surut dapat terjadi apabila terjadi pasang surut yang sangat rendah sehingga terumbu karang muncul di atas permukaan air dan terjadi pada siang hari (matahari terik) atau pada saat hujan, sehingga air hujan langsung mengenai terumbu karang. Kematian karang akibat pasang surut biasanya terjadi satu atau dua kali dalam setahun, dan meliputi area yang cukup luas.
3.      Penurunan Salinitas
Secara fisik kematian karang karena penurunan salinitas dimulai dengan kontraksi dari polip karang untuk lebih mempersempit kontak dengan air laut bersalinitas rendah. Kontraksi polip akan mengurangi kecepatan fotosintesa sehingga akan mengurangi proses respirasi. Karena karang tidak mempunyai mekanisme untuk mengatur tekanan osmose di dalam tubuhnya maka sel-sel akan pecah dan zooxanthellae keluar dari jaringan karang, akibatnya karang memutih. Jika penurunan ini berlangsung cukup lama akhirnya semua jaringan karang akan lysis dan mati.
4.      Gunung Berapi, Gempa Bumi dan Tsunami
Aktifitas gunung berapi, gempa bumi dan tsunami mempunyai potensi merusak terumbu karang yang akibatnya sangat berat. Gunung berapi di Indonesia yang berpotensi menyebabkan kerusakan terumbu karang antara lain Gunung Krakatau di Selat Sunda, Gunung Api Banda di Banda, Gunung Siau di Pulau Sangihe, Gunung Lewotolo di Pulau Lembata dan Gunung Pinang di Sulawesi. Akibat letusan gunung api seluruh terumbu karang yang ada disekitarnya mati dan aliran lahar yang masuk ke laut biasanya menutupi seluruh terumbu karang. Bila lahar yang tertumpah ke laut berupa batuan beku maka karang akan dapat segera tumbuh kembali tetapi jika lahar yang masuk kelaut berupa pasir atau partikel yang halus maka karang sulit tumbuh kembali. Sebagai contoh karang tumbuh dengan cepat diatas lahar yang masuk ke laut di Gunung api Banda. Tujuh tahun sesudah terjadi letusan, karang telah pulih kembali dengan persentase tutupan hampir mencapai 100 % (Suharsono, 1998).
5.      Taifun atau Badai
Kerusakan karang yang disebabkan oleh taifun biasanya sangat parah dan pada area yang cukup luas tergantung dari kekuatan taifun tersebut. Sebagai contoh waktu terjadinya taifun Lena Januari 1993, Kupang dan Flores terkena imbas yang berupa angin ribut dengan kecepatan 90 km/jam yang menimbulkan gelombang dan ombak besar dilaut yang dapat menyebakan karang bercabang patah dan mati.
2.6.3.1.3.  Akibat Aktifitas Manusia Secara Langsung
a.      Penambangan Karang dan Pasir Laut
Penambangan karang biasanya dilakukan untuk bahan bangunan, pembuatan kapur atau bahan kerajinan. Karang yang diambil dapat berupa karang hidup atau pecahan karang mati dan berasal dari semua jenis karang batu. Akibat adanya penambangan karang itu selain menyebabkan kerusakan karang secara langsung juga dapat menyebabkan erosi pantai, karena karang sebagai penahan ombak telah rusak sehingga menyebabkan gelombang langsung menggerus pantai sedangkan pasir laut yang ditambang akan mencemari wilayah terumbu karang di sekitarnya.
b.      Pengeboman Karang
Kerusakan karang akibat bom sangat luas. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa penggunaan bom seberat 0,5 kg yang diledakkan di dasar terumbu dapat menghancurkan terumbu karang dengan radius 3 - 5 m dari pusat ledakan.
c.       Penggunaan Sianida
Dampak penggunaan potas terhadap terumbu karang dapat menyebabkan kematian karang apabila digunakan dengan konsenterasi yang cukup tinggi dan berulang kali. Cara penangkapan dengan bahan kimia beracun seperti Sianida merupakan kegiatan penangkapan yang dapat merusak atau menghancurkan terumbu karang.
d.      Jangkar Perahu
Walaupun sekarang ini wisata bahari belum menyebar luas di Indonesia namun gejala – gejala penigkatan rekreasi ini menunjukkan peningkatan yang tajam, dengan demikian aktifitas untuk menuju ke tempat untuk menyelam menggunakan kapal – kapal, aktifitas lempar jangkar di daerah terumbu karang juga memberikan kontribusi cukup besar dalam kerusakan karang.


e.       Kegiatan Pariwisata
Pengelolaan wisata bahari yang tidak memperhatikan lingkungan seperti membuang sampah sembarangan, snorkling/diving dengan menginjak karang, dan pengambilan biota sebagai cinderamata.
2.6.3.1.4   Akibat Aktifitas Manusia Secara Tidak  Langsung
1.  Sedimentasi
                 Sumber utama sedimentasi adalah dari kegiatan penambangan di laut dan sedimen yang berasal dari daratan yang dibawa oleh air sungai ke laut. Sedimentasi tersebut akan menyebabkan kekeruhan sehingga menghambat penetrasi sinar matahari dalam air yang sangat dibutuhkan oleh karang untuk proses biologisnya. Tanda-tanda adanya sedimen yaitu warna air menjadi coklat kehijauan dan keruh. Karena berkurangnya sinar matahari, pertumbuhan karang menjadi lambat, hewan karang kekurangan makanan, kondisi lingkungan menjadi memburuk dan memudahkan terjangkit penyakit, menyebabkan keseimbangan terganggu dan akhirnya akan mengancam ekosistem karang secara keseluruhan menjadi rusak
                 Tindakan pengelolaannya yaitu mengurangi limbah melalui aliran sungai ke laut dengan melakukan pemantauan, pengelolaan dan pengawasan pembuangan limbah di daratan sampai jarak puluhan atau ratusan kilometer dari pantai. Perlu upaya pemerintah daerah dan instansi yang bersangkutan dalam penyuluhan dan tindakaan nyata agar limbah dan kotoran berupa tanah dapat dikelola dengan baik ( Murdiyanto, 2003).

2.         Pencemaran
                 Pencemaran laut yang disebabkan oleh limbah dari kota seperti limbah industri, limbah rumah tangga, limbah hotel dan perkantoran, bengkel serta rumah sakit. Beberapa limbah buangan yang dapat mematikan karang antara lain deterjen, senyawa chlorine dari pestisida (DOT, Eldrin, Endrin), senyawa polychlorinited biphenly yang berasal dari pabrik cat, plastik, zat organik berupa nitrat dan fosfat dapat menyebabkan utropikasi (blooming algae tertentu).
3.          Tumpahan Minyak Bumi
Tumpahan minyak bumi ke laut dalam jumlah cukup besar dapat menghambat reproduksi dan perkembangan larva karang, menghambat pertumbuhan karang, bleaching sampai menyebakan kematian. Tumpahan minyak mentah yang terjadi di Kepulauan Seribu yang diduga berasal dari hasil pencucian kapal tanker yang lewat di sekitar Kepulauan Seribu. Tumpahan ini mengakibatkan anakan pohon mangrove terselimuti minyak mentah dan mati sebulan kemudian (Suharsono, 1998).
   2.7.   Kondisi Terumbu Karang di Kawasan Perairan Wakatobi
Surga nyata bawah laut  merupakan julukan yang diberikan kepada kawasan Taman Nasional Wakatobi. Yang terletak di jantung segitiga karang dunia (The heart of coral triangle centre), Wakatobi memiliki kekayaan sumberdaya laut yang melimpah dan eksotik. Air laut yang sangat jernih, terumbukarang yang mempesona dan dihuni oleh beragam hewan laut seperti ikan paus, ikan duyung, ikan lumba lumba, ikan napoleon dan berbagai jenis ikan hias lainnya serta berbagai jenis tumbuhan lautnya layaknya sebuah taman di lautan. Selain itu, pantainya yang elok dengan dihiasi pasir putih membentang menyempurnakan keindahan kepulauan wakatobi. Kecantikan Wakatobi inilah yang selalu memberi kesan tak terlupakan bagi siapa saja yang pernah mengunjunginya. Dan sudah banyak yang mengakui bahwa TamanNasional Wakatobi merupakan taman laut terindah dan terumbu karang terbaik di dunia.Kepulauan Wakatobi terletak di pertemuan Laut Banda dan Laut Flores. Wakatobi merupakan Singkatan  dari nama empat pulau besar yang ada di kawasan tersebut, yaitu Pulau Wangi-wangi. Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Luas masing-masing pulau adalah Pulau Wangi-wangi (156,5 km2), Pulau Kaledupa (64,8 km2), Pulau Tomia (52,4 km2), dan Pulau Binongko (98,7 km2). Semula gugusan pulau ini dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi, karena sejak dahulu penduduk di kepulauan ini dikenal sebagai pengrajin atau pandai besi yang memasok kebutuhan rumah tangga dan alat-alat perang bagi kerajaan Buton dan sekitarnya (Taman Nasional Wakatobi, 2008).
Wakatobi adalah wilayah yang memiliki keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati lainnya (termasuk ikan) tertinggi di dunia, yang meliputi Philipina, Indonesia sampai kepulauan Solomon. Kekayaan keanekaragaman hayati laut menjadikan Kepulauan Wakatobi ditunjuk sebagai Taman Nasional Laut berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No 393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996 dan ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No 7651/Kpts/II/2002 tanggal 19 Agustus 2002 dengan luasan 1.390.000 Ha (COREMAP II, 2008).
            Berdasarkan hasil citra satelit, diketahui bahwa luas terumbu karang di kepulauan Wakatobi adalah 8.816,169 hektar. Di kompleks P. Wangi-wangi dan sekitarnya (P. Kapota, P. Suma, P. Kamponaone) lebar terumbu mencapai 120 meter (jarak terpendek) dan 2,8 kilometer (jarak terjauh). Untuk P. Kaledupa dan P. Hoga, lebar terpendek terumbu adalah 60 meter dan terjauh 5,2 kilometer. Pada P. Tomia, rataan terumbunya mencapai 1,2 kilometer untuk jarak terjauh dan 130 meter untuk jarak terdekat. Kompleks atol Kaledupa mempunyai lebar terumbu 4,5 kilometer pada daerah tersempit dan 14,6 kilometer pada daerah terlebar. Panjang atol Kaledupa sekitar 48 kilometer. Atol Kaledupa merupakan atol terbesar yang ada di kawasan Wakatobi. Kepulauan Wakatobi secara administratif, awalnya termasuk dalam Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara, namun sejak tahun 2004 terbentuk Kabupaten Wakatobi yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Buton dengan letak dan luas yang sama dengan Taman Nasional Wakatobi (TNW). Wilayah Kabupaten Wakatobi didominasi oleh perairan yang luasnya mencapai 55.113 km2 dan garis pantai ± 251,96 km  atau mencapai 98,5% dari keseluruhan total wilayah. Selain itu juga sumberdaya perairannya memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga pengelolaan kepulauan Wakatobi perlu mempertimbangkan kaidah-kaidah konservasi, (Badan pusat statistik, 2009, Wakatobi)
2.8. Definisi dan Batasan Ekowisata Bahari dan Pesisir
            Menurut UU. No 27 Tahun (2007) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Sedangkan zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir (Coremap, 2008).
            Definisikan dari sudut ekologis bahwa wilayah pesisir merupakan lokasi dari beberapa ekosistem unik dan saling terkait, dinamis, dan produktif. Beberapa ekosistem utama di wilayah pesisir adalah estuari, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, pantai (berbatu, berpasir dan berlumpur), dan pulau-pulau kecil. Secara prinsip, ekosistem pesisir mempunyai fungsi pokok bagi kehidupan manusia yaitu penyedia sumberdaya alam, penerima limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan dan penyedia jasa-jasa kenyamanan, selanjutnya dikatakan berbagai aktivitas pembangunan di wilayah pesisir dan laut secara signifikan telah memberi konstribusi terhadap kelestarian dan daya dukung lingkungan serta perubahan-perubahan terhadap kehidupan sosial. Salah satu alternatif untuk pembangunan jangka panjang adalah memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir dan laut secara efisien dan berkelanjutan (Bengen , 2001).
            Pengembangan kawasan wisata bahari yang berwawasan lingkungan akan memberikan jaminan terhadap kelestarian dan keindahan lingkungan, terutama yang berkaitan dengan  jenis biota  dan ekosistem utama pesisir. Salah satu kegiatan wisata bahari yang dikelola di Indonesia adalah kawasan terumbu karang, yang pada hakekatnya memadukan dua sistem yaitu kegiatan manusia dan ekosistem laut dari terumbu karang. Dengan demikian kegiatan wisata bahari sangat tergantung pada sumberdaya alam yang apabila terjadi kerusakan akan menurunkan mutu daya tarik pariwisata.
Menurut Bengen (2001) secara umum zonasi disuatu kawasan konservasi dapat dikelompokkan atas tiga, yaitu :
1.      Zona inti atau perlindungan
Habitat di zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi, sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan, dan hanya dapat mentolerir sangat sedikit aktivitas manusia. Zona ini harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi, serta tidak diizinkannya adanya aktivitas eksploitasi.
2.      Zona penyangga
Zona ini bersifat lebih terbuka, tetapi  tetap dikontrol dan beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diizinkan. Penyangga di sekeliling zona perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi darberbagai aktivitas pemanfaatan yang dapat mengganggu, dindungi kawasan konservasi dari pengaruh eksternal.  
3.      Zona pemanfaatan
Lokasi di zona masih ini memiliki nilai konservasi tertentu, tapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia dan layak bagi berbagai kegiatan eksploitasi yang diizinkan dalam suatu kawasan, dan kawasan konservasi di pesisir dan laut adalah untuk mengkonservasi ekosistem dan sumberdaya alam, agar proses-proses ekologis di suatu wilayah dapat terus berlangsung dan tetap dipertahankannya produksi bahan makanan dan jasa- jasa lingkungan bagi kepentingan manusia secara berkelanjutan (Agardy, 1997 dalam Bengen, 2001).
Untuk dapat mencapai sasaran tersebut di atas, maka penetapan kawasan konservasi pesisir dan laut harus ditujukan untuk (Bengen, 2001) antara lain :
a.       Melindungi habitat-habitat kritis.
b.      Mempertahankan keanekaragaman hayati.
c.       Mengkonservasi sumberdaya ikan.
d.      Melindungi garis pantai.
e.       Melindungi lokasi-lokasi yang bernilai sejarah dan budaya.
f.       Menyediakan lokasi rekreasi dan pariwisata alam.
g.      Merekolonisasi daerah-daerah yang tereksploitasi.
h.      Mempromosikan pembangunan kelautan berkelanjutan.
2.9.  Kondisi Terumbu Karang di Indonesia
            Perairan Indonesia yang luasnya 5,1 juta km2,termasuk zona ekonomi eksklusif Indonesia  ZEEI 2,7 juta Km2 memiliki keaneka ragaman hayati yang tinggi. Salah satu keaneka ragaman hayati yang tinggi yang hidup di laut yaitu terumbu karang. Jumlah jenis karang batu di Indonesia tercatat sebanyak 590 jenis, yang di dominasi oleh karang dari genus acropora (91 jenis), montipora (29 jenis ) dan porites (14 jenis). Kondisi terumbu karang saat ini telah mengalami kerusakan dan penurunan yang disebabkan antara lain oleh pengeboman ikan, pengambilan ikan dengan menggunakan bahan beracun serta pengambilan dan perdagangan karang hias illegal. Berdasarkan hasil penelitian oseangrafi (P2O) – lipi tahun 2002, dari 556 lokasi yang tersebar diperairan Indonesia menunjukan bahwa 6,38 % dalam kondisi sangat baik, 25,7% dalm kondisi baik, 36,87% dalam kondisi sedang, dan 30,58% dalam kondisi rusak (Suharsono dan Gianto, 2003 dalam BTNKps, 2007).           



 

No comments:

Post a Comment