Perbandingan Kondisi Terumbu Karang Pada Zona Pariwisata dan Zona
Perlindungan Bahari di Pulau kaledupa, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi
Tenggara.
Taman Nasional Wakatobi
memiliki luas area sekitar 1.39 juta ha dengan potensi sumberdaya alam laut
yang bernilai tinggi, baik jenis dan keunikannya, yang menyajikan panorama
bawah laut yang menakjubkan. Secara umum, perairannya
mempunyai konfigurasi mulai dari datar, melandai ke arah laut, dan bertubir
curam. Kedalaman airnya bervariasi hingga mencapai 1.044 meter dengan dasar
perairan sebagian besar berpasir dan berkarang. Taman tersebut (berada di
Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara) terdiri dari empat pulau besar, yaitu:
Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Pada tahun 1994, tim survei IPB
mengungkapkan bahwa di Wakatobi terdapat
beranekaragam kekayaan alam bawah laut, seperti terumbu karang dan aneka
binatang laut. Karena memiliki kekayaan alam bawah laut, kawasan tersebut
menyajikan panorama bawah laut yang begitu menawan dan sangat bagus sebagai
tempat kegiatan menyelam. Setelah mempelajari dengan seksama hasil temuan tim
IPB, Menteri Kehutanan pada tahun 1996 mengeluarkan surat keputusan
No.393/Kpts-V/1996 yang menetapkan Wakatobi sebagai taman nasional (Wikipedia,
2010).
Biota laut di
Zona ini sangat beragam. Menurut informasi pemerintah daerah setempat saat ini
terumbu karang banyak diekploitasi, selain itu penangkapan ikan di pulau banyak
menggunakan bahan peledak yang dapat merusak ekosistem terumbu karang selain itu juga banyaknya akktifitas masyrakat lokal
yang melalukan kegiatan
pengambilan karang untuk bahan bangunan, penggunaan teknologi penangkapan ikan
tradisional yang menggunakan bahan peledak dan racun sianida, aktifitas
pengambilan hasil laut (mencungkil, menginjak dan mematahkan karang) dan
aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan jala dan bubu yang dapat merusak
terumbu karang, pengambilan ikan hias dengan cara mengangkat terumbu karang dari
tempatnya, pengambilan terumbu karang yang khas untuk asessoris rumah serta
berbagai keiatan lainnya. Selain itu juga
banyak aktifitas masyarakat dalam maupun luar yang melakukan aktifitas menyelam
ataupun snorkling yang sering merusak karang dengan di injak.
Atas
dasar pertimbangan tersebut maka penulis
perlu mengetahui berbagai aktivitas masyarakat dan mengetahui suatu
kondisi terumbu karang di zona – zona tertentu yang berada di Pulau Kaledupa
yang dituangkan dalam Karya Ilmiah Praktek Akhir
dengan judul: “ Perbandingan Kondisi Terumbu Karang pada Zona Pariwisata dengan
Zona Perlindungan Bahari di Pulau Kaledupa, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi
Tenggara”.
Tujuan
Untuk mengetahui kondisi, tutupan, dan parameter pembatas terumbu karang
serta membandingkan Kondisi Tutupan setiap Zona Pariwisata dan Zona
Perlindungan Bahari di perairan Pulau Kaledupa, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi
Tenggara.
Batasan Masalah
Pada
pelaksanaan praktek ini penulis membatasi masalah hanya pada :
- Pengamatan persentase tutupan terumbu karang (life form) pada kedalaman 5 dan 10 m.
2. Pengamatan parameter lingkungan yang
mempengaruhi kehidupan karang, yaitu: suhu, salinitas, kecerahan, kedalaman, serta kecepatan
dan arah arus.
3. Mengamati dan aktifitas masyarakat di Zona
Pariwisata dan Zona Perlindungan serta mengetahui upaya – upaya pengelolaan
yang dilakukan oleh pihak Taman Nasional Wakatobi.
Tipe-tipe Terumbu Karang
1.
Fringing reefs (terumbu karang tepi)
Terumbu karang yang
terbentuk memanjang di sepanjang pinggiran pantai. Terumbu karang ini terdapat
di daerah kontinental shelf di laut dengan kedalaman air yang dangkal.
2.
Barrier reefs (terumbu karang penghalang)
Terumbu karang tumbuh sejajar garis pantai
akan tetapi terletak jauh ketengah laut, biasanya terpisah dari daratan dengan
laguna (lagoon) bagian laut yang
dalam, disebut barrier karena
membentuk batas antara laguna dan laut lepas.
3. Coral Atolls (terumbu karang cincin)
Terumbu
karang berbentuk cincin yang tumbuh di atas gunung berapi yang tua dan
tenggelam di laut. Menurut teori Darwin dalam proses pembentukan karang atol
mula-mula karang tumbuh sebagai fringing
reef di bagian yang dangkal mengelilingi suatu pulau vulkanik. Kemudian
secara alamiah perlahan-lahan pulau tersebut tenggelam dan terumbu karang tetap
meneruskan pertumbuhannya makin ke atas, sel baru tumbuh di atas sel yang mati,
sampai akhirnya hanya terumbu karangnya saja yang tersisa.
Pengamatan Kondisi dan Jenis Terumbu Karang
A.
Pembuatan Transek
1. Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada
enam stasiun dengan 2 kedalaman yaitu kedalaman 5 meter dan 10 meter, maka
kondisi terumbu karang di Zona pariwisata dan Zona Perlindungan Bahari
berdasarkan titik-titik pengamatan yang diamati adalah sebagai berikut :Kedalaman
seluruh stasiun pengamatan dengan kedalaman 5 meter menunjukkan kondisi tutupan
terumbu karang dengan kategori baik dengan persentase tutupan karang hidup
54,73% - 69,72%. Persentase tutupan karang hidup terbesar berada di stasiun 2
sebesar 69,72% . Sedangkan untuk tutupan karang terkecil berada di stasiun 4
sebesar 54,73% .
2. Kerusakan karang di stasiun 4 disebabkan karena sisa-sisa
penangkapan ikan dengan menggunakan potassium yang dulu dipakai oleh nelayan
dan sisa – sisa dari alat tangkap bubu. Dan lokasi ini merupakan jalur
transportasi laut yang di leawati oleh kapal – kapal yang menghubungkan antara
pula – pulau.persentase tutupan karang hidup di kedalaman 10 meter menunjukkan
bahwa kondisi terumbu karang di seluruh stasiun dalam kategori baik dengan
persentase tutupan karang hidup sebesar 63,23% - 65,68%.
3. Parameter lingkungan yang
diambil pada lokasi pengamatan yaitu suhu, salinitas, kecerahan, dan kecepatan
arus. Suhu pada lokasi pengamatan yaitu mencapai 28°C - 30°C, sesuai dengan
suhu yang baik bagi pertumbuhan karang yaitu berkisar antara 25°C - 32°C.
Salinitas pada lokasi pengamatan berkisar 33‰ - 34‰, terumbu karang hidup subur pada kisaran
salinitas antara 33‰ - 35‰ (Nybakyen, 1988). Kecerahan pada lokasi
pengamatan berkisar antara 8 – 10 meter, sedangkan kecepatan arus pada lokasi
pengamtan berkisar antara 0,28 – 0,34 m/s.
Kesimpulan
Dari Pengamatan yang dilakukan menunjukkan
bahwa persentase Karang Hidup di Zona Perlindungan lebih kecil dibanding dengan
Zona Pariwisata.
Saran
Perlunya dilakukan pengamatan
lebih lanjut agar diketahui apakah persentase tutupan Karang meningkat atau
menurun, dan penjagaan Zonasi lebih sering dilakukan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan posisi yang sangat strategis dan menguntungan,
karena terletak pada posisi silang diantara 2 samudera yaitu Samudera Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau dengan garis pantai sepanjang
81.000 km 2 (Masyarakat Penulis
Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi, 2001).
Indonesia merupakan negara kepulauan dan
perairan yang kaya fauna dan flora dengan kharisma pemilikannya bukan saja
sebagai kekayaan nasional bahkan aset kekayaan internasional. Salah
satu potensi kelautan yang sangat penting dalam menunjang produksi perikanan
laut adalah terumbu karang (coral reef).Terumbu
karang adalah jenis karang laut yang hidup dan secara alamiah merupakan habitat
dan sumber pangan bagi kebanyakan ikan dan biota laut lainnya (Masyarakat
Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 2001 dalam Ari 2011).
Terumbu karang merupakan salah satu
ekosistem yang sangat peka terhadap kondisi dan perubahan lingkungan.
Pertambahan penduduk yang cepat dan ditambah dengan pemanfaatan teknologi yang
maju akan mempercepat usaha untuk eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya
tersebut. Eksploitasi dan pemanfaatan yang tidak optimal dan berkelanjutan akan
mengarah pada proses kelangkaan dan kerusakan terumbu karang.
Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem
asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan
rekreasi (UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya).
Kepulauan Wakatobi ini terdiri dari 39 gugusan pulau, 3 karang
gosong dan 5 atol. Terumbu karang di
kepulauan ini terdiri dari karang tepi (fringing
reef), gosong karang (patch reef)
dan atol. Wakatobi merupakan singkatan dari nama 4 pulau besar yang ada di
kawasan tersebut, yaitu Pulau Wangi-wangi,
Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko yang relatif kering,
berbukit-bukit dan ditumbuhi oleh hutan tropis yang kering, sedangkan
pulau-pulau yang lain berukuran relatif kecil (COREMAP, 2001).
Penataan zona pada kawasan Taman Nasional Wakatobi (TNW)
diperlukan dalam rangka pengelolaan kawasan dan potensi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya secara efektif, guna memperoleh manfaat yang lebih optimal dan
lestari. Penataan zonasi juga merupakan penataan ruang pada setiap kawasan
taman nasional dimana penerapan dan penegakan hukum dilaksanakan secara tegas
dan pasti. Sebagai konsekuensi dari sistem zonasi tersebut, maka setiap
perlakuan atau kegiatan terhadap kawasan taman nasional, baik untuk kepentingan
pengelolaan dan pemanfaatan, harus mencerminkan pada aturan yang berlaku pada
setiap zona dimana kegiatan tersebut dilakukan. Dengan demikian keberadaan
zonasi dalam sistem pengelolaan taman nasional menjadi sangat penting, tidak
saja sebagai acuan dalam menentukan gerak langkah pengelolaan dan pengembangan
konservasi di taman nasional, tetapi sekaligus merupakan sistem perlindungan
yang akan mengendalikan aktivitas di dalam dan disekitarnya. Terumbu karang merupakan salah satu
ekosistem yang sangat penting bagi keberlanjutan sumberdaya yang ada di kawasan
pesisir dan lautan. Namun dibalik potensi tersebut aktivitas manusia dalam
memanfaatkan potensi sumber daya terumbu karang atau lingkungan di sekitarnya,
sering tumpang tindih, dan bahkan banyak di antara aktivitas tersebut, baik
yang sengaja maupun tidak sengaja, telah menyebabkan kerusakan terumbu karang
(Supriharyono, 2000).
Pada kenyataannya terumbu karang yang
berfungsi sebagai daerah perlindungan bagi organisme laut, mempunyai kestabilan, keragaman dan ekosistem yang
beradaptasi baik adanya simbiose internal dan intra komunitas, akan tetapi
tidak kebal terhadap gangguan aktivitas manusia dan mudah sekali diserang oleh
faktor – faktor perusak (ekosistem yang fragile) (Odum, 1971).
Biota laut di pulau ini sangat beragam.
Menurut informasi pemerintah daerah setempat saat ini terumbu karang banyak
diekploitasi, selain itu penangkapan ikan di pulau banyak menggunakan bahan
peledak yang dapat merusak ekosistem terumbu karang selain itu juga banyaknya akktifitas masyrakat lokal
yang melalukan kegiatan pengambilan karang untuk bahan
bangunan, penggunaan teknologi penangkapan ikan tradisional yang menggunakan
bahan peledak dan racun sianida, aktifitas pengambilan hasil laut (mencungkil,
menginjak dan mematahkan karang) dan aktifitas penangkapan ikan dengan
menggunakan jala dan bubu yang dapat merusak terumbu karang, pengambilan ikan
hias dengan cara mengangkat terumbu karang dari tempatnya, pengambilan terumbu
karang yang khas untuk asessoris rumah serta berbagai keiatan lainnya. Selain itu juga banyak aktifitas masyarakat dalam maupun
luar yang melakukan aktifitas menyelam ataupun snorkling yang sering merusak
karang dengan di injak.
Atas dasar pertimbangan tersebut maka
penulis perlu mengetahui berbagai
aktivitas masyarakat dan mengetahui suatu kondisi terumbu karang di zona – zona
tertentu yang berada di Pulau Kaledupa yang dituangkan dalam Karya Ilmiah Praktek Akhir
dengan judul:
“
Perbandingan Kondisi Terumbu Karang pada Zona Pariwisata dengan Zona
Perlindungan Bahari di Pulau Kaledupa, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi
Tenggara”.
1.2 Tujuan
1.
Untuk
mengetahui sejauh mana Perbandingan terumbu karang pada Zona Pariwisata Zona
Perlindungan Bahari di pulau kaledupa
2.
Mengetahui
kondisi lingkungan (faktor-faktor pembatas) yang paling berpengaruh pada pertumbuhan
karang.
3.
Inventarisasi upaya
perlindungan Zona Pariwisata
dan Zona Perlindungan bahari.
1.3 Batasan Masalah
Pada praktek Akhir ini penulis membatasi
masalah pada :
1.
Pengamatan tutupan karang hidup, karang mati dan
bentuk pertumbuhan (life form) karang dengan menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect) untuk
pengambilan data terumbu karang.
2.
Faktor
- faktor pembatas yang mempengaruhi terumbu karang seperti (suhu,
salinitas, kecerahan dan kecepatan arus).
3.
Upaya
perlindungan Zona
Pariwisata dan Zona Perlindungan Bahari di batasi dengan program – program yang dilaksanakan.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu
karang adalah endapan masif yang merupakan hasil akhir dari kombinasi dinamika
produksi kalsium karbonat oleh alga berkabur, organisme – organisme lain
penghasil kalsium karbonat dan hewan karang (Filum Cnidaria, kelas Anthozoa,
ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan erosi terumbu akibat faktor biologis
dan fisik (Idris 2007)
Hewan karang atau polip memperoleh energi dalam bentuk
makann dan oksigen langsung dari zooxanthellae hal ini sangat membantu
pertumbuhan dari polip karang itu sendiri. Sebaliknya,zooxanthellae yang hidup
pada jaringan karang, selain memperoleh tempat berlindung dari pemangsa,dapat
juga memakai karbondioksida yang dihasilkan polip karang dari proses respirasi,
nutrien – nutrien (PO4, NH3)
dan produk – produk metabolisme lainnya (urea, asam amino) yang berasal dari
eksresi karang untuk proses fotosintesis (Burke et al., 2002;Nontji,1984).
Struktur hewan karang tersusun rapat membentuk berbagai
bentuk koloni kokoh yang mampu mencapai ukuran yang sangat besar sampai berkilo
– kilo meter lebarnya (Burke et al.,
2002).
Koloni karang tumbuh dengan cara menambah polip baru yang
di modifikasi sesuai faktor lingkungan terutama intensitas cahaya dan tekanan
gelombang (Wood, 1993). Kondisi ini menyebabkan koloni karang memiliki beragam
bentuk pertumbuhan hidup (lifeform)
2.2 Biologi Karang
Karang adalah anggota filum Cnidaria,
yang termasuk mempunyai bermacam-macam bentuk seperti ubur-ubur, hidroid, Hydra air tawar, dan anemon laut. Karang
dan anemon laut adalah anggota taksonomi klas yang sama yaitu Anthozoa. Perbedaan yang utama bahwa karang menghasilkan kerangka luar dari
kalsium karbonat, sedangkan anemon tidak. Karang dapat hidup berkoloni atau
sendiri, tetapi hampir semua karang hermatipik merupakan koloni dengan berbagai
individu hewan karang atau polip
menempati mangkuk kecil atau koralit
dalam kerangka yang masive (Nybakken,
1992).
Dinding dari polip
karang terdiri dari tiga lapisan yaitu ektoderma,
endoderma dan mesoglea. Ektoderma merupakan jaringan terluar
yang terdiri dari berbagai jenis sel yang antara lain sel mucus dan sel
nematocyts. Mesoglea merupakan
jaringan di tengah yang berupa lapisan berupa jelly. Di dalam lapisan jelly
terdapat fibril – fibril, sedangkan di lapisan luar terdapat sel semacam sel
otot. Sedangkan jaringan endoderma berada di lapisan dalam yang
sebagian besar selnya berisi sel algae yang merupakan simbion karang. Seluruh
permukaan jaringan karang juga dilengkapi dengan cilia dan flagela. Kedua sel
ini berkembang baik di tentakel dan di dalam sel mesenteri. Pada lapisan ektoderma banyak dijumpai sel glandula yang berisi mucus dan sel
knidoblast yang berisi sel nematocyts. Nematocyts merupakan sel penyengat yang
berfungsi sebagai alat penangkap makanan dan mempertahankan diri. Sedangkan sel
mucus berfungsi sebagai produsen mucus yang membantu menangkap makanan dan
untuk membersihkan diri dari sedimen yang melekat (Suharsono, 2004).
|
Gambar 1. Anatomi Terumbu Karang
(Sumber: Castro dan
Huber, 2000 dalam Wikipedia, 2006)
2.2.1 Taksonomi
Menurut Veron (2000) dalam Direktorat Konservasi Taman Nasional Laut, Departemen kelautan
dan Perikanan (2006), hewan karang dapat
diklasifikasikan menjadi:
Filum : Coelenterata
Sub Filum : Cnidaria
Kelas : Anthozoa
Ordo : Scleractinia
(Madreporaria)
Famili : (1).
Astrocoeiniidae, (2). Pocilloporidae, (3). Acroporidae, (4). Poritiidae, (5).
Siderastreidae, (6). Agariciidae, (7). Fungiidae, (8). Oculinidae, (9).
Pectinidae, (10). Mussidae, (11). Merulinidae, (12). Faviidae, (13).
Dendrophylliidae, (14). Caryophyllidae, (15). Trachyphylliidae.
2.2.2 Morfologi
Menurut Timotius (2003), karang atau disebut polip
memiliki bagian-bagian tubuh yang terdiri dari:
1.
Mulut, dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi untuk
menangkap mangsa dari perairan serta sebagai alat pertahanan diri.
2.
Rongga tubuh (coelenteron), yang juga merupakan saluran pencernaan (gastrovascular)
3.
Dua lapisan tubuh yaitu
ektodermis dan endodermis yang
lebih umum disebut gastrodermis karena
berbatasan dengan saluran pencernaan. Di antara kedua lapisan terdapat jaringan
pengikat tipis yang disebut mesoglea.
Jaringan ini terdiri dari sel-sel, serta kolagen, dan mukopolisakarida. Pada
sebagian besar karang, epidermis akan menghasilkan material guna membentuk
rangka luar karang, material tersebut berupa kalsium karbonat (kapur).
2.2.3 Reproduksi Karang
Proses reproduksi karang secara aseksual
terjadi dengan cara membentuk tunas baru seperti halnya pada tanaman. Tunas
baru biasanya tumbuh dipermukaan bagian bawah atau pinggir dan melekat sampai
ukuran tertentu, kemudian melepaskan diri dan tumbuh sebagai individu baru.
Ketika polip dewasa dan membentuk koralit, maka ia mulai melakukan reproduksi
secara aseksual untuk memperbesar koloni. Reproduksi aseksual pada karang dapat
terjadi melalui intratentacular budding
adalah tumbuhnya individu baru dari individu yang lama dan hasilnya terdapat
dua individu yang identik. Extratentacular
budding adalah tumbuhnya individu baru diantara individu yang lama. Polip
karang memiliki jaringan otot, berfungsi untuk menggerakkan polip. Pada rongga
perut terdapat filamen mesentri yang menghasilkan enzim sebagai pencerna
makanan, dan pada bagian luar filamen terdapat silia halus yang berfungsi untuk
menangkap partikel makanan. Pencernaan terjadi secara intra seluler sederhana
dan exstra seluler (Direktorat Konservasi Taman
Nasional Laut, Jendral Kelautan dan Perikanan, 2006).
.
Gambar 2. Proses Reproduksi Karang secara Seksual
(Nybakken, 1988)
2.2.4
Pertumbuhan
Terumbu Karang
1
Proses
reproduksi karang dapat dilakukan dalam 2 cara yaitu dengan cara seksual dan
aseksual. Proses reproduksi karang secara seksual menghasilkan larva plánula
karang yang memiliki silia yang berguna dalam pergerakakn dalam air (Direktorat
Konservasi Taman Nasional Laut, Jendral Kelautan dan perikanan, 2006). .
2
Proses
reproduksi karang secara seksual dimulai saat spermatogenium dan oogenium
bekembang menjadi gamet. Selanjutnya gamet yang telah masak dilepas di dalam
air, terjadi pembuahan internal atau eksternal menjadi zigot. Zigot berkembang
menjadi blástula, kemudian gástrula dan setelah itu menjadi plánula. Plánula
yang diselubungi oleh silum akan berenang bebas. Apabila menemukan tempat yang
cocok, plánula akan menempel dan menetap dengan posisi bagian mulut berada di
sebelah atas, sedangkan bagian pangkalnya mengeluarkan zat untuk memperkuat
penempelanya, setelah karang melekat pada substrat maka akan mengalami perubahan struktur dan histologi (Direktorat
Konservasi Taman Nasional Laut, Jenderal Kelautan dan Perikanan, 2006).
3
Proses
reproduksi karang secara aseksual dilakukan dengan cara membentuk tunas baru
seperti halnya pada tanaman. Tunas baru biasanya tumbuh dipermukaan bagian
bawah atau pinggir. Tunas baru tersebut akan melekat sampai ukuran tertentu,
kemudian melepaskan diri dan tumbuh sebagai individu baru. Ketika polip dewasa
dan membentuk koralit, maka ia mulai melakukan reproduksi secara aseksual untuk
memperbesar koloni. Reproduksi aseksual pada karang dapat terjadi melalui intratentacular budding adalah tumbuhnya
individu baru dari individu yang lama dan hasilnya terdapat dua individu yang
identik. Extratentacular budding
adalah tumbuhnya individu baru diantara individu yang lama. Polip karang
memiliki jaringan otot, berfungsi untuk menggerakkan polip. Pada rongga perut
terdapat filamen mesentri yang menghasilkan enzim sebagai pencerna makanan, dan
pada bagian luar filamen terdapat silia halus yang berfungsi untuk menangkap
partikel makanan. Pencernaan terjadi secara intra seluler sederhana dan exstra
seluler
(Direktorat Konservasi Taman Nasional Laut, Jendral Kelautan dan perikanan,
2006).
2.3
Tipe-tipe Terumbu Karang
Dapat
dikenal beberapa tipe terumbu karang yang berlainan. Umumnya mereka
dikelompokkan menjadi tiga kategori. Nybakken (1992) mengelompokkan formasi
terumbu karang menjadi tiga kategori yaitu:
2.3.1 Fringing reefs (terumbu karang
tepi)
Terumbu
karang yang terbentuk memanjang di sepanjang pinggiran pantai. Terumbu karang
ini terdapat di daerah kontinental shelf di laut dengan kedalaman air yang
dangkal.
2.3.2 Barrier reefs (terumbu karang penghalang)
Terumbu
karang tumbuh sejajar garis pantai akan tetapi terletak jauh ketengah laut,
biasanya terpisah dari daratan dengan laguna (lagoon) bagian laut yang dalam, disebut barrier karena membentuk batas antara laguna dan laut lepas.
2.3.3 Coral Atolls
(terumbu karang cincin)
Terumbu karang
berbentuk cincin yang tumbuh di atas gunung berapi yang tua dan tenggelam di
laut. Menurut teori Darwin dalam proses pembentukan karang atol mula-mula
karang tumbuh sebagai fringing reef
di bagian yang dangkal mengelilingi suatu pulau vulkanik. Kemudian secara
alamiah perlahan-lahan pulau tersebut tenggelam dan terumbu karang tetap
meneruskan pertumbuhannya makin ke atas, sel baru tumbuh di atas sel yang mati,
sampai akhirnya hanya terumbu karangnya saja yang tersisa.
2.4. Metode pengamatan terumbu
karang
Survey
kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai metode tergantung pada
tujuan survey, waktu yang tersedia, tingkat keahlian peneliti, dan ketersediaan
sarana dan prasarana. Agar hasil survey dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah maka perlu diperhatikan cara pemilihan keterwakilan lokasi, panjang
transek (sampling) yang diambil dan
banyaknya ulangan yang diperlukan.
Pengamatan
terumbu karang dalam suatu lokasi pengamatan dapat diambil beberapa stasiun
pengamatan. Penentuan stasiun ini dapat didasarkan
kepada : (Purba, 2007).
1.
Arah datangnya angin
Penentuan stasiun berdasarkan daerah
yang menghadap angin (wind-ward) dan yang membelakangi angin (lee-word).
Penentuan stasiun dengan cara ini sangat tergantung pada musim saat pengamatan
dilaksanakan, sehingga stasiun pengamatan dapat berubah nama dari wind-ward
ke lee-ward atau sebaliknya tergantung musim saat pengamatan berlangsung.
2.
Mata angin
Penentuan stasiun berdasarkan arah mata
angin yang umumnya digunakan adalah arah mata angin utama yakni Utara, Timur,
Selatan dan Barat dari lokasi pengamatan. Jumlah stasiun tidak terbatas pada
empat mata angin utama saja namun dapat ditambah atau dikurangi sesuai dengan
tujuan pengamatan.
3.
Kondisi pulau
Penentuan
stasiun berdasarkan kondisi pulau maksud adalah jika pulau (pulau kecil) yang
menjadi lokasi pengamatan berpenduduk perlu dipertimbangkan lokasi penduduk dan
lokasi buangan limbah penduduknya karena hal ini amat mempengaruhi hasil
pengamatan.
2.5.
Faktor
Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang
Disamping
faktor spesies, kecepatan tumbuh karang juga ditentukan oleh kondisi lingkungan
hidup mereka berada. Perairan yang kondisi lingkungannya mendukung pertumbuhan
karang, maka biasanya karang tumbuh lebih cepat dibandingkan di daerah yang
tercemar (Supriharyono, 2000).
Ada
beberapa faktor penentu proses kalsifikasi atau pertumbuhan karang, diantaranya
yang paling dominan (Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal
Pesisir dan Pulau–Pulau Kecil, Direktorat Konservasi dan Taman Nasional, 2002) adalah :
1.
Cahaya
Intensitas cahaya sangat
mempengaruhi kehidupan karang yaitu pada proses fotosintesa zooxanthella yang produknya kemudian
disumbangkan ke polip karang. Intensitas cahaya berhubungan dengan kedalaman.
Ditempat dalam dengan intensitas cahaya rendah tidak ditemukan terumbu karang.
Kedalaman yang dalam berarti berkurangnya cahaya, sehingga menyebabkan laju fotosintesa
akan berkurang dan pada akhirnya kemampuan karang untuk membentuk kerangka juga
berkurang. Kebanyakan
terumbu karang dapat berkembang dengan baik pada kedalaman 25 meter atau
kurang. Pertumbuhan karang sangat berkurang saat tingkat laju produksi primer
sama dengan respirasinya (zona kompensasi) yaitu kedalaman di mana kondisi
intensitas cahaya berkurang sekitar 15 – 20 % dari intensitas cahaya di lapisan
permukaan air. Dahuri (2003)
Penetrasi cahaya pada
badan air dapat berkurang oleh sebab kekeruhan air, sehingga sedimentasi yang
ekstrim dapat bersifat merugikan pada karang dan terumbu, dimana pengaruhnya mulai dari perlambatan
pertumbuhan koloni baru (Brown dan Howard, 1985 ; Babcock dan Davies, 1991;
Wilkinson dan Buddemier, 1994 dalam Balai
Riset Perikanan Laut, 2008). Sebaliknya, kejernihan air dapat menyebabkan
penetrasi radiasi solar ultra violet B (UV-B), sehingga terumbu karang lebih
terbuka pada radiasi yang kemudian menyebabkan efek detrimental pada organisme
terumbu (Jokiel dan York, 1982 dalam Balai
Riset Perikanan Laut). Namun, karang dan banyak fauna yang hidup di terumbu
pada perairan dangkal telah mengembangkan mekanisme yang mampu mencegah dan
menghindar dari kerugian akibat radiasi UV dengan jalan menghasilkan substansi
yang dapat menyerap radiasi UV, yang kemudian dapat disintesa oleh simbion atau
diakumulasi melalui rantai makanan.
2. Suhu
air
Suhu mempengaruhi kecepatan
metabolisme, reproduksi dan perombakan bentuk luar dari karang. Suhu paling
optimal bagi pertumbuhan karang berkisar antara 23°C - 30°C. Pada suhu di bawah
18°C, dapat menghambat pertumbuhan karang bahkan dapat mengakibatkan kematian.
Pada suhu di atas 33°C dapat menyebabkan gejala pemutihan (bleaching), yaitu keluarnya zooxanthella
dari polip karang dan akibat selanjutnya dapat mematikan karang. Ketika
perubahan suhu sangat cepat, dipertimbangkan bahwa karang lebih rentan pada
pemanasan daripada pendinginan, namun ada beberapa yang tahan hidup di dekat
batas atas suhu yang mematikan (Jokiel dan Coles, 1990 dalam Balai Riset Perikanan
Laut, 2008).
3. Arus
Arus atau gelombang penting
untuk transportasi zat hara, larva, bahan sedimen dan oksigen. Selain itu arus
atau gelombang dapat membersihkan polip karang dari kotoran yang menempel.
Sedimentasi dari partikel lumpur padat yang dibawa oleh aliran permukaan (surface run off) akibat erosi yang
menutupi terumbu karang dapat berdampak negatif terhadap hewan karang tetapi
juga terhadap biota yang hidup berasosiasi dengan habitat tersebut. Partikel
lumpur yang tersedimentasi tersebut dapat menutupi polip sehingga respirasi
organisme terumbu karang dan proses fotosintesis oleh zooxanthella akan terganggu. Itulah sebabnya karang yang hidup di
daerah berombak atau berarus kuat lebih berkembang dibanding daerah yang tenang
dan terlindung. Itulah sebabnya karang yang hidup di daerah berombak atau
berarus kuat lebih berkembang dibanding daerah yang tenang dan terlindung (DKP,
2006). Arus akan membawa makanan dan oksigen yang diperlukan oleh karang.
Selain membawa suplai makanan, arus dapat membersihkan kotoran yang
menyumbat polip karang (Nybakken 1988).
4. Salinitas
Salinitas mempengaruhi kehidupan hewan karang karena adanya tekanan
osmosis pada jaringan hidup. Salinitas optimum bagi kehidupan karang berkisar
30-33 ‰, oleh karena itu karang jarang ditemukan hidup pada muara-muara sungai
besar, bercurah hujan tinggi atau perairan dengan kadar garam yang tinggi.
Daya tahan terhadap
salinitas setiap jenis karang tidak sama. Sebagai contoh, Kinsman (1964) dalam Supriharyono (2000) mendapatkan
bahwa Acropora dapat bertahan pada
salinitas 40‰ hanya beberapa jam di West Indies, akan tetapi Porites dapat tahan dengan salinitas
sampai mencapai 48‰.
5. Substrat
Substrat yang keras dan
bersih dari limpur di perlukan untuk peletakan larva karang (Planula)
yang akan membentuk koloni baru. Substrat keras ini berupa benda padat yang
di dasar laut, misalnya batu, cangkang moluska, potongan kayu bahkan besi yang
terbenam (Suharsono, 1996).
2.6 Nilai dan Manfaat Terumbu Karang
Menurut
DKP (2006), terumbu karang memiliki peranan penting
dalam lingkungan kawasan pesisir dan lautan, baik ditinjau dari segi biologi,
ekologi maupun sosio-ekonomi maupun budaya.
Terumbu
karang mempunyai peran utama sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan
(feeding ground), tempat asuhan dan
pembesaran (nursery ground), tempat
pemijahan (spawning ground) bagi
biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya (Idris dkk, 2007).
2.6.1 Manfaat Bio-Ekologi
Sebagai ekosistem pesisir, terumbu
karang mempunyai manfaat secara bio-ekologi sebagai berikut:
- Penyedia pangan (perikanan perairan karang);
- Pelindung pantai sebagai pemecah ombak, dan badai;
- Tempat hidup, berpijah, bertelur, mencari makan dari berbagai biota laut yang bernilai ekonomis tinggi;
- Sebagai pencatat iklim atau gejala masa lalu;
- Penghasil berbagai macam bahan baku obat-obatan;
Dengan
demikian terumbu karang merupakan sistem bioekologi esensial dan sistem
penyangga kehidupan yang sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia dan
pembangunan berkelanjutan.
2.6.2 Nilai Sosio-Ekonomi
Komunitas karang saling berinteraksi
antara komponen biotik dan abiotik yang sangat dibutuhkan untuk mendukung
perekonomian masyarakat, antara lain berupa :
1.
Perikanan
terumbu karang, baik tradisional maupun komersial memberikan sumbangan yang
besar untuk meningkatkan kehidupan masyarakat pesisir dan perekonomian
nasional.
2.
Kegiatan
wisata bahari yang bertumpu pada terumbu karang memiliki nilai estetika tinggi
memberikan peranan dalam meningkatkan pendapatan daerah dan nasional.
3.
Keanekaragaman
karang dan ikan hias merupakan potensi perdagangan yang cukup besar, terutama
untuk memenuhi kebutuhan akuarium laut dalam dan luar negeri.
4.
Nilai Estetika,
dapat membentuk panorama yang indah di kedalaman laut, yang dapat dimanfaatkan
lebih lanjut sebagai arena wisata
bahari.
5.
Nilai Edukasi,
sebagai obyek penelitian dan pendidikan.
2.6.3 Penyebab
Kerusakan Terumbu Karang
Menurut Suharsono (1998), kerusakan terumbu karang
dapat digolongkan menjadi 4 faktor berdasarkan penyebab kerusakannya, antara
lain akibat faktor biologis, akibat faktor fisik, akibat aktifitas manusia
secara langsung dan akibat manusia secara tidak langsung.
2.6.3.1. Akibat
Faktor Biologis
1.
Predasi
Predasi yaitu adanya jenis-jenis karang/biota karang
lain tertentu yang bersifat aktif dan agresif untuk mendapatkan makanan,
sehingga dapat menghambat/mematikan pertumbuhan karang lainnya. Kerusakan dapat
disebabkan oleh beberapa hewan pemakan polyp karang atau hewan yang membuat
rumahnya didalam koloni karang. Hewan pemakan polip biasanya aktif pada malam
hari. Dari berbagai hewan pemakan polyp karang maka Acanthaster planci yang mempunyai kemampuan paling besar untuk
merusak koloni karang. Acanthaster planci
menyukai daerah terumbu karang yang padat dengan persentase tutupan yang
tinggi dan pada umumnya menyukai karang bercabang dengan bentuk pertumbuhan
pertumbuhan seperti meja.
Gambar 4. Acanthaster
planci (bulu seribu) merupakan binatang pemakan karang yang sangat
berbahaya (doc. Rahman, 2007)
2.
Penyakit
Karang secara alami mempunyai penyakit yang
disebabkan oleh bakteri. Serangan penyakit ini biasanya dipicu oleh adanya
kondisi perairan yang tidak normal. White band disease atau penyakit gelang
putih ditandai dengan adanya warna putih pada sebagian koloni sedang bagian
koloni yang lain mempunyai warna normal. Penyakit ini diduga terdapat
konsenterasi bakteri yang sangat banyak, bakteri ini berbentuk memanjang dan
ditemukan didalam jaringan epidermis kalikoblast.
Gambar 5. ”White band disease” Penyakit Gelang Putih
(doc. Rahman, 2007)
3.
Bioerosi
Bioerosi yaitu kerusakan karang baik secara kimiawi
maupun mekanis karena terdegradasi nya kapur kerangka tubuh karang (CaCO3)
yang disebabkan aktifitas organisme lain. Contoh bioerosi yang di sebabkan oleh
poliket, moluska, crustacea membuat lubang untuk rumahnya dengan cara mengebor
kerangka karang.
Gambar 6 .
Bioerosi Kerusakan Terumbu Karang (doc. Rahman, 2007)
2.6.3.1.2 Akibat
Faktor Alam
1. Kenaikan Suhu Air Laut
Kenaikan suhu air laut sekitar 3 - 4 °C dari suhu
normal akibat peristiwa El Nino dapat menyebabkan karang ”Bleaching” yang kadang-kadang diikuti dengan kematian karang.
Karang di daerah tropis lebih sensitif terhadap perubahan suhu air laut dibandingkan
dengan di daerah sub tropis. Peristiwa bleaching
yang diikuti oleh kematian karang yang terbesar terjadi pada tahun 1983 dimana
hampir semua karang hidup di daerah tropis mulai dari Panama sampai daerah
Pasifik Barat dan laut Karibia mengalami bleaching
yang diikuti kematian. Di laut Jawa
pada tahun 1983 kenaikan suhu air laut mencapai 3 - 4 °C di atas normal selama
enam minggu dan kematian karang mencapai 80 - 90 %. Karang mati mulai dari
kedalaman 1 - 15 meter yang mula-mula terlihat mati terlebih dahulu adalah
karang jenis Acropora dan Pocillopora sesudah
4 minggu kemudian hampir seluruh jenis karang dan karang lunak ikut memutih dan
pada akhir minggu keenam semua karang yang memutih mengalami kematian
(Suharsono, 1998).
2.
Pasang
Surut
Kematian akibat pasang surut dapat terjadi apabila
terjadi pasang surut yang sangat rendah sehingga terumbu karang muncul di atas
permukaan air dan terjadi pada siang hari (matahari terik) atau pada saat
hujan, sehingga air hujan langsung mengenai terumbu karang. Kematian karang
akibat pasang surut biasanya terjadi satu atau dua kali dalam setahun, dan
meliputi area yang cukup luas.
3.
Penurunan
Salinitas
Secara fisik kematian karang karena penurunan
salinitas dimulai dengan kontraksi dari polip karang untuk lebih mempersempit
kontak dengan air laut bersalinitas rendah. Kontraksi polip akan mengurangi
kecepatan fotosintesa sehingga akan mengurangi proses respirasi. Karena karang
tidak mempunyai mekanisme untuk mengatur tekanan osmose di dalam tubuhnya maka
sel-sel akan pecah dan zooxanthellae
keluar dari jaringan karang, akibatnya karang memutih. Jika penurunan ini
berlangsung cukup lama akhirnya semua jaringan karang akan lysis dan mati.
4.
Gunung
Berapi, Gempa Bumi dan Tsunami
Aktifitas gunung berapi, gempa bumi dan tsunami
mempunyai potensi merusak terumbu karang yang akibatnya sangat berat. Gunung
berapi di Indonesia yang berpotensi menyebabkan kerusakan terumbu karang antara
lain Gunung Krakatau di Selat Sunda, Gunung Api Banda di Banda, Gunung Siau di
Pulau Sangihe, Gunung Lewotolo di Pulau Lembata dan Gunung Pinang di Sulawesi.
Akibat letusan gunung api seluruh terumbu karang yang ada disekitarnya mati dan
aliran lahar yang masuk ke laut biasanya menutupi seluruh terumbu karang. Bila
lahar yang tertumpah ke laut berupa batuan beku maka karang akan dapat segera
tumbuh kembali tetapi jika lahar yang masuk kelaut berupa pasir atau partikel
yang halus maka karang sulit tumbuh kembali. Sebagai contoh karang tumbuh
dengan cepat diatas lahar yang masuk ke laut di Gunung api Banda. Tujuh tahun
sesudah terjadi letusan, karang telah pulih kembali dengan persentase tutupan
hampir mencapai 100 % (Suharsono, 1998).
5.
Taifun
atau Badai
Kerusakan karang yang disebabkan oleh taifun biasanya
sangat parah dan pada area yang cukup luas tergantung dari kekuatan taifun
tersebut. Sebagai contoh waktu terjadinya taifun Lena Januari 1993, Kupang dan
Flores terkena imbas yang berupa angin ribut dengan kecepatan 90 km/jam yang
menimbulkan gelombang dan ombak besar dilaut yang dapat menyebakan karang
bercabang patah dan mati.
2.6.3.1.3. Akibat
Aktifitas Manusia Secara Langsung
a.
Penambangan
Karang dan Pasir Laut
Penambangan karang biasanya dilakukan untuk bahan
bangunan, pembuatan kapur atau bahan kerajinan. Karang yang diambil dapat
berupa karang hidup atau pecahan karang mati dan berasal dari semua jenis
karang batu. Akibat adanya penambangan karang itu selain menyebabkan kerusakan
karang secara langsung juga dapat menyebabkan erosi pantai, karena karang
sebagai penahan ombak telah rusak sehingga menyebabkan gelombang langsung
menggerus pantai sedangkan pasir laut yang ditambang akan mencemari wilayah
terumbu karang di sekitarnya.
b.
Pengeboman
Karang
Kerusakan karang akibat bom sangat luas. Dari hasil
pengamatan menunjukkan bahwa penggunaan bom seberat 0,5 kg yang diledakkan di
dasar terumbu dapat menghancurkan terumbu karang dengan radius 3 - 5 m dari
pusat ledakan.
c.
Penggunaan
Sianida
Dampak penggunaan potas terhadap terumbu karang dapat
menyebabkan kematian karang apabila digunakan dengan konsenterasi yang cukup
tinggi dan berulang kali. Cara penangkapan dengan bahan kimia beracun seperti
Sianida merupakan kegiatan penangkapan yang dapat merusak atau menghancurkan
terumbu karang.
d.
Jangkar
Perahu
Walaupun sekarang ini
wisata bahari belum menyebar luas di Indonesia namun gejala – gejala penigkatan
rekreasi ini menunjukkan peningkatan yang tajam, dengan demikian aktifitas
untuk menuju ke tempat untuk menyelam menggunakan kapal – kapal, aktifitas lempar jangkar di daerah terumbu karang
juga memberikan kontribusi cukup besar dalam kerusakan karang.
e.
Kegiatan
Pariwisata
Pengelolaan wisata bahari yang tidak memperhatikan
lingkungan seperti membuang sampah sembarangan, snorkling/diving dengan menginjak
karang, dan pengambilan biota sebagai cinderamata.
2.6.3.1.4 Akibat
Aktifitas Manusia Secara Tidak Langsung
1. Sedimentasi
Sumber
utama sedimentasi adalah dari kegiatan penambangan di laut dan sedimen yang
berasal dari daratan yang dibawa oleh air sungai ke laut. Sedimentasi tersebut
akan menyebabkan kekeruhan sehingga menghambat penetrasi sinar matahari dalam
air yang sangat dibutuhkan oleh karang untuk proses biologisnya. Tanda-tanda
adanya sedimen yaitu warna air menjadi coklat kehijauan dan keruh. Karena
berkurangnya sinar matahari, pertumbuhan karang menjadi lambat, hewan karang
kekurangan makanan, kondisi lingkungan menjadi memburuk dan memudahkan
terjangkit penyakit, menyebabkan keseimbangan terganggu dan akhirnya akan
mengancam ekosistem karang secara keseluruhan menjadi rusak
Tindakan
pengelolaannya yaitu mengurangi limbah melalui aliran sungai ke laut dengan
melakukan pemantauan, pengelolaan dan pengawasan pembuangan limbah di daratan
sampai jarak puluhan atau ratusan kilometer dari pantai. Perlu upaya pemerintah
daerah dan instansi yang bersangkutan dalam penyuluhan dan tindakaan nyata agar
limbah dan kotoran berupa tanah dapat dikelola dengan baik ( Murdiyanto, 2003).
2. Pencemaran
Pencemaran
laut yang disebabkan oleh limbah dari kota seperti limbah industri, limbah
rumah tangga, limbah hotel dan perkantoran, bengkel serta rumah sakit. Beberapa
limbah buangan yang dapat mematikan karang antara lain deterjen, senyawa
chlorine dari pestisida (DOT, Eldrin, Endrin), senyawa polychlorinited biphenly
yang berasal dari pabrik cat, plastik, zat organik berupa nitrat dan fosfat
dapat menyebabkan utropikasi (blooming algae tertentu).
3. Tumpahan Minyak Bumi
Tumpahan minyak bumi ke laut dalam jumlah cukup besar
dapat menghambat reproduksi dan perkembangan larva karang, menghambat
pertumbuhan karang, bleaching sampai menyebakan kematian. Tumpahan minyak
mentah yang terjadi di Kepulauan Seribu yang diduga berasal dari hasil
pencucian kapal tanker yang lewat di sekitar Kepulauan Seribu. Tumpahan ini
mengakibatkan anakan pohon mangrove terselimuti minyak mentah dan mati sebulan
kemudian (Suharsono, 1998).
2.7. Kondisi Terumbu Karang di Kawasan Perairan Wakatobi
Surga nyata bawah laut merupakan
julukan yang diberikan kepada kawasan Taman Nasional Wakatobi. Yang terletak di
jantung segitiga karang dunia (The heart of coral triangle centre),
Wakatobi memiliki kekayaan sumberdaya laut yang melimpah dan eksotik. Air laut
yang sangat jernih, terumbukarang yang mempesona dan dihuni oleh beragam hewan
laut seperti ikan paus, ikan duyung, ikan lumba lumba, ikan napoleon dan
berbagai jenis ikan hias lainnya serta berbagai jenis tumbuhan lautnya layaknya
sebuah taman di lautan. Selain itu, pantainya yang elok dengan dihiasi pasir
putih membentang menyempurnakan keindahan kepulauan wakatobi. Kecantikan
Wakatobi inilah yang selalu memberi kesan tak terlupakan bagi siapa saja yang
pernah mengunjunginya. Dan sudah banyak yang mengakui bahwa TamanNasional Wakatobi
merupakan taman laut terindah dan terumbu karang terbaik di dunia.Kepulauan
Wakatobi terletak di pertemuan Laut Banda dan Laut Flores. Wakatobi merupakan
Singkatan dari nama empat pulau besar yang ada di kawasan tersebut, yaitu
Pulau Wangi-wangi. Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Luas masing-masing pulau
adalah Pulau Wangi-wangi (156,5 km2), Pulau Kaledupa (64,8 km2), Pulau Tomia
(52,4 km2), dan Pulau Binongko (98,7 km2). Semula gugusan pulau ini dikenal
dengan nama Kepulauan Tukang Besi, karena sejak dahulu penduduk di kepulauan
ini dikenal sebagai pengrajin atau pandai besi yang memasok kebutuhan rumah
tangga dan alat-alat perang bagi kerajaan Buton dan sekitarnya (Taman Nasional
Wakatobi, 2008).
Wakatobi adalah wilayah
yang memiliki keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati lainnya
(termasuk ikan) tertinggi di dunia, yang meliputi Philipina, Indonesia sampai
kepulauan Solomon. Kekayaan keanekaragaman hayati laut menjadikan Kepulauan
Wakatobi ditunjuk sebagai Taman Nasional Laut berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan No 393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996 dan ditetapkan berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan No 7651/Kpts/II/2002 tanggal 19 Agustus 2002 dengan
luasan 1.390.000 Ha (COREMAP II, 2008).
Berdasarkan hasil citra satelit,
diketahui bahwa luas terumbu karang di kepulauan Wakatobi adalah 8.816,169
hektar. Di kompleks P. Wangi-wangi dan sekitarnya (P. Kapota, P. Suma, P.
Kamponaone) lebar terumbu mencapai 120 meter (jarak terpendek) dan 2,8
kilometer (jarak terjauh). Untuk P. Kaledupa dan P. Hoga, lebar terpendek
terumbu adalah 60 meter dan terjauh 5,2 kilometer. Pada P. Tomia, rataan
terumbunya mencapai 1,2 kilometer untuk jarak terjauh dan 130 meter untuk jarak
terdekat. Kompleks atol Kaledupa mempunyai lebar terumbu 4,5 kilometer pada
daerah tersempit dan 14,6 kilometer pada daerah terlebar. Panjang atol Kaledupa
sekitar 48 kilometer. Atol Kaledupa merupakan atol terbesar yang ada di kawasan
Wakatobi. Kepulauan Wakatobi secara administratif, awalnya termasuk dalam
Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara, namun sejak tahun 2004 terbentuk
Kabupaten Wakatobi yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Buton dengan
letak dan luas yang sama dengan Taman Nasional Wakatobi (TNW). Wilayah
Kabupaten Wakatobi didominasi oleh perairan yang luasnya mencapai 55.113 km2
dan garis pantai ± 251,96 km atau mencapai 98,5% dari keseluruhan total
wilayah. Selain itu juga sumberdaya perairannya memiliki keanekaragaman hayati
yang tinggi sehingga pengelolaan kepulauan Wakatobi perlu mempertimbangkan
kaidah-kaidah konservasi, (Badan pusat statistik, 2009, Wakatobi)
2.8. Definisi dan Batasan
Ekowisata Bahari dan Pesisir
Menurut UU. No 27 Tahun (2007) tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah Pesisir adalah
daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan laut. Sedangkan zonasi adalah suatu bentuk rekayasa
teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan
potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang
berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir (Coremap, 2008).
Definisikan
dari sudut ekologis bahwa wilayah pesisir merupakan lokasi dari beberapa
ekosistem unik dan saling terkait, dinamis, dan produktif. Beberapa ekosistem
utama di wilayah pesisir adalah estuari, hutan mangrove, padang lamun, terumbu
karang, pantai (berbatu, berpasir dan berlumpur), dan pulau-pulau kecil. Secara
prinsip, ekosistem pesisir mempunyai fungsi pokok bagi kehidupan manusia yaitu
penyedia sumberdaya alam, penerima limbah, penyedia jasa-jasa pendukung
kehidupan dan penyedia jasa-jasa kenyamanan, selanjutnya dikatakan berbagai
aktivitas pembangunan di wilayah pesisir dan laut secara signifikan telah
memberi konstribusi terhadap kelestarian dan daya dukung lingkungan serta
perubahan-perubahan terhadap kehidupan sosial. Salah satu alternatif untuk
pembangunan jangka panjang adalah memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir dan
laut secara efisien dan berkelanjutan (Bengen , 2001).
Pengembangan
kawasan wisata bahari yang berwawasan lingkungan akan memberikan jaminan
terhadap kelestarian dan keindahan lingkungan, terutama yang berkaitan
dengan jenis biota dan ekosistem utama pesisir. Salah satu
kegiatan wisata bahari yang dikelola di Indonesia adalah kawasan terumbu
karang, yang pada hakekatnya memadukan dua sistem yaitu kegiatan manusia dan
ekosistem laut dari terumbu karang. Dengan demikian kegiatan wisata bahari
sangat tergantung pada sumberdaya alam yang apabila terjadi kerusakan akan
menurunkan mutu daya tarik pariwisata.
Menurut
Bengen (2001) secara umum zonasi disuatu kawasan konservasi dapat dikelompokkan
atas tiga, yaitu :
1.
Zona inti atau perlindungan
Habitat di zona ini memiliki
nilai konservasi yang tinggi, sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan,
dan hanya dapat mentolerir sangat sedikit aktivitas manusia. Zona ini harus
dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi, serta tidak diizinkannya
adanya aktivitas eksploitasi.
2.
Zona penyangga
Zona ini bersifat lebih
terbuka, tetapi tetap dikontrol dan
beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diizinkan. Penyangga di sekeliling zona
perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi darberbagai aktivitas
pemanfaatan yang dapat mengganggu, dindungi kawasan konservasi dari pengaruh
eksternal.
3.
Zona pemanfaatan
Lokasi di zona masih ini
memiliki nilai konservasi tertentu, tapi dapat mentolerir berbagai tipe
pemanfaatan oleh manusia dan layak bagi berbagai kegiatan eksploitasi yang
diizinkan dalam suatu kawasan, dan kawasan konservasi di pesisir dan laut
adalah untuk mengkonservasi ekosistem dan sumberdaya alam, agar proses-proses
ekologis di suatu wilayah dapat terus berlangsung dan tetap dipertahankannya
produksi bahan makanan dan jasa- jasa lingkungan bagi kepentingan manusia
secara berkelanjutan (Agardy, 1997 dalam Bengen,
2001).
Untuk dapat mencapai sasaran
tersebut di atas, maka penetapan kawasan konservasi pesisir dan laut harus
ditujukan untuk (Bengen, 2001) antara lain :
a. Melindungi
habitat-habitat kritis.
b. Mempertahankan
keanekaragaman hayati.
c. Mengkonservasi
sumberdaya ikan.
d. Melindungi
garis pantai.
e. Melindungi
lokasi-lokasi yang bernilai sejarah dan budaya.
f. Menyediakan
lokasi rekreasi dan pariwisata alam.
g. Merekolonisasi
daerah-daerah yang tereksploitasi.
h.
Mempromosikan pembangunan kelautan berkelanjutan.
2.9. Kondisi Terumbu Karang di
Indonesia
Perairan
Indonesia yang luasnya 5,1 juta km2,termasuk zona ekonomi eksklusif
Indonesia ZEEI 2,7 juta Km2
memiliki keaneka ragaman hayati yang tinggi. Salah satu keaneka ragaman hayati
yang tinggi yang hidup di laut yaitu terumbu karang. Jumlah jenis karang batu
di Indonesia tercatat sebanyak 590 jenis, yang di dominasi oleh karang dari
genus acropora (91 jenis), montipora (29 jenis ) dan porites (14 jenis).
Kondisi terumbu karang saat ini telah mengalami kerusakan dan penurunan yang
disebabkan antara lain oleh pengeboman ikan, pengambilan ikan dengan
menggunakan bahan beracun serta pengambilan dan perdagangan karang hias
illegal. Berdasarkan hasil penelitian oseangrafi (P2O) – lipi tahun 2002, dari
556 lokasi yang tersebar diperairan Indonesia menunjukan bahwa 6,38 % dalam
kondisi sangat baik, 25,7% dalm kondisi baik, 36,87% dalam kondisi sedang, dan
30,58% dalam kondisi rusak (Suharsono dan Gianto, 2003 dalam BTNKps, 2007).
No comments:
Post a Comment