Monday, 1 December 2014



4. KEADAAN UMUM LOKASI PRAKTEK

4.1  Sejarah dan Status Kawasan


      Taman Nasional Wakatobi (TNW) merupakan kawasan konservasi perairan laut (marine conservation area) (Ditjen PHKA 1989). Kawasan Kepulauan Wakatobi dan perairan laut di sekitarnya seluas 1.390.000 ha ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tanggal 30 Juli 1996 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 393/Kpts-VI/1996. Nama Wakatobi diambil dari singkatan nama pulau-pulau besar yang menyusun kepulauan ini, yakni Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko, nama lain dari gugusan pulau-pulau tersebut adalah Kepulauan Tukang Besi.
      Usulan Taman Nasional Wakatobi (TNW) bermula dari hasil survey penilaian potensi sumber daya alam laut yang dilaksanakan oleh Tim Direktorat Pelestarian Alam. Direktorat Jenderal PHPA Departemen Kehutanan bekerjasama dengan WWF (World Wide Fund for Nature) pada bulan September 1989. Hasil survey tersebut ditindaklanjuti oleh Sub Balai KSDA Sultra dan Kanwil Dep. Kehutanan Sulawesi Tenggara dengan dukungan penuh Pemerintah Daerah, dengan diterbitkannya Rekomendasi Bupati KDH Tk. II Buton No. 522.51/3226 tanggal 3 Oktober 1993 dan Rekomendasi Gubernur KDH Tk. 1 Sulawesi Tenggara No. 522.51/2548 tanggal 7 Maret 1994.
      Berdasarkan usulan atau rekomendasi pemerintah daerah tersebut. Menteri Kehutanan menyetujui dan menunjuk kawasan perairan laut Kep. Wakatobi seluas 306.680 ha sebagai taman wisata alam  laut dengan SK Nomor 462/Kpts-II/1995 tanggal 4 September 1995, dan akhirnya karena pertimbangan dari aspek konservasi serta perkembangan keadaan maka status kawasan diubah menjadi Taman Nasional.
4.2 Kondisi Geografis
      Taman Nasional Wakatobi merupakan kawasan taman nasional terluas kedua di Indonesia. Letak Kabupaten Wakatobi  secara geografis berada pada posisi 05°12’00”-06°10’13’’ LS, 123°20’00”-124°39’00” BT atau pada bagian tenggara pulau Sulawesi dan diapit oleh dua lautan yaitu Laut Banda dan Laut Flores (Marine Program, WWF Indonesia,2003).
      Kawasan TN Wakatobi terbagi menjadi 6 zona berdasarkan Keputusan Dirjen PHKA Nomor : S.149/IV-KK/2007 tentang Zonasi Taman Nasional Wakatobi dapat di lihat pada Peta Kawasan dan Zonasi Taman Nasional Wakatobi sebagai berikut.
  Gambar 8. Peta Kawasan Zonasi Taman Nasional Wakatobi.
1.   Zona Inti (1.300 Ha)
Wilayah perairan dan sebagian daratan Pulau Moromaho.
2.   Zona Perlindungan Bahari (36.450 Ha)
Sebagian wilayah perairan bagian utara Pulau Wangi-Wangi, bagian utara dan timur Pulau Hoga, sebagian perairan sekitar Pulau Lentea dan Pulau Derawa, perairan Pulau Anano, perairan sekitar Pulau Lintea Selatan.
3.   Zona Pariwisata (6.180 Ha)
Wilayah perairan bagian timur Pulau Wangi-Wangi (Matahora), perairan dan pantai bagian barat Pulau Hoga, perairan tanjung Sombano, mangrove di pesisir Derawa, perairan bagian barat Waha Pulau Tomia, perairan sekitar Pulau Tolandono Tomia (Onemobaa), dan sebagian wilayah karang Koromaha
4.   Zona Pemanfaatan Lokal (804.000 Ha)
Sebagian besar wilayah perairan pesisir pulau-pulau di Kep. Wakatobi selain peruntukan zona lainnya dalam radius ± 4 mil dari Pulau Wangi-Wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, Pulau Binongko, Pulau Runduma, Pulau Kapota, Pulau Komponaone, Pulau Nuabalaa, Pulau Nuaponda, Pulau Matahora, Pulau Sumanga, Pulau Oroho, Pulau Ndaa dan serta sebagian besar wilayah Karang Kapota, Karang Kaledupa/Tomia, dan bagian utara Karang Koromaha.
5.   Zona Pemanfaatan Umum (495.700 Ha)
Sebagian besar wilayah perairan diluar radius ± 4 mil dari pulau-pulau dan gugusan terumbu karang di Wakatobi.
6.   Zona Khusus/Daratan (46.370 Ha)
Daratan Pulau Wangi-Wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, Pulau Binongko, Pulau Runduma, Pulau Kapota, Pulau Komponaone, Pulau Sumanga, Pulau Hoga, Pulau Lentea, Pulau Derawa, Pulau Lentea Selatan, Pulau Sawa, Pulau Anano, Pulau Kentiole, Pulau Tuwu-Tuwu, dan sebagian Pulau Moromaho.
4.2.1 Kondisi iklim
      Keadaan musim di Kecamatan Kaledupa pada umumnya seperti daerah- daerah lain di Indonesia dimana mempunyai dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan tahun 2008 terjadi diantara bulan Desember sampai dengan bulan April, pada saat tersebut angin darat yang bertiup dari Benua Asia dan Lautan Pasifik yang mengandung banyak uap air. Musim kemarau terjadi antara bulan Juli dan September, pada bulan- bulan tersebut angin Timur yang bertiup dari Benua Australia sifatnya kering dan kurang mengandung air.
      Khususnya pada bulan April dan Mei di daerah Kecamatan Kaledupa arah angin tidak menentu, demikian pula dengan curah hujan, sehingga pada bulan- bulan ini dikenal dengan musim pancaroba Sumber : Dinas Pertanian, Kehutanan, Peternakan dan Perkebunan Kab. Wakatobi dalam BPS (2009).
4.3 Letak Geografis dan Batas Wilayah Pulau Kaledupa
      Kecamatan Kaledupa terletak di kepulauan Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi dan bila ditinjau pada peta Propinsi Sulawesi Tenggara secara geografis terletak di bagian tengah deretan Kepulauan Wakatobi. Terdapat beberapa pulau di Kecamatan Kaladupa antara lain Pulau Hoga, Pulau Watuhari, Pulau One, Pulau Ooa Nujawa, Pulau Ompu, Pulau Watu Pabode, Pulau Watu Sahau, Pulau Watu Totolu, Pulau Gili- Gili dan Pulau Kaledupa (BPS , 2010).
Secara geografis, batas- batas kecamatan Kaledupa sebagai berikut :
1.    Sebelah utara berbatasan dengan Laut Banda.
2.    Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores.
3.    Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Wangi-wangi Selatan.
4.    Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Tomia.
      Pulau Hoga yang memiliki luas ± 3,42 km2 dan berada tepat di bagian utara Kaledupa merupakan salah satu kawasan yang telah dikelola kegiatan wisata baharinya. Secara administratif Pulau Hoga masuk ke dalam wilayah Desa Ambeua, merupakan pusat aktifitas Operation Wallacea sejak tahun 1995 sampai sekarang. Memiliki sarana-prasarana yang lengkap untuk menunjang kegiatan seperti menyelam, snorkeling dan penelitian. Selain itu juga terdapat ± 100 homestay yang dikelola masyarakat setempat yang berlokasi tepat di belakang pantai pasir putih sepanjang ± 1 km. Kawasan wisata bahari di pulau Hoga dapat ditempuh dengan menggunakan speed boat dari Ibukota Kecamatan ± 10 menit. Aktivitas yang dapat dilakukan adalah menyelam, snorkeling, berjemur, dan penelitian.
4.4 Kondisi Demografi
4.4.1 Struktur Penduduk
      Penduduk Kecamatan Kaledupa menurut proyeksi hasil SUPAS tahun 2010 sebanyak 11.778 jiwa. Selanjutnya pada tahun 2009 penduduk Kaledupa berjumlah 11.851 jiwa yang terdiri dari laki- laki 5.240 jiwa dan perempuan 6.611 jiwa. Dengan demikian, diketahui terjadi peningkatan jumlah penduduk yang dikarenakan lebih besarnya angka kelahiran dibanding angka kematian, atau dapat pula disebabkan oleh lebih besarnya penduduk yang masuk Kaledupa daripada yang keluar dari Kaledupa.


4.4.2 Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya
      Wakatobi sebagian besar bermata pencaharian dengan memanfaatkan sumberdaya alam laut yang ada di perairan kawasan TNW sebagai sumber pendapatan/mata pencahariannya yaitu sebagai nelayan tradisional dan petani budidaya rumput laut. Sisanya sebagai pedagang atau berlayar dengan jarak berlayar bisa sampai ke Singapura atau Malaysia, selain itu adalah sebagai petani sederhana yang hanya berkebun singkong dan jagung karena kondisi tanah di seluruh Pulau-pulau yang ada di Wakatobi adalah berupa karang/berbatu. Tingkat pendapatan masyarakat masih tergolong rendah, sehingga dapat dikatakan sebagai kategori miskin. 
      Kondisi sosial Penduduk Pulau Wakatobi terdiri dari berbagai macam etnis yaitu etnis Wakatobi asli, Bugis, Buton, Jawa dan Bajo. Namun kebudayaan etnis asli masih kuat dan belum banyak mengalami akulturasi dan masing-masing etnis hidup dengan teratur, rukun dan saling menghargai. Etnis Bajo merupakan etnis yang sangat unik, karena kehidupannya sangat tergantung pada sumber daya laut, mulai dari pemukiman yang berada di atas pesisir laut dengan memanfaatakan batu karang untuk membangun kawasan pemukimannya, sampai mata pencahariaanyapun sanagat tergantung pada laut. Etnis Bugis, Buton dan Jawa umumnya sebagai pedagang dan petani dan hanya sebagian kecil sebagai nelayan. Masyarakat Wakatobi seluruhnya menganut agama Islam.
      Kondisi budaya Masyarakat asli Wakatobi terdiri dari sembilan masyarakat adat atau lokal, yaitu masyarakat adat atau lokal Wanci, Mandati, Liya, dan Kapota di Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa di P. Kaledupa, Waha, Tongano dan masyarakat adat atau lokal Timu di Pulau Tomia, serta masyarakat adat atau lokal berbeda-beda di Pulau Binongko. Selain itu juga terdapat dua masyarakat adat atau lokal yang merupakan pendatang yaitu masyarakat adat Bajo dan masyarakat adat Cia-cia yang berasal dari etnis Buton.  Setiap masyarakat adat atau lokal tersebut memiliki bahasa yang khas untuk adat atau lokal masing-masing. Walaupun bahasa yang digunakan berbeda-beda tetapi diantara mereka tetap bisa saling memahami saat melakukan komunikasi.  Tarian khas masyarakat Wakatobi diantaranya adalah Tari Lariangi (Kaledupa), Pajoge, Tari Balumpa (Binongko), dan lain-lain, (Elfiandi, 2011).     

4.4.3  Pendidikan


      Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) tahun 2005, jumlah penduduk Kabupaten Wakatobi usia 10 tahun ke atas sekitar 73.516 jiwa. Kondisi pendidikan masyarakat Wakatobi masih tergolong rendah, hal ini bisa dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat yang rata-rata hanya tamatan SD dan SMP, hanya sebagian kecil yang merupakan lulusan SLTA dan Perguruan Tinggi.  Sarana prasarana pendidikan juga belum lengkap. Sarana prasarana pendidikan yang tertinggi baru sampai SMU, dimana di setiap pulau telah memiliki satu bangunan SMU.

4.4.4  Kesehatan

      Kondisi kesehatan masyarakat Wakatobi tergolong sudah baik, hal ini dapat dilihat dari kehidupan keseharian dan kondisi lingkungan yang ada di masyarakat Wakatobi yang umunya dapat dikatakan bersih, dan pola pemukiman seta kesehatan pemukiman sudah tertata dengan baik walaupun jumlah sarana kesehatan masih rendah. Masalah bidang kesehatan di Kabupaten Wakatobi untuk sekarang ini adalah masih kurangnya jumlah petugas kesehatan terutama dokter.

4.4.5  Sarana dan Prasarana


      Kawasan Taman Nasional Wakatobi (TNW) memiliki berbagai sarana dan prasarana antara lain pusat informasi, bungalow, bumi perkemahan, jalan setapak, menara pengamat dan shelter. Selain itu terdapat bandara dan sarana akomodasi seperti hotel dan restoran. TNW memiliki kantor pusat pengelolaan di Pulau Bau-Bau yang merupakan ibukota Kabupaten Buton, Pondok kerja di Pulau Wangi-Wangi , Kaledupa, Tomia, dan Binongko dan wisma cinta alam. 




5.   HASIL DAN PEMBAHASAN
   Terumbu karang di Wakatobi bertipe karang tepi (fringing reef), karang gosong, patch reef dan atol. Rataan terumbu mempunyai lebar yang bervariasi antara 50 meter hinga 1,5 km untuk terumbu karang tepi. Rataan terumbu membentuk parit- parit dan kumpulan karang di tepi tubir. Kondisi tubir hampir semuanya dengan reef slope yang curam. Karang yang hidup di Wakatobi mencapai kedalaman lebih dari 40 meter.
Pulau Kaledupa dikelilingi oleh rataan terumbu yang di dalamnya terdapat beberapa pulau antara lain Pulau Kaledupa, Pulau Lintea dan Pulau Hoga. Mempunyai panjang lebih kurang 22,92 km dan lebar 7,31 km, dengan rataan terumbu agak landai sampai kedalaman 5 meter dan melebar ke arah timur dan utara. Pantai pasir putih dilanjutkan rataan terumbu yang lebar dengan dasar berupa karang mati dan pasir lumpuran. Pulau Hoga terdapat Marine Research Station milik Operation Wallacea. Di sebelah selatan perairan Pulau Hoga oleh masyarakat ditetapkan sebagai daerah perlindungan kecil (no fishing zone) (COREMAP, 2008).
5.1 Persentase Tutupan Karang Hidup pada Kedalaman 3 Meter.
      Persentase tutupan karang hidup pada kedalaman 3 meter pada Stasiun II sebesar 71,35%  yang dapat digolongkan dalam kategori baik berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 04 tahun 2001 yang menyatakan, kriteria baku kerusakan terumbu karang dikategorikan baik bila persentase tutupan karang hidup berkisar antara 50 – 74,9% . Pada Grafik di bawah terlihat persentase tutupan karang hidup yang tertinggi terletak pada Stasiun II yang merupakan zona pariwisata, sedangkan persentase tutupan karang hidup terendah terdapat pada Stasiun IV yang merupakan zona pemanfaatan lokal dapat di lihat pada Gambar 9.
     
           Gambar 9. Grafik  persentase tutupan karang hidup di masing-masing Stasiun pada kedalaman 3 meter.

5.1.1 Stasiun I (Hoga Channel)
Persentase tutupan karang hidup  pada Stasiun I adalah sebesar 47,17 % yang dapat di golongkan dalam kategori sedang berdasarkan kriteria (Gomez and Yap, 1988 dalam TERANGI, 2009). Kelompok terbesar yang menutupi substrat  secara berturut turut adalah kelompok karang hidup sebesar 47,17% yang terdiri dari Acropora branching 12,93 %, Acropora sub messive 0,60%, , Acropora digitate 1,03 %,  Coral brenching 5,83%, Coral foliose 0,60% Coral massive 9,55%, coral mushroom 3,42%.Coral encrusting 3,43, Coral sub massive 5,73%. Pada Stasiun I persentase karang hidup yang tertinggi adalah ACB (acropora branching) 12,93 %, hal ini dikarenakan jenis Acropora branching merupakan karang yang mudah beradaptasi terhadap lingkungan serta pada Stasiun I memiliki kecerahan 100% dimana menurut Supriharyono (2000) bahwa banyaknya sinar matahari yang diterima oleh terumbu karang berkorelasi positif dengan pertumbuhan terumbu karang tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin banyak sinar yang diterima oleh terumbu karang maka semakin baik pula tingkat pertumbuhan terumbu karang tersebut. Kelompok  karang mati sebesar 30,92% yang terdiri dari Dead coral 7,22%,  Dead coral with algae 23,70%. Pada Stasiun I persentase karang mati yang tertinggi DCA (Dead coral with algae) 23,70% hal ini dikarenakan intensitas cahaya matahari yang cukup pada kedalaman 3 meter sehingga lebih banyak persentase algae untuk hidup pada bersimbiosis dengan karang mati. Kelompok biota bentik lainya sebesar 20,4% yang terdiri dari Macro algae 1,32%, Others 3,28%, Soft coral 2,63%, Sponge 2,50%, Zooanthids 10,67%. Kelompok komponen abiotik sebesar 1,52% yang terdiri dari Rubble (pecahan karang) 1,52%. Untuk lebih jelasnya data dapat dilihat pada lampiran 3 halaman 86 dan Gambar 10 berikut.
           Gambar 10. Diagram tutupan karang berdasarkan Benthic life form
                                 pada  Stasiun I  (Hoga Channel).

5.1.2 Stasiun II (Hoga Ridge)
      Persentase tutupan karang hidup pada Stasiun II adalah sebesar 71,35 % yang dapat di golongkan dalam kategori baik berdasarkan kriteria (Gomez and Yap, 1988 dalam TERANGI, 2009). Kelompok terbesar yang menutupi substrat  secara berturut turut adalah kelompok karang hidup sebesar 71,35 % yang terdiri dari Acropora branching 7,73%, Acropora digitate 2,88%, Acropora encrusting 1,78%, Acropora tabulate 4,63 %, Coral branching 12,13%, Coral encrasthing 0,20%,Coral foliose 6,15%,Coral massive 20,27%, Coral mushroom 3,93%, Coral millepora 1,65%. Pada Stasiun II persentase karang hidup yang tertinggi adalah CM (coral massive) 20,27%, hal ini selaras dengan pernyataan Rahman (2007) mengatakan bahwa daerah yang memiliki sirkulasi air yang baik dan daerah yang mengalami tekanan arus air (hidrodinamik) yang tinggi kecenderungan memiliki bentuk pertumbuhan bentuk koloni massive. Kelompok  karang mati sebesar 9,05% yang terdiri dari  Dead coral  8,03%. Dead coral with algae 1,02%. Pada Stasiun II persentase karang mati yang tertinggi DC (Dead coral ) 8,03%, disebabkan karena pengaruh perubahan suhu pada perairan tropis seperti di Stasiun ini yang menyebakan pemutihan pada karang (Coral Bleaching) yang menyebabkan kematian karang.  Kelompok biota bentik lainya sebesar 21,2% yang terdiri dari Macro alga 3,90%, Coraline 2,72%. Soft coral 5,55%Others 1,05%, Sponge 8,25%. Komponen abiotik sebesar 1,1% yang terdiri dari Rubble (pecahan karang) 0,63%, Water (air) 0,47%. Dapat dilihat pada Gambar 11 dan data yang terlampir dalam lampiran 3 (lanjutan) halaman 86.
          Gambar 11. Diagram tutupan karang berdasarkan Benthic life form
                                pada Stasiun II (Hoga Ridge).

5.1.3 Stasiun III (Bola 2)
Persentase tutupan karang hidup pada Stasiun III adalah sebesar 59,17% yang dapat di golongkan dalam kategori sedang berdasarkan kriteria (Gomez and Yap, 1988 dalam TERANGI, 2009). Kelompok terbesar yang menutupi substrat  secara berturut turut adalah kelompok karang hidup sebesar 41,02% yang terdiri dari Acropora branching 6,33%, Acropora tabulate 1,28%, Acropora encrusting1,33%, Coral branching 1,67%, Coral foliose 2,29%, Coral masroom 5,48%. Pada Stasiun III persentase karang hidup yang tertinggi adalah ACB (Acropora branching) 6,33%, hal ini dikarenakan pada Stasiun III memilki kecerahan 100% dimana menurut Supriharyono (2000) bahwa banyaknya sinar matahari yang diterima oleh terumbu karang berkorelasi positif dengan pertumbuhan terumbu karang tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin banyak sinar yang diterima oleh terumbu karang maka semakin baik pula tingkat pertumbuhan terumbu karang tersebut. Kelompok  karang mati sebesar 30,88% yang terdiri dari Dead coral  17,00%, Dead coral algae 21,88%. Pada Stasiun I persentase karang mati yang tertinggi DCA (Dead coral algae 33,88%.) hal ini dikarenakan adanya kegiatan penangkapan ikan yang banyak dilakukan pada kedalaman 3 meter dengan cara memanah dan mencongkel karang serta kegiatan pengambilan terumbu karang yang akan digunakan sebagai pondasi rumah suku Bajo. Namun, pengaruh cahaya matahari yang cukup pada kedalaman 3 meter, lebih banyak algae (zooxanthellae) yang bersimbiosis dengan karang mati . Kelompok biota bentik lainnya sebesar 15,47% yang terdiri dari  Soft coral 13,51%. Kelompok komponen abiotik sebesar 2,48% yang terdiri dari Sand (pasir) 2,48%. Data dapat dilihat pada Gambar 12 berikut dan lampiran 3 (lanjutan) halaman 88.
            
             Gambar 12. Diagram tutupan karang berdasarkan Benthic life  form pada Stasiun III  (Bola 2)
5.1.4  Stasiun IV (Bola 3 )
Persentase tutupan karang hidup pada Stasiun IV  adalah sebesar 22,3 % yang dapat di golongkan dalam kategori buruk berdasarkan kriteria (Gomez and Yap, 1988 dalam TERANGI, 2009).  Kelompok terbesar yang menutupi substrat  secara berturut turut adalah kelompok karang hidup sebesar 22,3% yang terdiri dari Acropora branching 1,68%,  Acropora digitate 2,13%, Coral branching 0,90%, Coral encrasthing 0,85%, Coral foliose 3,03%,Coral sub massive 0,83%, Coral massive 4,03%, Coral mushroom 4,45%. Kelompok  karang mati sebesar 66,35% yang terdiri dari Dead coral  63,67%. Dead coral with algae 2,68%.

      
Gambar 13. Kondisi terumbu karang pada Stasiun IV  kedalaman 3 meter

 Pada Stasiun IV persentase karang mati yang tertinggi DC (Dead coral) 63,67%. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Rahman (2007) yang menyatakan bahwa aktivitas manusia seperti penangkapan ikan, pengambilan terumbu karang batu, pembuangan limbah rumah tangga dapat mengakibatkan kerusakan bagi terumbu karang disuatu daerah. Pada gambar 13 diatas menunjukan kondisi karang pada Stasiun IV, dimana banyaknya patahan karang akibat aktivitas penangkapan ikan secara ilegal yang sering dilakukan masyarakat suku Bajo dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti bom ikan dan bahan kimia beracun seperti potasium, dan aktivitas pengambilan terumbu karang hidup untuk dijadikan sebagai pondasi rumah dengan menggunakan besi linggis. Kelompok biota bentik lainya sebesar 12,43% yang terdiri dari Turf alga 0.65%, Coraline 0,40% Others 0,70%, Soft coral 9,96%, Sponge 0,72%. Kelompok komponen abiotik  sebesar 0,55% yang terdiri dari Rubble (pecahan karang) 0,33%, Sand (pasir) 0,22%. Dapat dilihat pada Gambar 14 dan data yang terlampir pada lampiran 3 (lanjutan) halaman 89.
          
          Gambar 14. Diagram tutupan karang berdasarkan Benthic life form
                                pada Stasiun IV (Bola 3).

5.2 Persentase Tutupan Karang Hidup pada  Kedalaman 10 Meter.
Persentase tutupan karang hidup pada kedalaman 10 meter pada Stasiun I sebesar 59,62%  yang dapat di golongkan dalam kategori baik berdasarkan kriteria (Gomez and Yap, 1988 dalam TERANGI, 2009). Pada Grafik di bawah terlihat persentase tutupan karang hidup yang tertinggi terletak pada Stasiun I yang merupakan  zona pariwisata, sedangkan persentase tutupan karang hidup terendah terdapat pada Stasiun IV yang termasuk zona pemanfaatan lokal.
       
          Gambar 15. Diagram tutupan karang hidup pada masing – masing
                                Stasiun di medalaman 10 meter.

5.2.1. Stasiun I (Hoga Channel )
      Persentase tutupan karang hidup pada Stasiun I adalah sebesar 59,62% yang dapat di golongkan dalam kategori baik berdasarkan kriteria (Gomez and Yap, 1988 dalam TERANGI, 2009). Kelompok terbesar yang menutupi substrat  secara berturut turut adalah kelompok karang hidup sebesar 59,62% yang terdiri dari Acropora branching 20,30%, Acropora digitate 1,72%, Acropora encrusting 3,90%, Acropora tabulate 8,22%, Coral branching 6,37%, Coral encrusthing 0,75%, Coral foliose 1,52%, Coral massive 10,42%, Coral sub massive 2,72% Coral mushroom 2,77%. Pada Stasiun I persentase karang hidup yang tertinggi adalah ACB (Acropora branching) 20,30%. Jenis Acropora braching merupakan karang yang mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan, dimana nilai kecepatan arus  pada Stasiun I (0,31 m/s), dengan keadaan arus yang cukup kuat sehingga sedimen yang menutupi polip karang tidak mengendap dan sebagian terbawa arus dan gelombang yang ada. Hal ini sesuai dengan Nybakken (1988) bahwa arus dan gelombang akan menjamin ketersedian oksigen dalam air laut, serta mengurangi atau menghalangi pengendapan sehingga sedimen tidak menutupi koloni karang dan memberi plankton yang baru untuk makanan.
      Kelompok  karang mati sebesar 18,05% yang terdiri dari Dead coral 2,77%, Dead coral with algae 15,28%. Pada Stasiun I persentase karang mati yang tertinggi DCA (Dead coral with algae) 15,28% hal ini dikarenakan letak Stasiun I tepat pada Chanel, dimana merupakan selat antara Pulau Kaledupa dan Hoga, sehingga perairan ini sering terjadi pergatian arus yang menyebabkan pergerakan air dan menghanyutkan zat-zat kimia yang berbahaya. Kelompok biota bentik lainya yaitu sebesar 20,76% yang terdiri dari macro algae 5,03%, Turf alga 1,18%, coraline 1,87%, Others 3,03%, Soft coral 7,05% dan Sponge 2,42%,Zooanthids 0,32%. Kelompok komponen abiotik sebesar 1,75% yang terdiri dari Rubble (pecahan karang) 1,57%. Data  dapat dilihat pada Gambar 16 dan lampiran 4 (hal. 90)
          
            Gambar 16. Diagram tutupan karang berdasarkan Benthic life form
                                  pada Stasiun I.

5.2.2 Stasiun II ( Hoga Ridge ).
      Persentase tutupan karang hidup pada Stasiun II kedalaman 10 meter  adalah sebesar 49,12% yang dapat di golongkan dalam kategori baik berdasarkan kriteria Gomez and Yap (2009).  Kelompok terbesar yang menutupi substrat  secara berturut turut adalah kelompok karang hidup sebesar 49,12% yang terdiri dari Acropora branhcing 7,73%, Acropora tabulate 3,60%, Acropora encrusting 1,78%, Acropora digitate 2,88%, Coral branching 6,00%, Coral encrusthing 0,20%, Coral foliose 6,15%, Coral massive 10,27%,  Coral millepora 1,65%.
         Pada Stasiun II  persentase karang hidup yang tertinggi adalah CM (Coral massive) 10,27%, hal ini selaras dengan pernyataan Rahman (2007) mengatakan bahwa daerah yang memiliki sirkulasi air yang baik dan daerah yang mengalami tekanan arus air (hidrodinamik) yang tinggi kecenderungan memiliki bentuk pertumbuhan bentuk koloni massive. Kelompok  karang mati sebesar 19,71% yang terdiri dari Dead coral 18,63%, Dead coral with algae 1,08%. Pada Stasiun II persentase karang mati yang tertinggi DC (Dead coral) 18,63%, hal ini dikarenakan pada Stasiun II merupakan stasiun yang sering dikunjungi oleh para wisatawan lokal maupun mancanegara baik sengaja maupun tidak sengaja menginjak terumbu karang serta kerusakan sebelum di tetapkan zonasi.  Kelompok biota bentik lainya yaitu sebesar 21,34% adalah Macro algae 2,63%, Coraline 2,13%, Others 5,53%, Soft coral 4,28%, Sponge 1,52 %, Zooanthids 7,23%.  Kelompok abiotik sebesar 9,83% yang terdiri dari Kelompok abiotik sebesar 9,83% yang terdiri dari  Rubble (pecahan karang) 8,40% dan Sand (pasir) 0,93%, Water (air) 1,50%. Tingginya persentase pecahan karang disebabkan karena aktivits diving  yang mungkin secara tidak sengaja menginjak terumbu karang seperti jenis Acropora Brenching .  Untuk lebih jelasnya, keterangan diatas dapat dilihat pada gambar 17 dan data yang terlampir pada lampiran 4 (lanjutan) halaman 91.
           
            Gambar 17. Diagram tutupan karang berdasarkan Benthic life form
                                  pada  Stasiun II.
5.2.3 Stasiun III ( Hoga Bola 2 ).
      Persentase tutupan karang hidup pada Stasiun III yang merupakan Zona Pemanfaatan Lokal adalah sebesar 46,08% yang dapat di golongkan dalam kategori sedang berdasarkan kriteria (Gomez and Yap, 1988 dalam TERANGI, 2009). Kelompok terbesar yang menutupi substrat  secara berturut turut adalah kelompok karang hidup sebesar 46,08% yang terdiri dari Acropora branching 8,03%, Acropora tabulate 0,92%, Coral foliose 23,17%, Coral massive 5,17%, coral mushroom 0,62%. Coral encrasting 7,56%. Pada Stasiun III persentase karang hidup yang tertinggi adalah CF (Coral foliose) 23,17%, hal ini selaras dengan pernyataan Rahman (2007) yang menyatakan bahwa perairan yang tenang dan agak terlindung cenderung dihuni oleh jenis terumbu karang berbentuk lembaran (Coral foliose). Kelompok karang mati sebesar 21,6% yang terdiri dari Dead coral 16,60%,  Dead coral with algae 5,00%. Pada Stasiun III persentase karang mati yang tertinggi DC (Dead coral) 16,60, hal ini disebabkan karena sirkulasi air atau pergantian kecepatan arus yang sering berubah sehingga mengakibatkan sedimen menutupi polip karang. Kelompok biota bentik lainya sebesar 31,87% yang terdiri dari Macro algae 4,60%, Others 6,07%, Soft coral 18,17%,  Sponge 9,72%, Zooanthids 1,32%. Nilai persentase Soft coral  lebih tinggi karena karang lunak dapat hidup baik diperairan dangkal maupun dalam yang gelap karena Soft coral hanya hidup sendiri dan tidak bekerja sama dengan Alga  maupun biota lainnya. Kelompok abiotik sebesar 0,32% yang terdiri dari water (air) 0,32%. Dapat dilihat pada gambar 18 dan data yang terlampir dalam lampiran 4 (lanjutan) halaman 92.
         
          Gambar 18.  Diagram tutupan karang berdasarkan Benthic life form
                                 pada Stasiun III.

5.2.4 Stasiun IV (Bola 3 ).
      Persentase tutupan karang hidup pada Stasiun IV yang merupakan zona pemanfaatan lokal adalah sebesar 39,63% yang dapat di golongkan dalam kategori sedang berdasarkan kriteria (Gomez and Yap, 1988 dalam TERANGI, 2009). Kelompok terbesar yang menutupi substrat  secara berturut turut adalah kelompok karang hidup sebesar 39,63% yang terdiri dari Acropora branching 3,48%, Acropora digitate 1,58%, Acropora tabulate 2,22%, Coral branching 0,25%, Coral encrusthing 0,85%, Coral foliose 3,03%,Coral massive 22,93%, Coral mushroom 4,45%. Pada Stasiun IV persentase karang hidup yang tertinggi adalah CM (Coral massive) 22,93%, dikarenakan pada Stasiun pengamatan ini gelombang atau arus cukup besar sehingga memberikan oksigen dan menghalangi pengendapan pada pada koloni Coral masssive . Kelompok  karang mati sebesar 25,95% yang terdiri dari Dead coral  18,95%. Dead coral with algae 7,00%. Pada Stasiun IV persentase karang mati yang tertinggi DC (Dead coral) 18,95%, hal ini disebabkan pada Stasiun IV merupakan daerah penangkapan ikan sehingga banyak terdapat karang yang rusak dikarenakan penangkapan ikan dengan cara mencongkel karang dan menombak ikan sehingga dapat merusak terumbu karang yang ada, dan bahkan ada nelayan menggunakan bahan kimia beracun untuk menangkap ikan dan zat-zat kimia tersebut yang menyebabkan kematian pada karang.  Kelompok biota bentik lainya sebesar 27,83% yang terdiri dari Turf alga 0,85,0%, Coraline 0,40%, Others 0,90%, Soft coral  25,23%, Sponge 0,72%. Kelompok abiotik sebesar 6,85% yang terdiri dari Rubble (pecahan karang) 3,25%, Sand (pasir) 3,33%. Data dapat dilihat pada Gambar 19 dan lampiran 4 (lanjutan) halaman 93 .
         
           Gambar 19. Diagram tutupan karang berdasarkan Benthic life form
                                 pada Stasiun IV .










5.3 Perbandingan Kondisi Terumbu Karang di Lihat dari Perbandingan Tutupan Karang Hidup dan Karang      

              
             Gambar 20. Perbandingan tutupan karang hidup dan karang mati
                                   pada kedalaman 3 meter.

     Dari grafik persentase diatas, dapat dilihat persentase tutupan terumbu karang hidup pada kedalaman 3 meter di Stasiun I dan II  lebih baik dari pada Stasiun III dan IV hal ini dikarenakan pada Stasiun I dan II merupakan zona pariwisata yang   tidak diizinkan untuk melakukan kegiatan penangkapan yang menyebabkan persentase kerusakan terumbu karang lebih tinggi  di bandingkan aktivitas diving yang kurang berdampak bagi terumbu karang khususnya di pulau Hoga,  sehingga karang hidup dapat berkembang lebih baik. Pada Stasiun II persentase terumbu karang hidup (71,35%) lebih tinggi dibandingkan Stasiun III (59,17%) dan Stasiun I (47,17 %), hal ini disebabkan karena kondisi perairan yang masih stabil dengan suhu 29-30º C dimana merupakan suhu yang baik untuk pertumbuhan karang.  Sedangkan, persentase karang mati pada Stasiun II (9,05%) lebih rendah dibandingkan dengan Stasiun III (30,88%), hal ini terjadi karena pada Stasiun II didominansi oleh karang jenis CM (Coral massive).
Tutupan karang mati pada Stasiun IV lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 3 meskipun keduanya termasuk dalam zona pemanfaatan lokal, hal ini dikarenakan letak dari Stasiun IV lebih dekat dengan perkampungan suku Bajo sehingga aktivitas penangkapan dan pengambilan terumbu karang secara illegal  lebih sering dilakukan disana sehingga banyak terumbu karang yang mati.
         
           Gambar 21. Perbandingan tutupan karang hidup dan karang mati pada kedalaman 10 meter.

Persentase tutupan karang hidup pada kedalaman 10 meter tidak jauh berbeda menurut (Gomez and Yap, 1988 dalam TERANGI, 2009) keempat stasiun pengamatan termaksud dalam kondisi baik. Stasiun III dan IV dalam (zona pemanfaatan lokal) pada kedalaman 10 meter kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan penangkapan ikan masih sangat kecil dikarenakan kegiatan penangkapan pada umumnya dilakukan pada kedalam 3 meter.
5.4 Indeks Mortalitas Karang
      Nilai indeks mortalitas karang dihitung untuk mendapat gambaran tentang kondisi kesehatan karang dilihat dari perbandingan antara persentase tutupan karang mati dan karang hidup. Perhitungan indeks mortalitas tersebut juga dimaksudkan untuk mengetahui rasio kematian karang. Nilai indeks mortalitas pada 4 Stasiun pengamatan pada  kedalaman 3 meter berkisar antara 0,18 – 0,80 sedangkan pada kedalaman 10 meter berkisar antara 0,31 – 0,40.
      Indeks mortalitas terendah pada  kedalaman 3 meter terdapat di Stasiun II  yaitu 0,18, sedangkan nilai indeks mortalitas tertinggi terdapat di Stasiun IV yaitu 0,80. Nilai persentase tutupan karang hidup pada masing-masing Stasiun tersebut termasuk dalam kategori buruk yaitu 16,67 % dan tingginya persentase tutupan karang mati pada Stasiun tersebut, yaitu 66,35 % menandakan bahwa kondisi persentase tutupan karang hidup berbanding  terbalik dengan indeks mortalitas. Semakin tinggi nilai persentase tutupan karang maka indeks mortalitas semakin kecil, sebaliknya semakin rendah persentase tutupan karang maka indeks mortalitasnya semakin besar.
      Rata-rata indeks mortalitas pada dasar perairan kedalaman 3 meter bernilai 0,37 yang menunjukkan tingkat kesehatan karang yang masih baik karena nilai indeks mortalitas yang masih berada di bawah nilai 0,5 dapat dikatakan masih baik. Menurut Ferianita (2007), nilai indeks mortalitas yang mendekati 0,1 menunjukkan tingkat kesehatan karang yang semakin baik karena semakin rendahnya nilai indeks mortalitas akan diartikan dengan semakin tingginya tingkat kesehatan karang. Berikut nilai indeks mortalitas karang pada dasar perairan kedalaman 3 meter pada empat Stasiun pengamatan pada gambar 22.
         
         Gambar 22. Grafik nilai indeks mortalitas pada dasar perairan
                               kedalaman 3 meter .

      Indeks mortalitas karang tertinggi pada kedalaman 3 meter terdapat di Stasiun IV dengan nilai 0,80, artinya berdasarkan English et, al (1997) dalam Terangi (2009) bahwa kondisi terumbu karang pada Stasiun ini terjadi perubahan dari karang hidup menjadi karang mati. Nilai persentase tutupan karang hidup pada Stasiun IV termasuk dalam kategori rusak yaitu 22,3 % dan tingginya persentase tutupan karang mati pada Stasiun tersebut, yaitu 66,35 % menunjukan bahwa kondisi  karang pada Stasiun ini dalam kategori rusak dibandingkan dengan Stasiun lainnya.
      Indeks mortalitas karang terendah terdapat di Stasiun II dengan nilai indeks sebesar 0,18 menunjukkan tingkat kesehatan karang pada Stasiun II zona pariwisata ini baik.  Persentase tutupan karang hidup yang termasuk dalam kategori baik yaitu 71,35 %. Berikut nilai indeks mortalitas karang pada dasar perairan kedalaman 10 meter pada empat Stasiun pangamatan.
                
               Gambar 23. Grafik indeks mortalitas karang pada dasar perairan
                                     kedalaman 10 meter.

      Indeks mortalitas karang pada dasar perairan kedalaman 10 meter pada IV Stasiun pengamatan secara keseluruhan dapat dikatakan berbeda dengan dasar perairan pada kedalaman 3 meter. Perbandingan antara indeks mortalitas karang pada kedalaman 3 meter lebih buruk dibandingkan kedalaman 10 meter. Hal ini dikarenakan pada kedalaman 3 meter masih banyak terjadi kegiatan penangkapan serta arus kencang sehingga menyebabkan terumbu karang jenis Acropora branching mudah hancur dan kegiatan pariwisata yang sering dilakukan dengan berjalan pada daerah terumbu karang pada saat air surut.

           Gambar 24. Grafik nilai indeks mortalitas pada kedalaman 3 meter dan           
                                 10 meter pada IV Stasiun pengamatan.

      Berdasarkan indeks mortalitas pada grafik di atas terlihat di Stasiun IV pada dasar perairan kedalaman 3 meter indeks mortalitas tertinggi sebesar 0,80 dengan nilai persentase karang hidup pada Stasiun IV tersebut termasuk dalam kategori buruk yaitu 22,3% sedangkan pada Stasiun 2 indeks mortalitas terendah sebesar 0,18 yang  berarti bahwa tingkat kematian karang rendah. Sedangkan, untuk Stasiun IV tingginya persentase karang mati di karenakan pada Stasiun IV merupakan zona pemanfaatan lokal yang berdekatan dengan kampung masyarakat yang berada di pulau Hoga dan melakukan kegiatan penangkap ikan di dasar perairan dangkal dengan alat tangkap pancing dasar, jaring dasar, bubu, sero, menyelam teripang, lobster dan kerang, bahkan aktivitas penangkapan ikan dengan alat tangkap yang dilarang seperti bom ikan dan bahan kimia beracun (Potasium) masih sering dilakukan yang menyebabkan angka kematian terumbu karang tinggi. Sedangkan pada kedalaman 10 meter pada IV Stasiun pengamatan yang memiliki indeks mortalitas tertinggi berada pada Stasiun IV sebesar 0,40 yang berarti nilai persentase tutupan karang hidup dalam kategori sedang yaitu 39,63% sedangkan indeks mortalitas tertinggi kedua terdapat pada stasiun dua sebesar 0,33 yang berarti nilai persentase tutupan karang hidup dalam kategori sedang yaitu 49,12%. Bila dilihat dari grafik di atas pada kedalaman 10 meter indeks mortalitas berkisar antara 0,31 – 0,40 yang berarti nilai persentase tutupan karang hidup dalam kategori sedang yaitu 39,63% - 59,66%. Hal ini dikarenakan pada Stasiun I dan II merupakan zona pariwisata yang tidak diperbolehkan melakukan kegiatan penangkapan sedangkan untuk Stasiun III dan IV merupakan zona pemanfaatan lokal masyarakat sekitar Pulau Hoga sering melakukan kegiatan penangkapan dan banyak melakukan kegiatan penangkapan di perairan dangkal. 

5.4.1 Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Domonasi (C)       Terumbu Karang

     Nilai indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominasi (C) merupakan nilai yang mentukan apakan kondisi terumbu karang mengalami tingkat kerusakan dan untuk mengetahui tingkat dominasi terumbu karang pada suatu perairan.
1.    Kedalaman dasar perairan 3 meter
     Nilai indeks keanekaragaman (H’) menyatakan kedaan populasi suatu organisme secara matematis, pada kedalaman dasar perairan 3 meter nilai indeks keanekaragaman berkisar antara 2,30 – 3,15. Sedangkan nilai keseragaman (E) berkisar antara 0,82 – 0,88, dan nilai untuk indeks dominasi (C) pada kedalaman 3 meter berkisar antara 0,14 – 0,25. Untuk lebih jelasnya mengenai indeks keanekaragaman, keseragaman, dominasi pada kedalaman 3 meter dapat dilihat pada Gambar 25 .
   
      Gambar 25. Nilai indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan      
                            dominasi (C) terumbu karang pada kedalaman 3 meter

          Nilai keanekaragaman (H’) pada dasar perairan tiga meter yang paling rendah terdapat pada Stasiun III dan IV yang masing-masing sebesar 2,30 dan 2,55. Berdasarkan kriteria penilaian indeks keanekaragaman menurut Shanon-Whinner dalam English (1997) nilai tersebut dapat digolongkan dalam kategori dengan keanekaragaman sedang. Hal ini dipengaruhi karena tekanan lingkungan yang tidak stabil. Nilai keseragaman (E) terendah terdapat pada Stasiun IV dengan nilai sebesar 0,82 dan nilai dominasi (C) yang paling kecil terdapat pada Stasiun II dengan nilai indeks sebesar 0,14. Tingginya nilai indeks dominasi pada Stasiun IV kedalaman dasar perairan 3 meter dikarenakan pada Stasiun ini didominasi oleh terumbu karang keras (acropora). Stasiun II nilai indeks keanekaragaman tertinggi dengan nilai 3,15, dan nilai indeks keseragaman sebesar 0,88 dan nilai indeks dominasi sebesar 0,14.
          Dari  hasil analisis indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) pada grafik diatas telah menunjukan bahwa kondisi terumbu karang pada Stasiun pengamatan I dan II pada kedalaman 3 meter terjadi keseimbangan ekosistem dengan komunitas terumbu karang cenderung stabil, sedangkan pada Stasiun III dan IV tidak terjadi keseimbangan  karena nilai indeks (H’) tergolong sedang, namun keseluruhan spesies tersebar secara merata serta tidak ada spesies yang mendominasi.
2.    Kedalaman dasar perairan 10 meter
   Nilai indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominasi pada kedalaman 10 meter tidak jauh berbeda dari nilai indeks pada nilai indeks di kedalaman dasar perairan 3 meter.  Nilai indeks keanekaraganam (H’), keseragaman (E) dan dominasi (C) dapat dilihat pada Gambar 26 .
Gambar 26. Nilai indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominasi (C) terumbu karang pada kedalaman 10 meter.
           
     Nilai indeks keanekaragaman (H’) pada kedalaman 10 meter berkisar antara 2,233,08, sedangkan jumlah nilai indeks keseragaman (E) berkisar antara 0,67 – 0,89, dan nilai indeks dominasi (C) pada kedalaman dasar perairan 10 meter berkisar antara 0,14 – 0,23. Rendahnya nilai indeks keseragaman dan keanekaragman pada Stasiun III dan IV dikarenakan karena pada kedalaman dasar perairan 10 meter didominasi oleh karang keras (non acropora) yaitu coral massive yang memenuhi dasar perairan, hal ini menunjukkan bahwa kondisi ekologi tidak stabil dan keseragaman tidak merata dikarenakan adanya organisme yang mendominasi pada dasar perairan. Sebaliknya nilai indeks keanekaragaman dan keseragaman yang tinggi pada Stasiun pengamatan I dan II menunjukan bahwa terjadi keseimbangan ekosistem dengan komunitas terumbu karang cenderung stabil, dengan spesies tersebar secara merata serta tidak ada spesies yang mendominasi.
5.5 Ikan Karang
5.5.1 Kelimpahan Ikan Karang pada Kedalaman 3 Meter
          Tinggi rendahnya jumlah dan jenis ikan karang sangat dipengaruhi oleh kondisi terumbu karang pada suatu perairan. Ikan karang yang teramati pada dasar perairan tiga meter di sekitar lokasi pengamatan ada 89 spesies yang terdiri dari 11 famili dan 1053 individu. Nilai kelimpahan ikan karang pada kedalaman dasar perairan 3 meter dapat dilihat pada Gambar 27.
     
       Gambar 27. Kelimpahan ikan karang pada kedalaman dasar perairan 3 meter

          Dari gambar diatas dapat dilihat nilai kelimpahan ikan karang pada IV Stasiun pengamatan yang dibagi dalam 3 kelompok berdasarkan peranannya. Persentase kelompok ikan target sebesar 25 % yang terdiri dari famili Caesionidae, Serranidae, Lutjanidae, Siganidae, Scaridae dan Labridae. Jenis ikan target yang paling banyak ditemukan adalah jenis Caesio cuning dari famili Caesionidae sebesar 7 % atau sebanyak 71 ind/m22. Jenis ikan ini lebih banyak ditemukan karena umumnya bergerak membentuk kelompok (Schoolling) untuk mencari makan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar komposisi kelimpahan ikan berikut.
          
      Gambar 28. Komposisi kelimpahan ikan karang pada kedalaman 3 meter
    
          Persentase kelimpahan ikan lain (mayor famili) sebesar 70 % yang terdiri dari 4 famili yaitu, Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae dan Labridae. Jenis ikan yang mendominasi adalah jenis Cromis fumea dari famili Pomacentridae sebesar 27 %. Dominannya jenis Pomacentridae diduga karena tingginya persentase karang mati pada Stasiun III. Hal ini selaras dengan pernyataan Prasetiawan (2002) yang menyatakan bahwa ikan famili Pomacentridae merupakan ikan herbivor grazer pemakan alga, terutama dari alga yang tumbuh pada karang yang telah mati (Dead Coral With Algae).
          Persentase kelimpahan ikan indikator atau ikan kepe-kepe dari famili Chaetodontidae adalah 7 % yang didominansi oleh jenis Chaetodon octofasciatus yaitu 3,12 %. Famili Chaetodontidae merupakan jenis ikan syang biasa digunakan sebagai ikan penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat hubunganya dengan kesuburan terumbu karang.
          Tingginya nilai persentase ikan lain (mayor famili) juga dipengaruhi oleh kondisi terumbu karang pada kedalaman 3 meter, dimana pada Stasiun II persentase tutupan karang hidup dalam kondisi baik sehingga sangat berpotensi terhadap ikan untuk mencari makan.
5. 5. 2 Kelimpahan Ikan Karang pada Kedalaman 10 Meter
          Jenis ikan karang yang teramati pada dasar perairan 10 meter terdapat 91 spesies yang terdiri dari 10 famili dan 1082 individu. Nilai kelimpahan ikan karang pada kedalaman dasar perairan 10 meter dapat dilihat pada Gambar 29 berikut.
     
       Gambar 29. Kelimpahan ikan karang pada kedalaman 10 meter

          Nilai kelimpahan ikan karang yang terdapat pada kedalaman dasar perairan 10 meter berkisar antara 189 – 392 ind/300 m2 atau 0,631,31 ind/m2. Nilai kelimpahan ikan karang tertinggi pada kedalaman 10 meter terdapat pada Stasiun I sebesar  dengan nilai indeks sebesar 1,31 ind/m2, dan nilai kelimpahan ikan karang terendah pada Stasiun IV dengan nilai 0,63 ind/m2.
          Berdasarkan fungsi peranannya, persentase kelimpahan ikan target sebesar 35 % yang terdiri 6 famili yaitu, Caesionidae, Serranidae, Lutjanidae, Siganidae, Scaridae dan Labridae. Dari keenam famili, yang lebih dominan ditemukan adalah famili Caesionidae dari jenis Caesio cuning dengan persentase 26 % atau sebanyak 273 ind/m2 atau sebesar 0,79 ind/m2. Berdasarkan pengamatan dilapangan baik pada kedalaman 3 meter dan 10 meter, ikan jenis ini selalu membentuk kelompok (Schoolling) untuk mencari makan. Untuk lebih jelasnya, komposisi kelimpahan ikan karang dapat dilihat pada Gambar 30.
     
    Gambar 30. Komposisi kelimpahan ikan karang pada kedalaman 10 meter

          Persentase kelimpahan ikan mayor yaitu 65  % yang terdiri dari  famili Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae dan Labridae. Dari keempat famili, yang didominasi oleh jenis Pomancentrus reidi sebesar 23 % atau sebanyak 0,35 ind/m2. Ikan jenis Pomancentrus reidi merupakan ikan endemik yang sering di temukan secara bergerombol (Schoolling) di dasar perairan kedalaman 10 meter.
          Persentase kelimpahan ikan indikator pada kedalaman 10 meter sebesar 5 % yang terdiri dari famili Chaetodontidae. Jenis ikan kepe-kepe atau ikan indikator yang paling dominan ditemukan adalah jenis Chaetodon octofasciatus, yaitu sebesar 3,14 % atau sebanyak 0,12 ind/m2. Menurut Allen (2003)  jenis Chaetodon octofasciatus merupakan ikan pemakan polip karang dan menjadikan Coral Brancing sebagai tempat berlindung dan bermain.

5.5.3 Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Dominansi (C)
         Ikan Karang

1. Kedalaman dasar 3 meter
          Pada kedalaman dasar perairan 3 meter kondisi ikan karang secara keseluruhan populasinya banyak, hal ini dapat dilihat dari nilai indeks keanekaragaman (H’) yang berkisar antara 1,192,77, hal ini menandakan bahwa apabila nilai keanekaragaman populasi besar, tekanan ekologis sedikit. Nilai indeks dominasi (C) yang berkisar antara 0,08 – 0,38 yang termasuk kedalam kategori sedang yang menandakan bahwa tidak terdapat kecenderungan terjadinya dominasi satu spesies atau lebih dalam komunitasnya. Sedangkan nilai keseragaman (E) berkisar antara 0,61 – 0,89. Jika nilai keseragaman mendekati 0 berarti dalam ekosistem tersebut tidak terdapat kecenderungan dominasi spesies tertentu yang mungkin disebabkan adanya ketidak stabilan kondisi lingkungan (Krebs, 1994). Untuk lebih jelasnya, nilai indeks keseragaman (H’), keanekaragaman (E), dan dominasi (C) dapat dilihat pada Gambar 31.
Gambar 31. Nilai indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominasi
                     (C) ikan karang pada kedalaman dasar perairan 3 meter

          Tinggi nilai indeks keanekaragaman (H’) dan rendahnya nilai keseragaman (E), dan dominasi (C) disebabkan oleh terjadinya ketidakstabilan pada kondisi lingkungan. Apabila dilihat dari kondisi tutupan terumbu karang hidup yang terdapat pada IV Stasiun pengamatan kedalaman 3 meter sebesar 16,6763,68 %, dapat kita lihat pada nilai mortalitas karang yang menandakan kondisi terumbu karang cukup baik.
2.   Kedalaman dasar 10 meter
Nilai indeks keseragaman (H’), keanekaragaman (E), dan dominasi (C) ikan karang  pada  IV Stasiun pengamatan kedalaman dasar perairan 10 meter dapat dilihat pada Gambar 29.
    
      Gambar 32. Nilai indeks keseragaman (H’), keanekaragaman (E), dan
                            dominasi (C)  ikan karang pada kedalaman dasar perairan
                            10 meter.

          Nilai indeks keanekaragaman (H’) pada kedalaman 10 meter berkisar antara 2,042,71 yang menandakan bahwa nilai indeks keanekaragaman populasi kecil, menandakan bahwa tekanan ekologis tinggi. Nilai indeks dominasi (C) ikan karang pada kedalaman 10 meter  berkisar antara 0,09– 0,23, termasuk dalam kategori rendah, dan nilai indeks keseragaman (E) berkisar antara 0,67 – 0,82 yang masuk dalam kategori sedang. Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi tekanan ekologis yang kuat sehingga penyebaran spesies tidak merata dan menyebabkan adanya suatu spesies yang mendominasi di ekosistem.
5.6 Kondisi Parameter Kualitas Perairan
      Hasil pengukuran kondisi perairan selama praktek berlangsung bahwa kondisi perairan masih berada dalam batas yang masih dapat ditoleransi oleh hewan karang untuk mempertahankan kehidupannya. Hasil pengukuran parameter kualitas  perairan.

       Tabel 5. Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan
Stasiun pengamatan
Parameter lingkungan


Suhu (°C)
Salinitas (‰)
Kecerahan (%)
Kecepatan Arus (m/s)
pH
I
3   m
29,8
32,9
100
0,31

8,1
10 m
29,6
32,7
70
8,2
II
3   m
29,7
32,6
100
0,28
8,2
10 m
29,6
32,8
85
8,2
III
3   m
29,8
32,6
100
0,30
8,1
10 m
29,7
32,6
80
8,2
IV
3   m
30
32,9
100
0,30
8,2
10 m
29,7
32,6
83
8,2


5.6.1 Suhu
      Berdasarkan pengukuran selama praktek berlangsung pengamatan suhu air pada setiap Stasiun yang meliki dua kedalaman 3 meter dan 10 meter memiliki nilai yang sama berkisar antara 29,6°C – 30°C, bahwa kondisi perairan di Pulau Hoga pada lokasi pengamatan Suhu air pada semua Stasiun masih mempunyai toleransi terhadap pertumbuhan karang hidup.     
      Nilai suhu perairan yang diperoleh selama pengamatan  dalam kategori baik karena terumbu karang cenderung dapat tumbuh dengan optimal pada suhu yang hangat. Suhu yang paling baik untuk pertumbuhan terumbu karang berkisar antara 25 - 32°C (Supriharyono, 2000). Hal ini menunjukan bahwa suhu di lokasi tergolong bersifat baik bagi pertumbuhan karang.
5.6.2 Salinitas
      Berdasarkan hasil pengukuran selama praktek berlangsung salinitas selama pengamatan berkisar dari  32,6 -32,9 ‰. Nilai salinitas yang stabil ini diindikasikan bahwa kondisi perairan di lokasi pengamatan baik untuk mendukung tingkat pertumbuhan karang. Menurut Supriharyono (2000), salinitas diketahui juga merupakan faktor pembatas kehidupan hewan karang, salinitas air laut rata – rata di daerah tropis adalah sekitar 35 ‰.  Sedangkan Terangi (2009), salinitas berperan untuk mengatur tekanan osmosis dan elektrolit tubuh organisme dan lingkungan sekitarnya sehingga salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan karang.
5.6.3 Kecerahan
       Hasil pengukuran selama praktek berlangsung  menunjukkan bahwa nilai kecerahan pada kedalaman dasar perairan 3 meter semua Stasiun pengamatan mencapai 100 %, sedangkan pada kedalaman dasar perairan 10 meter hanya mencapai ± 80 – 90 % cahaya mathari yang menembus dasar perairan. Kecerahan diperlukan sebagai indikator besarnya penetrasi cahaya yang dapat masuk ke dalam perairan, semakin tinggi nilai kecerahan maka semakin banyak intensitas cahaya matahari yang dapat menembus perairan.
      Kecerahan diperlukan untuk penetrasi cahaya matahari yang diperlukan untuk proses fotosintesis oleh zooxanthellae yang bersimbiosis dengan jaringan karang (Dahuri, 2003). Oleh karena itu, kecerahan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi perkembangan karang.
5.6.4 Kecepatan Arus
       Pengukuran kecepatan arus yang dilakukan di permukaan perairan diperoleh selama praktek berlangsung antara 0,28 – 0,31 m/s. Besarnya kecepatan arus mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang, karena kuatnya arus akan memberikan oksigen dalam air laut, menghalangi pengendapan pada koloni terumbu karang dan memberikan makanan untuk koloni terumbu karang (Nybakken, 1988). Jika air tenang banyak mengandung lumpur atau pasir maka hewan karang akan mengalami kesulitan untuk membersihkan diri sendiri dari endapan-endapan lumpur atau pasir yang menutupinya.
5.7 Hubungan antara Persentase Tutupan Terumbu Karang dengan Kelimpahan Ikan Karang

          Untuk dapat melihat hubungan antara persentase tutupan terumbu karang dengan kelimpahan ikan karang digunakan regresi linier sederhana. Nilai r2 determinasi yang didapat, dapat menjelaskan seberapa kuat hubungan antara dua peubah, semakin mendekati 1 maka hubungannya semakin kuat (Gambar 30).
  
      Gambar 33. Grafik hubungan antara persentase tutupan terumbu karang dengan   kelimpahan ikan karang

          Nilai kelimpahan ikan karang pada semua Stasiun pengamatan di kedalaman 3 dan 10 meter berkisar antara 189444 ind/300 m2, sedangkan untuk persentase tutupan terumbu karang hidup berkisar antara 22,371,35 %. Persamaan linier tentang hubungan antara kelimpahan ikan karang dengan tutupan karang menunjukkan nilai y = 28,15 + 5,23x yang menunjukkan bahwa kelimpahan ikan karang memiliki korelasi positif terhadap tutupan karang dengan nilai korelasi (r) = 0, 79 dan keofisien determinasi (R) = 0,62. Dari persamaan linier tersebut dapat dinyatakan bahwa untuk setiap penambahan 1 % tutupan karang, maka kelimpahan ikan karang akan bertambah sebesar 5,23 ind/ 300 m2. Jika nilai koefisien korelasi ( r ) mendekati 1, maka X dan Y atau persentase tutupan terumbu karang dan kelimpahan ikan karang memiliki korelasi yang tinggi. Dari grafik hubungan persentase tutupan karang dengan kelimpahan ikan karang dari dapat nilai R atau determinasi sebesar 0,62 atau sebesar 62 % dan nilai r atau korelasi sebesar 0,79 yang berarti tutupan karang mempengaruhi sebesar 62 % kelimpahan ikan karang yang ada. Sisanya 38 % adalah faktor lain yang mempengaruhi terhadap kelimpahan ikan karang. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi terumbu karang memiliki hubungan yang kuat dengan kelimpahan ikan karang pada suatu perairan, dapat diartikan bahwa semakin bagus persentase tutupan terumbu karang, maka semakin banyak kelimpahan ikan karang di perairan tersebut. Tim Riset Monitoring (2006) dalam Tia (2010), menjelaskan bahwa nilai korelasi yang berada pada interval 0,80 – 1,000 memiliki tingkat hubungan yang sangat kuat.

 



No comments:

Post a Comment