Monday, 1 December 2014

PERBANDINGAN KONDISI TERUMBU KARANG DI ZONA PARIWISATA DENGAN ZONA PERLINDUNGAN BAHARI DI PULAU KALEDUPA, TAMAN NASIONAL WAKATOBI, SULAWESI TENGGARA



BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Karang Stasiun 1 Zona Pariwisata Tanjung Sombano

5.1.1 Kedalaman 5 meter
          Persentase tutupan karang hidup pada Stasiun 1 kedalaman 5 meter pada zona pariwisata adalah 56,13%. Nilai tutupan yang terdapat pada stasiun ini dapat digolongkan dalam kategori bagus atau baik, berdasarkan kriteria (Gomez and Yap, 1988 dalam Terangi, 2009). Persentase tersebut terdiri dari persentase Hard Coral (HC) dan Soft Coral (SC) sementara persentase tutupan karang mati (DC) memiliki nilai pesentase 10,00% ini menandakan bahwa stasiun ini memiliki arus yang sangat kuat, dan Algae (4,48%), Other (3,02%) dan abiotik (26,37%).
         Tutupan karang hidup terbesar didapati pada karang jenis coral massive dengan persentase sebesar 15,00%. Dengan ditemukannya jenis karang massive sebagai jenis karang dominan di stasiun ini maka dapat diketahui bahwa pada Stasiun 1 dengan kedalaman 5 meter memiliki arus yang cukup kuat, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Supriharyono (2000) bahwa Coral massive (CM) hidup pada perairan yang arusnya kuat dan karang ini juga tahan terhadap gelombang. Gambar 19 merupakan gambar kondisi terumbu karang pada stasiun 1 zona pariwisata pada kedalaman 5 meter.
   
     
(a)                                                       (b)
Gambar 10. Kondisi Terumbu Karang pada Stasiun 1 Zona Pariwisata dengan Kedalaman 5 meter (foto:doc.BTNW 2010)
Keterangan: (a) Karang massive, Jenis Karang yang banyak di temukan
                     (b) Kondisi Karang pada Stasiun 1

Persentase tutupan karang mati memiliki persentase sebesar 10,00 % terdiri dari DC yang menandakan bahwa di stasiun ini sudah mendapatkan tekanan yang cukup lama dan cukup keras nya arus dan gelombang pada stasiun satu zona pariwisata. Adanya persentase tutupan karang mati pada kedalaman 5 meter dikarenakan pada sekitar stasiun ini sering digunakan sebagai tujuan wisata snorkeling oleh para wisatawan sehingga banyak karang yang patah akibat terinjak oleh wisatawan, dan staiun pengamatan ini merupakan jalur perjalanan kapal – kapal penyebrangan (Suharsono,1998). Jenis algae yang ditemukan pada Stasiun 1 pada kedalaman 5 meter adalah jenis Marco algae sebesar (1,17%), Turf algae (1,73%), Coraline algae sebesar (0,33%), Algal Asamblage sebesar (1,25%). Persentase abiotik di stasiun ini sangat didominansi jenis Rubble (21.15 %) yang disebabkan oleh aktifitas pariwisata yang tinggi dan jalur lintas kapal.
 
Gambar 11. Tutupan Karang stasiun 1 Zona Pariwisata di kedalaman 5 meter


            Pada stasiun 1 kedalaman 5 meter terdpat 11 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu Acropora Branching (ACB) 6,18%, Acropora Encrusting (ACE) 2,90%, Acropora Submassive (ACS) 2,58%, Acropora Digitate (ACD) 4,23%, Acropora Tabulate (ACT) 1,83%, Coral Encrusting (CE) 3,15%, Coral Branching (CB) 2,73%, Coral Foliose (CF) 2,58%, Coral Massive (CM) 15,00%, Coral Submassive (CS) 2,18%, Coral Mussrom (CMR) 2,10%.
 
Gambar 12 . Diagram karang batu yang ditemukan di Stasiun 1 kedalaman 5 meter
5.1.2 Kedalaman 10 meter
            Persentase tutupan karang hidup pada Stasiun 1 Zona Pariwisata pada kedalaman 10 meter adalah sebesar 60,53%, nilai tersebut termasuk dalam kategori baik dan memiliki persentase karang mati sebesar 12,47% . Hal ini berbeda dengan kondisi karang hidup yang terdapat di kedalaman 5 meter dengan persentase  56,13% dan persentase karang mati sebesar 10,00%. Terlihat bahwa pada Stasiun 1, kedalaman 5 meter mendapatkan tekanan yang lebih besar dari lingkungan dibandingkan dengan kedalaman 10 meter ( Gambar 12). Hal tersebut diduga dikarenakan pada Stasiun 1 kedalaman 5 meter sering dijadikan tujuan wisata seperti snorkeling dan diving. Biasanya wisatawan yang datang merupakan wisatawan yang baru mengenal ekosistem laut sehingga seringkali mereka menginjak karang atau mematahkan karang. Persentase karang batu didominasi oleh jenis Coral massive sebesar 8,75%, hal ini menandakan bahwa pada Stasiun 1 Zona Pariwiwsata pada kedalaman 10 meter memiliki arus yang cukup kuat tetapi karang jenis ini dapat tumbuh dengan baik. Karang jenis massive merupakan jenis karang yang tahan terhadap gelombang dan arus yang kuat pada perairan (Rahman, 2007). Persentase algae yang ditemukan pada stasiun ini sebesar 6,45% yang terdiri dari jenis Coraline algae sebesar (1,22%), Halimeda sebesar (1,67%), Algal asamblage sebesar (0,67%), Others sebesar 0,50% dan abiotik yang didominasi oleh sebesar patahan karang sebesar  (13,33%), karena stasiun ini merupakan jalur lintas kapal dan banyak aktifitas buang jangkar bagi pengguna kapal yang mengantar wisatawan diving maupun snorkling.  
Gambar 13. Persentase Tutupan Karang pada Stasiun 1 pada Kedalaman 10 meter

            Pada stasiun 1 kedalaman 10 meter terdpat 11 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu Acropora Branching (ACB) 5,13%, Acropora Encrusting (ACE) 2,93%, Acropora Submassive (ACS) 1,52%, Acropora Digitate (ACD) 7,03%, Acropora Tabulate (ACT) 8,27%, Coral Encrusting (CE) 8,18%, Coral Branching (CB) 2,83%, Coral Foliose (CF) 2,90%, Coral Massive (CM) 8,75%, Coral Submassive (CS) 4,23%, Coral Mussrom (CMR) 2,58%.
 
Gambar 14. Diagram karang batu yang ditemukan di Stasiun 1 kedalaman 10 meter
5.2 Kondisi Karang Setasiun 2 Zona Pariwisata Sombano Chanel
5.2.1 Kedalaman 5 meter
         Persentase tutupan karang hidup pada Stasiun 2 Sombano chanel di kedalaman 5 meter adalah sebesar (69,72%) termasuk dalam ketegori baik, Stasiun ini memiliki persentase karang yang baik apabila dibandingkan dengan stasiun lainnya. Jenis karang hidup yang mendominasi Coral massive (CM) sebesar (16,53%), diduga bahwa habitat dari karang jenis Massive sama dengan stasiun sebelumnya jenis karang yang mendominasi pada Stasiun 2 di kedalaman 5 meter yaitu arus permukaan sebesar 0,34S m/s.
 
Gambar 15. Jenis karang massive yang dominan pada Stasiun 2 pada kedalaman 5 meter Zona Pariwisata (doc. Pribadi, 2012).

Persentase tutupan karang mati yang didapat pada stasiun ini adalah 6,987% yang merupakan persentase karang DC dan untuk abiotik didapatkan pecahan karang (R) sebesar 10,70%, hal tersebut diduga karena zona pariwisata chanel sudah sejak lama dijadikan tempat berlabuhnya speedboat atau kapal-kapal yang membawa turis-turis lokal maupun mancanegara dan menjatuhkan jangkarnya sekitar Stasiun 2 tersebut, dan stasiun ini juga tidak memiliki arus yang kuat.Di temukannya sisa – sisa alat tangkap bubu yang diletakkan oleh masyarakat suku Bajo di sekitar Stasiun 2. Hal ini juga mengakibatkan keruskan terumbu karang jenis karang meja (Acropora tabulate) dan jenis karang karang bercabang (Acropora branching) akibat dioperasikannya alat penangkap ikan yang tidak ramah lingkungan. Pengoperasian bubu yang sering dilakukan oleh Suku Bajo adalah dengan cara menanam dengan mulut bubu menghadap ke arah pulau kemudian menimbunnya dengan karang meja dan dibagian atasnya ditimbun karang bercabang. Patahan – patahan karang ini menutupi bubu sampai menutup bubu yang bertujuan untuk mengelabui ikan agar seolah-olah bubu tersebut adalah rumah mereka (terumbu karang). Alat tangkap ini menjadi alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, hal ini karena mengancam kelangsungan hidup terumbu karang terutama karang jenis branching yang sering dipatah-patahkan dan merusak ekosistem perairan di sekitar stasiun tersebut (Gambar 17 A).                
     
                     (A)                                                             (B)

Gambar 16.  A. Pengoperasian Alat Tangkap Bubu (doc. BTNW, 2006)
       B. Aktifitas Pengambilan Coral Massive untuk bahan bangunan.
Selain itu juga sering ditemukannya aktifitas pengambilan karang jenis massive di sekitar stasiun Zona Pariwisata Chanel ( Gambar 14 B). Kondisi ini menunjukkan bahwa pengelolaan terumbu karang di Kepulauan Wakatobi kurang baik, dan lemah dalam pengendalian hukum. Seperti diketahui bahwa peraturan yang berkenaan dengan pengelolaan terumbu karang sudah cukup banyak, akan tetapi masyarakat Suku Bajo cenderung kurang sadar akan pentingnya terumbu karang, terutama bagi kelangsungan Sumber Daya Alam khususnya terumbu karang. Namun demikian peraturan tersebut terkesan tumpang tindih, sebagai contoh di Kepulauan Wakatobi, Dinas Kehutanan (TNW) seperti Polisi Hutan turut mengemban tugas untuk mengawasi perairan laut yang bukan merupakan tugas mereka melainkan tugas Angkatan Laut, akibatnya di lapangan kerap terjadi pelanggaran, yaitu pelaku dilepaskan sebelum diproses hukum. Hal inilah yang menjadi salah satu kendala dalam penegakan hukum di Kepulauan Wakatobi.
Pertumbuhan algae yang tercatat di kawasan stasiun ini adalah 2,88% dan terdiri dari Makro algae (0,92%), Coraline algae (1,68%), Halimeda (1,97%), Turf algae (2,18%), Meskipun banyak pecahan karang tetapi pertumbuhan algae tidak terlalu baik, hal ini disebabkan karena pecahan karang hamper seluruhnya tertutup pasir. Algae memiliki kemampuan tumbuh secara cepat dan dapat berdampak negatif terhadap komunitas karang yang memiliki proses pertumbuhan yang lambat. Dikemukakan Bachtiar (2009), jika  pertumbuhan Makro algae tidak terkendali maka komunitas algae akan mendominasi terumbu karang.
Gambar 17. Persentase Tutupan Karang pada Stasiun 2 dengan di kedalaman 5 meter

Pada stasiun 2 kedalaman 5 meter terdpat 12 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu Acropora Branching (ACB) 6,68%, Acropora Encrusting (ACE) 1,83%, Acropora Submassive (ACS) 0,30%, Acropora Digitate (ACD) 3,85%, Acropora Tabulate (ACT) 3,50%, Coral Encrusting (CE) 2,55%, Coral Branching (CB) 5,52%, Coral Foliose (CF) 3,10%, Coral Massive (CM) 16,53%, Coral Submassive (CS) 7,92%, Coral Mussrom (CMR) 5,40%, Coral Meliopora (CME) 1,75%.
Gambar 18. Diagram karang batu yang ditemukan di Stasiun 2 kedalaman 5 meter
5.2.2 Kondisi Kedalaman 10 meter
            Persentase tutupan karang hidup pada Stasiun 2 di kedalaman 10 meter adalah 68,78% temasuk dengan kategori  baik dan didominasi oleh karang jenis massive. Persentase tutupan karang mati (DC) adalah 9,37%, sedangkan untuk kategori abiotik didapatkan persentase yang cukup besar yaitu sebesar 13,15% yang didominasi oleh pecahan karang sebesar 10,13% dan pasir sebesar 1,68%. Pada  Stasiun 2 di kedalaman 10 meter mengalami kerusakan yang tidak terlalu berat, dasar perairannya landai dan berpasir.
Banyaknya tingkat pecahan karang yang ditemukan akibat oleh aktifitas pengoperasian kapal dan speedboat yang mengantar wisatawan yang ingin snorkeling dan melakukan aktifitas diving/menyelam, juga aktifitas buang jangkar yang cenderung merusak karang di sekitar kapal.
Gambar 19. Kondisi Karang pada Stasiun 2 Kedalaman 10 meter (doc. BTNW, 2010)

Jenis karang batu yang mendominasi di Stasiun 2 pada kedalaman 10 meter adalah dari jenis branching dengan persentase 8,95%, encrusting dengan persentase 8,68% dan  massive dengan persentase 11,38%, karang jenis ini memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap lingkungan. Karang jenis massive cenderung memiliki kemampuan tumbuh yang baik pada daerah yang memiliki arus dan gelombang yang besar (Nybakken, 1988).
Sebaran algae di stasiun ini tercatat sebesar 1,20% dan didominasi oleh jenis Coraline algae 0,78%. Persentase Other atau habitat lain yang ditemukan pada sebesar 7,50% yang didominasi oleh jenis sponge 3,77%.
Gambar 20. Persentase Tutupan Karang Stasiun 2 pada kedalaman 10 meter

Pada stasiun 2 kedalaman 10 meter terdpat 11 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu Acropora Branching (ACB) 8,95%, Acropora Encrusting (ACE) 2,20%, Acropora Submassive (ACS) 5,40%, Acropora Digitate (ACD) 6,85%, Acropora Tabulate (ACT) 2,87%, Coral Encrusting (CE) 8,68%, Coral Branching (CB) 4,65%, Coral Foliose (CF) 4,07%, Coral Massive (CM) 11,38%, Coral Submassive (CS) 3,88%, Coral Mussrom (CMR) 4,62%.
Gambar 21. Diagram karang batu yang ditemukan di Stasiun 2 kedalaman 10 meter

5.3 Kondisi Karang Setasiun 3 Zona Pariwisata Mantigola
5.3.1 Kedalaman 5 meter
         Tutupan karang hidup pada stasiun ini adalah sebesar  60,63%, hal ini termasuk ketegori baik. Karang batu yang mendominasi Stasiun 3 di kedalaman 5 meter adalah jenis karang massive sebesar 14,63%. Karang jenis massive merupakan karang yang mudah beradaptasi terhadap kondisi lingkungan, sehingga karang ini merupakan jenis karang yang paling sering dijumpai dalam perairan laut.
Gambar 22. Jenis Karang Massive mendominasi pada Stasiun 3 kedalaman 5 meter (doc. BTNW, 2010)
Tutupan karang dead coral (DC) pada stasiun ini sebesar 11,50% yang didominasi oleh DC. Persentase abiotik didominasi oleh pecahan karang sebesar 12,25%, hal ini diduga karena stasiun ini berdekatan dengan wilayah pemukiman penduduk dan banyak aktifitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Meskipun stasiun pengamatan ini sudah dijadikan Zona Pariwisata akan tetapi masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat, seperti manambang karang hidup yang selanjutnya dijemur dipekarangan rumah mereka untuk dijadikan bahan bangunan. Persentase algae yang ditemukan pada stasiun ini adalah sebesar 4,98%, dan OTHER atau biota lain sebesar 3,95%.
Gambar 23. Persentase Tutupan Karang pada Stasiun 3 di Kedalaman 5 meter
           
Pada stasiun 3 kedalaman 5 meter terdpat 11 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu Acropora Branching (ACB) 10,92%, Acropora Encrusting (ACE) 4,52%, Acropora Submassive (ACS) 1,50%, Acropora Digitate (ACD) 3,98%, Acropora Tabulate (ACT) 2,97%, Coral Encrusting (CE) 2,83%, Coral Branching (CB) 3,23%, Coral Foliose (CF) 1,80%, Coral Massive (CM) 14,63%, Coral Submassive (CS) 0,78%, Coral Mussrom (CMR) 4,02%.
Gambar 24. Diagram karang batu yang ditemukan di Stasiun 3 kedalaman 5 meter
5.3.2 Kondisi Pada Kedalaman 10 meter
            Persentase tutupan karang hidup pada Stasiun 3 di kedalaman 10 meter adalah 66,90% yang termasuk dalam kategori baik.Tutupan karang batu yang mendominasi adalah jenis Coral Massive sebesar 10,03%, sedangkan karang Coral encrusting sebesar 9,17%, pada kedalaman 10 meter karang di dominasi oleh Dead coral sebesar 12,25%. Diduga karena masyarakat sering melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bius atau bom, dapat dilihat dari tingkat kerusakan yang ditimbulkan, yaitu banyaknya pecahan karang saat pengamatan. Tutupan Abiotik sebesar 14,73% yang terdiri dari pecahan karang sebesar 9,53% dan pasir 2,72%. Persentase karang mati dan abiotik tersebut menggambarkan bahwa stasiun ini sudah mengalami kerusakan yang diduga diakibatkan karena aktifitas penangkapan yang tidak ramah lingkungan dan kegiatan buang jangkar kapal,dan penangkapan.
            Persentase tutupan algae pada Stasiun 3 di kedalaman 10 meter adalah sebesar 1,17% yang terdiri dari coral algae dengan persentase 0,78% dan Algae asemblage dengan persentase 0,38%. Algae memiliki berbagai peranan sesuai dengan jenisnya, ada yang berperan sebagai penahan kecepatan gelombang sehingga kondisi perairan akan menjadi lebih tenang, penyumbang pasir yang ada di terumbu terutama di daerah gobah, dan ada beberapa jenis algae tertentu yang melubangi kerangka karang sehingga menyebabkan rusaknya struktur terumbu. Dan tentu saja mereka juga penting sebagai penghasil primer dalam sistem terumbu dan sebagai makanan bagi herbivora (Nybakken, 1988).
Gambar 25. Persentase Tutupan Karang pada Stasiun 3 di kedalaman 10 meter.


Pada stasiun 3 kedalaman 10 meter terdpat 11 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu Acropora Branching (ACB) 8,13%, Acropora Encrusting (ACE) 4,52%, Acropora Submassive (ACS) 2,38%, Acropora Digitate (ACD) 7,13%, Acropora Tabulate (ACT) 4,40%, Coral Encrusting (CE) 9,17%, Coral Branching (CB) 3,77%, Coral Foliose (CF) 3,67%, Coral Massive (CM) 10,03%, Coral Submassive (CS) 5,72%, Coral Mussrom (CMR) 2,52%.

Gambar 26. Diagram karang batu yang ditemukan di Stasiun 3 kedalaman 10 meter
5.4 Kondisi Karang pada Stasiun 4 Zona Perlindungan Bahari Utara Kaledupa
5.4.1 Kedalaman 5 meter
           Tutupan karang hidup pada Stasiun 4 di kedalaman 5 meter adalah sebesar 54,53% dan termasuk dalam kategori sedang. Karang yang mendominasi pada stasiun ini adalah karang jenis Acropora branching sebesar 6,05%, hal ini menandakan bahwa perairan ini memiliki arus tidak terlalu kuat sehingga karang jenis dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Gambar 27. Jenis Karang Acropora branching yang mendominasi Stasiun 4  kedalaman 5 meter ( Foto Istimewa )
Tutupan karang mati yang ditemukan pada stasiun ini cukup besar yaitu 18,13%, kondisi tinggi ini lebih nyata dibanding stasiun 1 dan stasiun lainya yang ber arus relatif kuat. Diketahui bahwa stasiun ini memiliki kondisi yang kurang baik, ini disebabkan stasiun pengamatan ini merupakan zona lintas kapal yang menuju ke Pulau Darawa dan Lintea, serta banyak ditemukannya bekas – bekas penangkapan yang menggunakan bius dan bahan peledak.
 Pada wilayah ini algae yang ditemukan tidak terlalu banyak yaitu sebesar 3,35% dan Other sebesar 4,18%, sedangkan tutupan abiotik yang ditemukan pada stasiun ini memiliki nilai sangat besar yaitu 19,60%.
      Gambar 28. Persentase Tutupan Karang pada Stasiun 4 di kedalaman   5 meter

Pada stasiun 4 kedalaman 5 meter terdpat 13 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu Acropora Branching (ACB) 6,05%, Acropora Encrusting (ACE) 1,65%, Acropora Submassive (ACS) 5,68%, Acropora Digitate (ACD) 3,72%, Acropora Tabulate (ACT) 1,97%, Coral Encrusting (CE) 3,35%, Coral Branching (CB) 5,03%, Coral Foliose (CF) 3,92%, Coral Massive (CM) 5,23%, Coral Submassive (CS) 3,78%, Coral Mussrom (CMR) 1,83%, Coral Meliopora (CME) 0,50%, Coral Heliopora (CHL) 0,50%.
Gambar 29. Diagram karang batu yang ditemukan di Stasiun 4 kedalaman 5 meter
5.4.2 Kondisi Kedalaman 10 meter
          Tutupan karang hidup pada Stasiun 4 di kedalaman 10 meter adalah 61,60% termasuk kategori baik. Persentase tutupan karang pada stasiun ini didominasi oleh jenis karang Acropora submassive sebesar 8,43%. Tutupan karang mati sebesar 13,67% dan didominasi oleh DC sebesar 13,23%, didapatkan pula persentase abiotik sebesar 16,63% yang didominasi pecahan karang sebesar 16,25%. Algae yang ditemukan adalah sebesar 3,73%, dan Other sebesar 4,80%.
           
Gambar 30. Persentase Tutupan Karang pada Stasiun 4 di kedalaman 10 meter


           Pada stasiun 4 kedalaman 10 meter terdpat 11 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu Acropora Branching (ACB) 2,87%, Acropora Encrusting (ACE) 0,98%, Acropora Submassive (ACS) 8,43%, Acropora Digitate (ACD) 4,48%, Acropora Tabulate (ACT) 5,75%, Coral Encrusting (CE) 4,20%, Coral Branching (CB) 3,42%, Coral Foliose (CF) 4,07%, Coral Massive (CM) 7,85%, Coral Submassive (CS) 4,12%, Coral Mussrom (CMR) 3,27%.

Gambar 31. Diagram karang batu yang ditemukan di Stasiun 4 kedalaman 10    meter
5.5 Kondisi Karang pada Stasiun 5 Zona Perlindungan Bahari Darawa
5.5.1 Kedalaman 5 meter
           Tutupan karang hidup pada stasiun 5 Zona Perlindungan Bahari Darawa adalah sebesar 56,43% yang dapat digolongkan dalam kategori baik berdasarkan kriteria (Gomez and Yap,1988 dalam Terangi,2009). Tingkat karang hidup di stasiun ini cukup baik, walaupun masih dijumpai masyarakat sekitar pulau Darawa melakukan penangkapan dengan menggunakan jaring dan  tersangkut di terumbu karang. Persentase karang yang tinggi adalah coral massive sebesar 8,77% dan Acropora submassive sebesar 7,43%, hal ini menandakan bahwa kondisi perairan pada stasiun ini memiliki arus yang cukup kuat. Hasil analisis persentase tutupan terumbu karang mati yaitu sebesar 8,42%  dan didominasi DC, komponen terumbu karang mati ini merupakan yang harus dipertimbangkan dalam ekosistem terumbu karang. Keberadaan substrat keras memperbesar peluang terumbu karang untuk tumbuh di suatu periaran, apabila syarat pertumbuhan karang terpenuhi ( Manuputty, 2000 dalam Rahman 2007). Persentasi Algae sebesar 5,85% yang terdiri dari Macro algae 2,58%, Turf algae 0,73%, Coraline algae 0,92%, Halimeda algae 1,20%, Algae asamblage 0,42%. Sedangkan tumbuhan lain atau Other 5,73%, sedangkan tutupan komponen Abiotik tercatat sebesar 23,57%, hal ini disebabkan besarnya aktifitas penangkapan yang dilakukan masyarakat Pulau Darawa dengan menggunakan alata tangkap tidak ramah lingkungan seperti bubu dan jaring.
Gambar 32. Persentase Tutupan Karang pada Stasiun 5 di kedalaman 5 meter

           Pada stasiun 5 kedalaman 5 meter terdpat 12 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu Acropora Branching (ACB) 4,12%, Acropora Encrusting (ACE) 2,30%, Acropora Submassive (ACS) 7,43%, Acropora Digitate (ACD) 3,85%, Acropora Tabulate (ACT) 4,27%, Coral Encrusting (CE) 2,95%, Coral Branching (CB) 2,62%, Coral Foliose (CF) 4,72%, Coral Massive (CM) 8,77%, Coral Submassive (CS) 1,60%, Coral Mussrom (CMR) 3,63%, Coral Heliopora (CHL) 1,35%.
Gambar 33. Diagram karang batu yang ditemukan di Stasiun 5 kedalaman 5 meter
5.5.2 Kondisi Kedalaman 10 meter
           Tutupan terumbu karang pada Stasiun 5 kedalaman 10 meter diketahui bahwa persentase karang hidup sebesar 61,57%, dan jenis karang yang banyak di jumpai yaitu jenis karang Acropora digitate 7,50% dan Coral encrusting 6,97%, Serta coral massive 6,97%, hal ini menandakan bahwa stasiun ini memiliki arus yg kuat dan di dominasi oleh kebanyakan karang batu. Persentase Algae sebesar 3,72% dan yang banyak ditemukan pada kedalaman ini yaitu Macro algae sebesar 2,30%, Turf algae 0,78%, Coraline algae 0,68%. Persentase bentik lain Other sebesar 4,93%, dan persentase Abiotik cukup tinggi yaitu sebesar 19,33% dan didominasi pecahan karan akibat aktifitas penangkapan dengan menggunakan bubu.
Gambar 34. Persentase Tutupan Karang pada Stasiun 5 di kedalaman 10 meter

           Pada stasiun 5 kedalaman 10 meter terdpat 12 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu Acropora Branching (ACB) 5,33%, Acropora Encrusting (ACE) 0,42%, Acropora Submassive (ACS) 4,45%, Acropora Digitate (ACD) 7,50%, Acropora Tabulate (ACT) 2,97%, Coral Encrusting (CE) 6,97%, Coral Branching (CB) 3,12%, Coral Foliose (CF) 3,75%, Coral Massive (CM) 6,97%, Coral Submassive (CS) 5,18%, Coral Mussrom (CMR) 2,28%, Coral Heliopora (CHL) 1,32%.
Gambar 35. Diagram karang batu yang ditemukan di Stasiun 5 kedalaman 10 meter.
5.6 Kondisi Karang pada Stasiun 6 Zona Perlindungan Bahari Lintea
5.6.1 Kedalaman 5 meter
           Persentase tutupan karang hidup Stasiun 6 di kedalaman 5 meter adalah 60,70 %. Nilai tutupan yang terdapat pada stasiun ini dapat digolongkan dalam kategori baik. Persentase tutupan karang hidup tersebut memiliki nilai terbesar untuk karang jenis massive sebesar 9,58 %. Dengan banyak nya jenis karang massive dan relatif dominan di stasiun ini, maka disimpulkan persentase di stasiun ini memiliki arus yang kuat.
            Tutupan karang mati ( DC)  memiliki persentase sebesar 12,87 % terdiri dari DC. Untuk jenis alagae yang ditemukan pada Stasiun 6 di kedalaman 5 meter adalah jenis macro algae sebesar 4,02 % dan coraline algae 0,93 %. Persentase abiotic didominasi oleh pecahan karang   ( Rubble) sebesar 12,73 %  dan untuk persentase biota lain ( Other ) sebesar 5,17 %.
Gambar 36. Persentase Tutupan Karang pada Stasiun 6 di kedalaman 5 meter.

           Pada stasiun 6 kedalaman 5 meter terdpat 10 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu Acropora Branching (ACB) 6,60%, Acropora Submassive (ACS) 7,03%, Acropora Digitate (ACD) 5,42%, Coral Encrusting (CE) 1,67%, Coral Branching (CB) 4,32%, Coral Foliose (CF) 3,17%, Coral Massive (CM) 9,58%, Coral Submassive (CS) 6,27%, Coral Mussrom (CMR) 3,20%, Coral meliopora (CME) 1,27%.
Gambar 37. Diagram karang batu yang ditemukan di Stasiun 6 kedalaman 5 meter

5.6.2 Kondisi Kedalaman 10 meter
           Tutupan karang hidup pada Stasiun 6 di kedalaman 10 meter adalah sebesar 64,52 %, nilai tersebut dalam kategori baik dan memilki persentase karang mati sebesar 11,42 %. Karang Batu ini didominasi oleh jenis massive yang merupakan jenis karang tahan terhadap gelombang dan arus yang kuat. Persentase algae yang ditemukan sebesar 4,97 % , algae yang mendominasi adalah Macro algae sebesar 3,92 % dan Halimeda algae 1,05 %, others sebesar 4,78 % dan abiotik yang didominasi oleh patahan karang sebesar 11,82 %.

Gambar 39. Persentase Tutupan Karang pada Stasiun 6 Kedalaman 10 meter

           Pada stasiun 6 kedalaman 10 meter terdpat 11 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu Acropora Branching (ACB) 7,47%, Acropora Encrusting (ACE) 4,40%, Acropora Submassive (ACS) 5,73%, Acropora Digitate (ACD) 3,02%, Acropora Tabulate (ACT) 0,67%, Coral Encrusting (CE) 7,63%, Coral Branching (CB) 1,40%, Coral Foliose (CF) 5,58%, Coral Massive (CM) 8,73%, Coral Submassive (CS) 6,25%, Coral Mussrom (CMR) 2,92%.
Gambar 40. Diagram karang batu di Stasiun 6 kedalaman 10 meter.

5.7 Perbandingan Persentase Tutupan Karang Hidup
5.7.1 Perbandingan Persentase Tutupan Karang Hidup 5 meter dan 10 meter
              Terumbu karang yang diamati pada keseluruhan stasiun digolongkan dalam tipe terumbu karang tepi (Freenging reef). Tipe terumbu karang ini dicirikan dengan kedalaman yang tidak lebih dari 40 meter dan berkembang sepanjaang pantai (Nontji, 1987).
              Dari hasil pengamatan yang dilakukan, terlihat bahwa persentase karang hidup secara keseluruhan kedalaman 5 meter adalah 59,72% kategori baik dengan nilai karang hidup tertinggi terletak di stasiun 2 ( Zona Pariwisata Sombano Chanell) sebesar 69,72% dan yang terendah di stasiun 4 (Zona Perlindungan Bahari) sebesar 54,13%. Persentase karang hidup pada stasiun 2 (Zona Pariwisata Chanell) tergolong bagus karena letak stasiun 2 yang jauh dari pemukiman penduduk sehingga tekanan ekologi seperti aktifitas penangkapan sedikit dan merupakan tempat bertemunya musim barat dan musim timur sehingga arus yang ada pada stasiun tersebut dapat dilkatakan kuat dan normal untuk transportasi makanan dan unsure hara untuk membantu pertumbuhan karang.

Gambar 41. Persentase tutupan karang hidup di kedalaman 5 meter
      Keterangan : Stasiun 1, 2, 3 Zona Pariwisata
                           Stasiun 4, 5, 6 Zona Perlindungan Bahari
Gambar 42. Persentase Perbandingan Karang Hidup di kedalaman 5 meter

               Dan untuk persentase karang hidup kedalaman 10 meter secara keseluruhan adalah 63,85% kategori baik dengan nilai karang hidup tertinggi terletak di Stasiun2 sebesar 68,78% dan nilai yang terrendah di Stasiun 1 sebesar 60,53% dari hasil yang tercatat diketahui bahwa stasiun 4 dan 5 (Zona Perlindungan Bahari) memilki  tutupan karang hidup dalam kategori sedang sebesar 61,60% dan 61,57%. Hal ini dapat dibuktikan oleh ditemukannya sisa – sisa penggunaan bom (sianida) yang pernah dilakukan oleh penduduk untuk pemenuhan kebutuhan ikan konsumsi ( Bryant, 1988).
Gambar 43. Persentase tutupan karang hidup di kedalaman 10 meter
      Keterangan : Stasiun 1, 2, 3 Zona Pariwisata
                           Stasiun 4, 5, 6 Zona Perlindungan Bahari
Gambar 44. Persentase Perbandingan Karang Hidup di kedalaman 10 meter.

5.7.2 Perbandinagan Persentase  Karang Mati
           Sedangkan untuk persentase karang mati yamg di temukan, nilai karang mati tertinggi terletak di Stasiun 4 ( Zona Perlindungan Utara Kaledupa) sebesar 15,68% dan yang terendah di Stasiun 2 (Sombano Chanell) sebesar 8,15%. Sebagian besar karang mati yang terdapat di perairan Zona Pariwisata dan Perlindungan  merupakan karang mati yang disebabkan oleh aktifitas manusia, hal ini karena sering ditemukannya sisa dari alat tangkap seperti bubu dan sisa dari bahan peledak atau bom (Sianida), dan penggunaan jaring ikan yang pengoperasiannya menggiring ikan sampai ke kantung besar dengan menginjak karang yang berada di dekatnya sehingga karang patah dan mati, dan stasiun 4 merupakan jalur transportasi kapal. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hermanlimianto & Budiyanto (1999) dan Knowlton (2001) dalam Anggara (2006), yang menyatakan bahwa aktifitas manusia seperti penangkapan ikan, pengambilan karang batu, pembuangan limbah rumah tangga dapat mengakibatkan kerusakan bagi terumbu karang di suatu daerah.
           Sebagian besar penduduk sekitar pulau Kaledupa merupakan nelayan dan memilki perahu sewaan untuk membawa wisatawan melakukan aktifitas snorkling/diving dengan menginjak karang, serta adanya aktifitas lempar jangkar, hal ini juga memberikan kontribusi cukup besar dalam kerusakan karang, koleksi biota laut jua berpengaruh terhadap rusaknya terumbu karang (DKP, 2006).
Gambar 45. Persentase tutupan karang Mati di kedalaman 5 meter
      Keterangan : Satsiun 1, 2, 3 Zona Pariwisata
                            Stasiun 4, 5, 6 Zona Perlindungan Bahari
Gambar 46. Persentase tutupan karang Mati di kedalaman 10 meter
      Keterangan : Satsiun 1, 2, 3 Zona Pariwisata
                            Stasiun 4, 5, 6 Zona Perlindungan Bahari.
      
Gambar 47. Persentase Perbandingan Karang Mati kedalaman 5 meter

Gambar 48. Persentase Perbandingan Karang Mati kedalaman 10 meter

5.7.3 Perbandingan Persentase Tutupan Benthic
           Secara umum persentase tutupan biota bentik lainya memilki nilai yang berbeda – beda, sesuai dengan keadaan dan kondisi lingkungan sekitarnya. Jumlah tutupan biota bentik lain di stasiun 5 kedalaman 5 meter menempati yang paling tinggi yaitu 5.74% dan terendah di Stasiun 1 sebesar 3.02% dan Stasiun 3 sebesar 3.95%, Sedangkan untuk stasiun 2, 4 dan 6 berturut – turut adalah 5,15%, 4,19% dan 5,16%.

Gambar 49. Persentase tutupan Benthic
      Keterangan : Satsiun 1, 2, 3 Zona Pariwisata
                            Stasiun 4, 5, 6 Zona Perlindungan Bahari

Gambar 50. Persentase Perbandingan Benthic kedalaman 5 meter
Gamba 51. Persentase Perbandingan Benthic kedalaman 10 meter

5.7.4 Perbandingan Persentase Tutupan Abiotik
           Persentase tutupan komponen abiotik tertinggi terletak di stasiun 1 dan stasiun 5 yitu sebesar 26.36% dan 21.10% dikedalaman 5 meter dan didominasi oleh patahan karang (Rubble). Hal ini dikarenakan Stasiun 1dan 5 merupakan jalur lintas dan pernahnya ditemukan sisa dari bahan peledak (Sianida) di Stasiun 5 yang menyebabkan karang patah dan hancur. Stasiun 2 (15,27%), Stasiun 3 (18,94%), Stasiun 4 (19.60%) dan Stasiun 6 ( 16,31%).
           Persentase tutupan komponen abiotik tertinggi pada kedalaman 10 meter terletak di Stasiun 1 sebesar (21.10%) dan Stasiun 5 sebesar (19.34%) dari hasil yang tercatat dapat di simpulkan bahwa dua Stasiun tersebut pada kedalaman 10 meter sering di lakukan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, hal ini diperjelas pernah ditemukannya alat tangkap bubu dan botol – botol plastik dari penggunaan bahan peledak (Sianida). 
       Gambar 52. Persentase tutupan Abiotik
Gambar 53. Persentase Perbandingan Abiotik kedalaman 5 meter
Gambar 54. Persentase Perbandingan Abiotik kedalaman 10 meter.
5.8 Perbandingan Zona Pariwisata dan Zona Perlindungan Keseluruhan
5.8.1 Perbandingan Karang Hidup dan Karang Mati
Gambar 55. Perbandingan tutupan karang hidup dan karang mati keseluruhan

Untuk persentase tutupan karang hidup Zona Pariwisata, seluruh kedalaman dan seluruh stasiun adalah sebesar 63,65% dan masih digolongkan dalam kondisi baik, hal ini dikarenakan pada zona pariwisata tidak diizinkan untuk melakukan kegiatan penagkapan serta memiliki arus yang cukup kuat yaitu berkisar 0,28 m/s – 0,34 m/s sehingga karang hidup di Zona Pariwisata dapat berkembang lebih baik, walaupun terkadang ditemukan nya nelayan yang nakal, melakukan kegiatan penangkapan di Zona Pariwisata, sedangkan pada Zona Perlindungan persentase tutupan karang hidup sebesar 59,93% dan masih digolongkan pada kondisi baik, hal ini karena sering ditemukannya kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan sekitar pulau ataupun dari luar pulau Kaledupa, dan pada Zona Perlindungan merupakan jalur lintas transportasi laut yang sering dilewati oleh kapal – kapal yang membawa penumpang dan arus perairan pada seluruh Zona Perlindungan sama dengan Zona Pariwisata berkisar 0,28 m/s - 0,34 m/s.  
Tutupan karang mati pada Zona Perlindungan lebih tinggi dibandingkan dengan Zona Pariwisata yaitu sebesar 12,42% hal ini diduga akibat banyaknya nelayan yang melakukan penangkapan yang berasal dari luar Pulau Kaledupa, dan merupakan jalur transportasi laut antar Pulau.
5.9 Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominasi
5.9.1 Nilai Indeks kedalaman 5 meter
     Nilai keanekaragaman (H’) tutupan karang di kedalaman 5 meter berkisar antara 3,17 – 3,50 dan memiliki populasi yang tinggi, terjadi keseimbangan ekosistem, karena keanekaragaman yang tinggi sehingga keseragaman rendah yaitu 0,89 – 0,95. Indeks Dominansi di kedalaman 5 meter adalah berkisar antara 0,10 - 0,10, dapat dilihat bahwa indeks Dominansi ( C ) mendekati nol yang berarti bahwa di dalam struktur komunitas biota yang diamati tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominasi spesies lainya.

      Gambar 56 .Grafik Nilai Indeks tutupan karang di kedalaman 5 meter.

5.9.2 Nilai Indeks di kedalaman 10 meter
                   Kondisi tutupan karang di kedalaman 10 meter di seluruh Zona Pariwisata dan Zona Perlindungan Bahari dapat ditentukan dari nilai Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman ( E ) dan dominansi ( C ) dimana nilai Indeks Keanekaragaman berkisar antara 3,38 – 3,47 dan memilki populasi yang tinggi, sehingga terjadi keseimbangan ekosistem, dan keseragaman rendah yaitu berkisar antara 0,93 – 0,97. Indeks Dominansi ( C ) di kedalaman 10 meter berkisar antara 0,10 – 0,11. Terlihat bahwa Indeks Dominansi mendekati nol yang berarti struktur komunitas biota yang diamati tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominansi biota lainya sesuai dengan pernyataan (Odum,1996).
      Gambar 54 .Grafik Nilai Indeks tutupan karang di kedalaman 10 meter

5.10 Parameter Pembatas
      Terumbu karang di Wakatobi bertipe karang tepi (fringing reef), karang gosong, patch reef dan atol. Rataan terumbu mempunyai lebar yang bervariasi antara 50 meter hingga 1,5 km untuk terumbu karang tepi. Rataan terumbu membentuk parit- parit dan kumpulan karang di tepi tubir. Kondisi tubir hampir semuanya dengan reef slope yang curam. Karang yang hidup di Wakatobi mencapai kedalaman lebih dari 20 meter.
      Pulau Kaledupa dikelilingi oleh rataan terumbu yang di dalamnya terdapat beberapa pulau antara lain Pulau Kaledupa, Pulau Lintea, Darawa dan Pulau Hoga. Mempunyai panjang lebih kurang 22,92 km dan lebar 7,31 km, dengan rataan terumbu agak landai sampai kedalaman 5 meter dan melebar ke arah timur dan utara. Pantai pasir putih dilanjutkan rataan terumbu yang lebar dengan dasar berupa karang mati dan pasir lumpuran. Di Pulau Kaledupa terdapat Marine Research Station. Di sebelah selatan perairan Pulau Kaledupa oleh Taman Nasional Wakatobi ditetapkan sebagai daerah perlindungan  (no fishing zone) (COREMAP, 2001).Koordinat posisi pengambilan data di Zona Pariwisata dan Zona Perlindungan Bahari disajikan pada Tabel  2.
Tabel 2.  Koordinat Stasiun Pengamatan
No
Nama Lokasi
Posisi Penyelaman
Zona
1
Tanjung Sombano
 05° 28' 12" LS
 123° 40' 46" BT
Pariwisata
2
Sombano Chanell
 05° 27' 46" LS
 123° 41' 3" BT
Pariwisata
3
Mantigola
 05° 30' 40" LS
 123° 43' 6" BT
Pariwisata
4
Z.P.B utara kaledupa
 05° 29' 56" LS
 123° 49' 28" BT
Perlindungan Bahari
5
Darawa
 05° 31' 5" LS
 123° 53' 19" BT
Perlindungan Bahari
6
Lintea
 05° 35' 34" LS
 123° 50' 49" BT
Perlindungan Bahari

Tabel 3. Parameter Pembatas Terumbu Karang Pada Kedalaman 5 dan 10 meter
No
STASIUN
SALINITAS
(%0)
SUHU
(°C)
KECERAHAN
(m)
ARUS
(m/s)
1
I
33
29
10
0,34
2
II
33
29
10
0,34
3
III
34
30
10
0,28
4
IV
33
29
8
0,34
5
V
34
30
8
0,33
6
VI
33
30
10
0,28

Keterangan:
            1. Stasiun 1 ( Pariwisata Sombano )
            2. Stasiun 2 ( Pariwisata Sombano Chanell )
            3. Stasiun 3 ( Pariwisata Mantigola )
            4. Stasiun 4 ( Perlindungan Utara Kaledupa )
            5. Stasiun 5 ( Perlindungan Darawa )
            6. Stasiun 6 ( Perlindungan Lintea )

Suhu di setiap stasiun memiliki kisaran suhu antara 29,0°C – 30,0°C. Pada saat pengamatan sedang berlangsung musim barat yang umumnya suhu berkisar 29,0°C - 32°C (Sukarno et al,1983).
Kisaran suhu yang terdapat pada Zona Pariwisata dan Kawasan Zona Perlindungan Bahari tercatat masih dalam kisaran hidup terumbu karang seperti yang diutarakan oleh Supriharyono (2007), bahwa dalam kehidupan terumbu karang memiliki suhu kisaran untuk hidup antara 25,0°C – 29,0°C. (Menurut Kinsman,1964 dalam Supriharyono, 2000) pada suhu di bawah 18,0 °C, dapat menghambat pertumbuhan karang bahkan  mengakibatkan  kematian. Lebih lanjut lagi dikatakan suhu di atas 33,0oC dapat menyebabkan gejala pemutihan (bleaching), yaitu keluarnya zooxanthellae dari polip karang dan akibat selanjutnya dapat mematikan karang tersebut.
Suhu merupakan faktor pembatas yang akan memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan karang sehingga juga akan berdampak pada kehidupan hewan lain yang ikut berasosiasi bersama ekosistem terumbu karang. Tak hanya suhu, parameter lainnya seperti salinitas, kecerahan serta arus juga merupakan bagian penting dalam menunjang kehidupan terumbu karang. Salinitas yang terdapat di zona – zona tersebut memiliki kisaran yang sama, baik pada Stasiun 1 hingga Stasiun 6 memiliki nilai salinitas 33,0 - 34,0‰, dan nilai tersebut masih sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan karang. Rohmimohtarto dan  Juwana (2007) menyatakan bahwa salinitas air yang berada dibawah 35,0 akan menjadi lingkungan yang baik bagi terumbu karang.
Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor penting bagi pertumbuhan karang, kecerahan di daerah pengamatan memiliki nilai kecerahan hingga dasar perairan. Penyinaran yang baik ini tentu akan sangat mempengaruhi kehidupan karang karena proses fotosintesa dapat berjalan dengan baik, seperti yang dinyatakan Rohmimohtarto dan Juwana (2007). Cahaya diperlukan untuk fotosintesis zooxanthellae yang produk atau hasilnya kemudian disumbangkan kepada hewan karang yang menjadi inangnya (Nontji, 2005).
Pada saat pengamatan di Zona Pariwisata dan Zona Perlindungan bahari sedang berlangsung Musim Barat dan  yang ditandai oleh angin yang biasanya bertiup di pagi hari dan malam hari dengan kecepatan tinggi (badai angin), sehingga menyebabkan gelombang air laut yang besar (ketinggian gelombang 1 – 1,5 meter). Hal tersebut diduga mempengaruhi kecepatan arus di daerah pengamatan yang memiliki kisaran 0,28 - 0,34 m/, arus atau gelombang penting untuk transpotasi unsur hara, larva, bahan sedimen dan oksigen. Selain itu arus atau gelombang dapat membersihkan polip karang dari kotoran yang menempel, itulah sebabnya karang yang hidup di daerah berombak atau berarus kuat lebih berkembang dibanding daerah yang tenang dan terlindung (DKP, 2006).

5.11 Upaya Pengelolaan
            Melihat permasalahan yang ada di perairan Kepulauan Wakatobi, maka upaya penyelamatan terumbu karang bukanlah perkara mudah. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak seperti Pemerintah Daerah, Dinas Perikanan, Taman Nasional Wakatobi bahkan masyarakat setempat khususnya di Pulau Kaledupa, seperti meningkatkan kesadaran masyarakat dengan penyuluhan-penyuluhan tentang terumbu karang dan membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pembentukan LSM ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia melalui pelatihan yang berkaitan dengan pengelolaan dan teknik rehabilitasi terumbu karang dan juga berfungsi untuk memperkuat koordinasi antar instansi yang berperan dalam penanganan terumbu karang baik pengelola kawasan, aparat keamanan, pemanfaat sumberdaya dan pemerhati lingkungan.
            Dengan pengembangan kelembagaan ini maka diharapkan pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat akan memberikan manfaat yaitu dapat meningkatkan peran serta masyarakat sebagai pemanfaat terumbu karang dan mempertinggi rasa tanggung jawab masyarakat sehingga lebih aktif berperan serta melestarikan sumberdaya terumbu karang.
Pernyataan  tersebut didukung oleh Supriharyono dalam Ikawati (2001) yaitu langkah implementasi pengelolaan terumbu karang meliputi 3 hal, yaitu:
1.                  Pengaturan kelembagaan dan organisasi untuk mempermudah pelaksanaan pengelolaan.
2.                  Memerlukan intervensi masyarakat secara langsung dalam mengubah tingkah laku yang terjadi pada anggota masyarakat, termasuk instrumen kebijakan.
3.                  Keikutsertaan pemerintah atau pengusaha secara langsung.
Lembaga-lembaga swadaya masyarakat di Pulau Kaledupa dan Hoga, yang turut membantu dalam upaya pengelolaan terdiri dari:
1.      Kepemudaan Pencinta Alam Laut, yang bergerak dalam upaya Pengawasan Pemanfaatan terumbu Karang.
  1. Intensi WWF yang bergerak dalam upaya pengelolaan dan pengawasan pemanfaatan terumbu karang di sekitar pulau Kaledupa dan Hoga.
  2. Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Indonesian Coral Reef Foundation) yang merupakan organisasi yang bergerak dalam upaya pelestarian dan pengelolaan terumbu karang serta biota laut yang ada didalamnya sehingga dapat berkelanjutan.
  1. Coremap dan LIPI yang bertujuan untuk menyelamatkan dan memanfaatkan sumberdaya terumbu karang secara lestari dan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat dengan cara meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk membantu pengelolaan terumbu karang.

Selain lembaga tersebut yang rutin melakukan program-program pengelolaan terumbu karang adalah pihak Taman Nasional Wakatobi ( BTNW ) khusus nya wilayah II yang sering melakukan Patroli rutin 2 kali dalam seminggu yang bertujuan menghindari kecurangan-kecurangan nelayan yang menangkap ikan di tempat yang dilarang untuk menangkap di sekitar pulu Kaledupa dan Hoga. Selain itu juga pihak Taman Nasional juga melakukan Penataan zonasi juga merupakan penataan ruang pada setiap kawasan taman nasional dimana penerapan dan penegakan hukum dilaksanakan secara tegas dan pasti.
Sebagai konsekuensi dari sistem zonasi tersebut, maka setiap perlakuan atau kegiatan terhadap kawasan taman nasional, baik untuk kepentingan pengelolaan dan pemanfataan, harus mencerminkan pada aturan yang berlaku pada setiap zona dimana kegiatan tersebut dilakukan. Dengan demikian keberadaan zonasi dalam sistem pengelolaan taman nasional menjadi sangat penting, tidak saja sebagai acuan dalam menentukan gerak langkah pengelolaan dan pengembangan konservasi di taman nasional, tetapi sekaligus merupakan sistem perlindungan yang akan mengendalikan aktivitas di dalam dan disekitanya.
Balai Taman Nasional Wakatobi (BTNW) dalam pengelolaan dikelola dengan sistem zonasi  untuk menjaga kawasan dan potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Guna memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari. Sehingga dapat dimanfaatkan dengan tujuan penelitian, pariwisata serta pengelolaan sumber daya alam yang terkontrol dengan baik.
Penataan zonasi juga merupakan penataan ruang pada setiap kawasan taman nasional dimana penerapan dan penegakan hukum dilaksanakan secara tegas dan pasti. Sebagai konsekuensi dari sistem zonasi tersebut, maka setiap perlakuan atau kegiatan terhadap kawasan taman nasional, baik untuk kepentingan pengelolaan dan pemanfataan, harus mencerminkan pada aturan yang berlaku pada setiap zona dimana kegiatan tersebut dilakukan. Dengan demikian keberadaan zonasi dalam sistem pengelolaan taman nasional menjadi sangat penting, tidak saja sebagai acuan dalam menentukan gerak langkah pengelolaan dan pengembangan konservasi di taman nasional, tetapi sekaligus merupakan sistem perlindungan yang akan mengendalikan aktivitas di dalam dan disekitanya.
5.11.1 Pemasangan Marka
                    Kegiatan pemasangan pembatas zonasi (marka) sebelumnya sudah mendapat persetujuan dari pihak pemerintah, masyarakat dan balai taman nasional wakatobi sendiri, pemasangan marka ini dilakukan satu tahun sekali, agar masyarakat dapat mengetahui batas –batas yang boleh dimanfaatkan dan tidak boleh dimanfaatkan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan ataupun kegiatan lainya yang dapat merusak terumbu karang serta ekositem itu sendari sehingga dapat bermanfaat dan berkelanjutan.
5.11.2 Kegiatan Penjagaan
                 Untuk menjaga daerah zona pariwisata dan zona perlindungan bahari di pulau kaledupa polisi Kehutanan (polhut) dan polisi air (polairut) setempat bekerjasama dalam menjaga batas – batas zonasi sehingga kegiatan penagkapan dilakukan pada zona yang telah ditentukan atau ditetapkan oleh TNW (Taman Nasional Wakatobi).
                       Kegiatan penjagaan dilakukan setiap hari yang bertempat di pulau Kaledupa dengan melakukan kegiatan penjagaan terhadap para wisatawan lokal maupun mancanegara serta masyarakat lokal yang sedang melakukan kegiatan penagkapan yang tidak sesuai pada zona tertentu.



No comments:

Post a Comment