BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Karang
Stasiun 1 Zona Pariwisata Tanjung Sombano
5.1.1
Kedalaman 5 meter
Persentase tutupan karang hidup pada
Stasiun 1 kedalaman 5 meter pada zona pariwisata adalah 56,13%. Nilai tutupan
yang terdapat pada stasiun ini dapat digolongkan dalam kategori bagus atau baik,
berdasarkan kriteria (Gomez and Yap,
1988 dalam Terangi, 2009). Persentase
tersebut terdiri dari persentase Hard Coral (HC) dan Soft Coral (SC) sementara
persentase tutupan karang mati (DC) memiliki nilai pesentase 10,00% ini
menandakan bahwa stasiun ini memiliki arus yang sangat kuat, dan Algae (4,48%),
Other (3,02%) dan abiotik (26,37%).
Tutupan karang hidup terbesar didapati
pada karang jenis coral massive dengan persentase sebesar
15,00%. Dengan ditemukannya jenis karang massive sebagai jenis karang
dominan di stasiun ini maka dapat diketahui bahwa pada Stasiun 1 dengan kedalaman
5 meter memiliki arus yang cukup kuat, hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Supriharyono (2000) bahwa Coral massive (CM) hidup pada perairan yang
arusnya kuat dan karang ini juga tahan terhadap gelombang. Gambar 19 merupakan
gambar kondisi terumbu karang pada stasiun 1 zona pariwisata pada kedalaman 5
meter.
(a)
(b)
Gambar 10. Kondisi
Terumbu Karang pada Stasiun 1 Zona Pariwisata dengan Kedalaman 5 meter
(foto:doc.BTNW 2010)
Keterangan: (a) Karang
massive, Jenis Karang yang banyak di temukan
(b) Kondisi Karang pada
Stasiun 1
Persentase
tutupan karang mati memiliki persentase sebesar 10,00 % terdiri dari DC yang
menandakan bahwa di stasiun ini sudah mendapatkan tekanan yang cukup lama dan
cukup keras nya arus dan gelombang pada stasiun satu zona pariwisata. Adanya persentase tutupan karang mati pada kedalaman 5
meter dikarenakan pada sekitar stasiun ini sering digunakan sebagai tujuan
wisata snorkeling oleh para wisatawan sehingga banyak karang yang patah akibat
terinjak oleh wisatawan, dan staiun pengamatan ini merupakan jalur perjalanan
kapal – kapal penyebrangan (Suharsono,1998). Jenis algae yang ditemukan
pada Stasiun 1 pada kedalaman 5 meter adalah jenis Marco algae sebesar
(1,17%), Turf algae (1,73%), Coraline
algae sebesar (0,33%), Algal Asamblage sebesar (1,25%). Persentase abiotik
di stasiun ini sangat didominansi jenis Rubble
(21.15 %) yang disebabkan oleh aktifitas pariwisata yang tinggi dan jalur
lintas kapal.
Gambar
11. Tutupan Karang stasiun 1 Zona Pariwisata di kedalaman 5 meter
Pada
stasiun 1 kedalaman 5 meter terdpat 11 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu
Acropora Branching (ACB) 6,18%, Acropora Encrusting (ACE) 2,90%, Acropora Submassive (ACS) 2,58%, Acropora Digitate (ACD) 4,23%, Acropora Tabulate (ACT) 1,83%, Coral Encrusting (CE) 3,15%, Coral Branching (CB) 2,73%, Coral Foliose (CF) 2,58%, Coral Massive (CM) 15,00%, Coral Submassive (CS) 2,18%, Coral Mussrom (CMR) 2,10%.
Gambar 12 . Diagram karang batu yang ditemukan di
Stasiun 1 kedalaman 5 meter
5.1.2
Kedalaman 10 meter
Persentase tutupan
karang hidup pada Stasiun 1 Zona Pariwisata pada kedalaman 10 meter adalah
sebesar 60,53%, nilai tersebut termasuk dalam kategori baik dan memiliki persentase
karang mati sebesar 12,47% . Hal ini berbeda dengan kondisi karang hidup yang
terdapat di kedalaman 5 meter dengan persentase
56,13% dan persentase karang mati sebesar 10,00%. Terlihat bahwa pada
Stasiun 1, kedalaman 5 meter mendapatkan tekanan yang lebih besar dari
lingkungan dibandingkan dengan kedalaman 10 meter ( Gambar 12). Hal tersebut
diduga dikarenakan pada Stasiun 1 kedalaman 5 meter sering dijadikan tujuan
wisata seperti snorkeling dan diving. Biasanya wisatawan yang datang merupakan
wisatawan yang baru mengenal ekosistem laut sehingga seringkali mereka menginjak
karang atau mematahkan karang. Persentase karang batu didominasi oleh jenis Coral
massive sebesar 8,75%, hal ini menandakan bahwa pada Stasiun 1 Zona Pariwiwsata
pada kedalaman 10 meter memiliki arus yang cukup kuat tetapi karang jenis ini
dapat tumbuh dengan baik. Karang jenis massive merupakan jenis karang
yang tahan terhadap gelombang dan arus yang kuat pada perairan (Rahman, 2007).
Persentase algae yang ditemukan pada stasiun ini sebesar 6,45% yang terdiri
dari jenis Coraline algae sebesar (1,22%), Halimeda sebesar
(1,67%), Algal asamblage sebesar (0,67%), Others sebesar 0,50% dan
abiotik yang didominasi oleh sebesar patahan karang sebesar (13,33%), karena stasiun ini merupakan jalur
lintas kapal dan banyak aktifitas buang jangkar bagi pengguna kapal yang
mengantar wisatawan diving maupun snorkling.
Gambar 13. Persentase Tutupan Karang pada Stasiun 1 pada Kedalaman 10 meter
Pada
stasiun 1 kedalaman 10 meter terdpat 11 jenis karang hidup ( karang keras)
yaitu Acropora Branching (ACB) 5,13%,
Acropora Encrusting (ACE) 2,93%, Acropora Submassive (ACS) 1,52%, Acropora Digitate (ACD) 7,03%, Acropora Tabulate (ACT) 8,27%, Coral Encrusting (CE) 8,18%, Coral Branching (CB) 2,83%, Coral Foliose (CF) 2,90%, Coral Massive (CM) 8,75%, Coral Submassive (CS) 4,23%, Coral Mussrom (CMR) 2,58%.
Gambar 14. Diagram karang batu yang ditemukan di
Stasiun 1 kedalaman 10 meter
5.2 Kondisi Karang
Setasiun 2 Zona Pariwisata Sombano Chanel
5.2.1 Kedalaman
5 meter
Persentase tutupan
karang hidup pada Stasiun 2 Sombano chanel di kedalaman 5 meter adalah sebesar (69,72%)
termasuk dalam ketegori baik, Stasiun ini memiliki persentase karang yang baik
apabila dibandingkan dengan stasiun lainnya. Jenis karang hidup yang mendominasi
Coral massive (CM) sebesar (16,53%),
diduga bahwa habitat dari karang jenis Massive sama dengan stasiun
sebelumnya jenis karang yang mendominasi pada Stasiun 2 di kedalaman 5 meter yaitu
arus permukaan sebesar 0,34S m/s.
Gambar 15. Jenis
karang massive yang dominan pada Stasiun 2 pada kedalaman 5 meter Zona Pariwisata
(doc. Pribadi, 2012).
Persentase
tutupan karang mati yang didapat pada stasiun ini adalah 6,987% yang merupakan
persentase karang DC dan untuk abiotik didapatkan pecahan karang (R) sebesar 10,70%,
hal tersebut diduga karena zona pariwisata chanel sudah sejak lama dijadikan
tempat berlabuhnya speedboat atau kapal-kapal yang membawa turis-turis lokal
maupun mancanegara dan menjatuhkan jangkarnya sekitar Stasiun 2 tersebut, dan
stasiun ini juga tidak memiliki arus yang kuat.Di temukannya sisa – sisa alat
tangkap bubu yang diletakkan oleh masyarakat suku Bajo di sekitar Stasiun 2.
Hal ini juga mengakibatkan keruskan terumbu karang jenis karang meja (Acropora
tabulate) dan jenis karang karang bercabang (Acropora branching)
akibat dioperasikannya alat penangkap ikan yang tidak
ramah lingkungan. Pengoperasian bubu yang sering dilakukan oleh Suku Bajo adalah
dengan cara menanam dengan mulut bubu menghadap ke arah pulau kemudian
menimbunnya dengan karang meja dan dibagian atasnya ditimbun karang bercabang.
Patahan – patahan karang ini menutupi bubu sampai menutup bubu yang bertujuan
untuk mengelabui ikan agar seolah-olah bubu tersebut adalah rumah mereka
(terumbu karang). Alat tangkap ini menjadi alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan, hal ini karena mengancam kelangsungan hidup terumbu karang terutama
karang jenis branching yang sering dipatah-patahkan dan merusak ekosistem
perairan di sekitar stasiun tersebut (Gambar 17 A).
(A) (B)
Gambar 16. A. Pengoperasian Alat Tangkap Bubu (doc.
BTNW, 2006)
B. Aktifitas Pengambilan Coral Massive untuk bahan bangunan.
Selain
itu juga sering ditemukannya aktifitas pengambilan karang jenis massive di
sekitar stasiun Zona Pariwisata Chanel ( Gambar 14 B). Kondisi ini menunjukkan
bahwa pengelolaan terumbu karang di Kepulauan Wakatobi kurang baik, dan lemah
dalam pengendalian hukum. Seperti diketahui bahwa peraturan yang berkenaan
dengan pengelolaan terumbu karang sudah cukup banyak, akan tetapi masyarakat
Suku Bajo cenderung kurang sadar akan pentingnya terumbu karang, terutama bagi
kelangsungan Sumber Daya Alam khususnya terumbu karang. Namun demikian
peraturan tersebut terkesan tumpang tindih, sebagai contoh di Kepulauan
Wakatobi, Dinas Kehutanan (TNW) seperti Polisi Hutan turut mengemban tugas
untuk mengawasi perairan laut yang bukan merupakan tugas mereka melainkan tugas
Angkatan Laut, akibatnya di lapangan kerap terjadi pelanggaran, yaitu pelaku
dilepaskan sebelum diproses hukum. Hal inilah yang menjadi salah satu kendala
dalam penegakan hukum di Kepulauan Wakatobi.
Pertumbuhan
algae yang tercatat di kawasan stasiun ini adalah 2,88% dan terdiri dari Makro
algae (0,92%), Coraline algae (1,68%), Halimeda (1,97%), Turf
algae (2,18%), Meskipun banyak pecahan karang tetapi pertumbuhan
algae tidak terlalu baik, hal ini disebabkan karena pecahan karang hamper
seluruhnya tertutup pasir. Algae memiliki kemampuan tumbuh secara cepat dan
dapat berdampak negatif terhadap komunitas karang yang memiliki proses
pertumbuhan yang lambat. Dikemukakan Bachtiar (2009), jika pertumbuhan Makro algae tidak
terkendali maka komunitas algae akan mendominasi terumbu karang.
Gambar 17. Persentase Tutupan
Karang pada Stasiun 2 dengan di kedalaman 5 meter
Pada
stasiun 2 kedalaman 5 meter terdpat 12 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu
Acropora Branching (ACB) 6,68%, Acropora Encrusting (ACE) 1,83%, Acropora Submassive (ACS) 0,30%, Acropora Digitate (ACD) 3,85%, Acropora Tabulate (ACT) 3,50%, Coral Encrusting (CE) 2,55%, Coral Branching (CB) 5,52%, Coral Foliose (CF) 3,10%, Coral Massive (CM) 16,53%, Coral Submassive (CS) 7,92%, Coral Mussrom (CMR) 5,40%, Coral Meliopora (CME) 1,75%.
Gambar
18. Diagram karang batu yang ditemukan di Stasiun 2 kedalaman 5 meter
5.2.2
Kondisi Kedalaman 10 meter
Persentase
tutupan karang hidup pada Stasiun 2 di kedalaman 10 meter adalah 68,78% temasuk
dengan kategori baik dan didominasi oleh
karang jenis massive. Persentase tutupan karang mati (DC) adalah 9,37%,
sedangkan untuk kategori abiotik didapatkan persentase yang cukup besar yaitu
sebesar 13,15% yang didominasi oleh pecahan karang sebesar 10,13% dan pasir
sebesar 1,68%. Pada Stasiun 2 di
kedalaman 10 meter mengalami kerusakan yang tidak terlalu berat, dasar perairannya
landai dan berpasir.
Banyaknya
tingkat pecahan karang yang ditemukan akibat oleh aktifitas pengoperasian kapal
dan speedboat yang mengantar wisatawan yang ingin snorkeling dan melakukan
aktifitas diving/menyelam, juga aktifitas buang jangkar yang cenderung merusak karang
di sekitar kapal.
Gambar 19. Kondisi Karang pada Stasiun 2 Kedalaman
10 meter (doc. BTNW, 2010)
Jenis
karang batu yang mendominasi di Stasiun 2 pada kedalaman 10 meter adalah dari
jenis branching dengan persentase 8,95%, encrusting dengan persentase 8,68% dan massive dengan persentase 11,38%,
karang jenis ini memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap lingkungan.
Karang jenis massive cenderung memiliki kemampuan tumbuh yang baik pada
daerah yang memiliki arus dan gelombang yang besar (Nybakken, 1988).
Sebaran
algae di stasiun ini tercatat sebesar 1,20% dan didominasi oleh jenis Coraline algae 0,78%. Persentase Other atau habitat lain yang ditemukan pada
sebesar 7,50% yang didominasi oleh jenis sponge
3,77%.
Gambar 20.
Persentase Tutupan Karang Stasiun 2 pada kedalaman 10 meter
Pada
stasiun 2 kedalaman 10 meter terdpat 11 jenis karang hidup ( karang keras)
yaitu Acropora Branching (ACB) 8,95%,
Acropora Encrusting (ACE) 2,20%, Acropora Submassive (ACS) 5,40%, Acropora Digitate (ACD) 6,85%, Acropora Tabulate (ACT) 2,87%, Coral Encrusting (CE) 8,68%, Coral Branching (CB) 4,65%, Coral Foliose (CF) 4,07%, Coral Massive (CM) 11,38%, Coral Submassive (CS) 3,88%, Coral Mussrom (CMR) 4,62%.
Gambar
21. Diagram karang batu yang ditemukan di Stasiun 2 kedalaman 10 meter
5.3 Kondisi Karang Setasiun 3 Zona Pariwisata Mantigola
5.3.1 Kedalaman 5 meter
Tutupan karang hidup pada stasiun ini adalah sebesar 60,63%, hal ini termasuk ketegori baik.
Karang batu yang mendominasi Stasiun 3 di kedalaman 5 meter adalah jenis karang
massive sebesar 14,63%. Karang jenis massive merupakan karang
yang mudah beradaptasi terhadap kondisi lingkungan, sehingga karang ini
merupakan jenis karang yang paling sering dijumpai dalam perairan laut.
Gambar 22. Jenis Karang Massive mendominasi pada Stasiun
3 kedalaman 5 meter (doc. BTNW, 2010)
Tutupan karang dead coral (DC) pada stasiun ini sebesar 11,50%
yang didominasi oleh DC. Persentase abiotik didominasi oleh pecahan karang
sebesar 12,25%, hal ini diduga karena stasiun ini berdekatan dengan wilayah
pemukiman penduduk dan banyak aktifitas penangkapan ikan yang tidak ramah
lingkungan. Meskipun stasiun pengamatan ini sudah dijadikan Zona Pariwisata akan
tetapi masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat, seperti
manambang karang hidup yang selanjutnya dijemur dipekarangan rumah mereka untuk
dijadikan bahan bangunan. Persentase algae yang ditemukan pada stasiun ini
adalah sebesar 4,98%, dan OTHER atau biota lain sebesar 3,95%.
Gambar 23. Persentase Tutupan
Karang pada Stasiun 3 di Kedalaman 5 meter
Pada
stasiun 3 kedalaman 5 meter terdpat 11 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu
Acropora Branching (ACB) 10,92%, Acropora Encrusting (ACE) 4,52%, Acropora Submassive (ACS) 1,50%, Acropora Digitate (ACD) 3,98%, Acropora Tabulate (ACT) 2,97%, Coral Encrusting (CE) 2,83%, Coral Branching (CB) 3,23%, Coral Foliose (CF) 1,80%, Coral Massive (CM) 14,63%, Coral Submassive (CS) 0,78%, Coral Mussrom (CMR) 4,02%.
Gambar
24. Diagram karang batu yang ditemukan di Stasiun 3 kedalaman 5 meter
5.3.2 Kondisi Pada Kedalaman 10 meter
Persentase
tutupan karang hidup pada Stasiun 3 di kedalaman 10 meter adalah 66,90% yang
termasuk dalam kategori baik.Tutupan karang batu yang mendominasi adalah jenis Coral
Massive sebesar 10,03%, sedangkan karang Coral encrusting sebesar 9,17%, pada kedalaman 10
meter karang di dominasi oleh Dead coral
sebesar 12,25%. Diduga karena masyarakat sering melakukan penangkapan ikan
dengan menggunakan bius atau bom, dapat dilihat dari tingkat kerusakan yang ditimbulkan,
yaitu banyaknya pecahan karang saat pengamatan. Tutupan Abiotik sebesar 14,73% yang terdiri dari
pecahan karang sebesar 9,53% dan pasir 2,72%. Persentase karang mati dan
abiotik tersebut menggambarkan bahwa stasiun ini sudah mengalami kerusakan yang
diduga diakibatkan karena aktifitas penangkapan yang tidak ramah lingkungan dan
kegiatan buang jangkar kapal,dan penangkapan.
Persentase
tutupan algae pada Stasiun 3 di kedalaman 10 meter adalah sebesar 1,17% yang
terdiri dari coral algae dengan persentase 0,78% dan Algae asemblage dengan
persentase 0,38%. Algae memiliki berbagai peranan sesuai dengan jenisnya, ada
yang berperan sebagai penahan kecepatan gelombang sehingga kondisi perairan
akan menjadi lebih tenang, penyumbang pasir yang ada di terumbu terutama di daerah
gobah, dan ada beberapa jenis algae tertentu yang melubangi kerangka karang
sehingga menyebabkan rusaknya struktur terumbu. Dan tentu saja mereka juga
penting sebagai penghasil primer dalam sistem terumbu dan sebagai makanan bagi
herbivora (Nybakken, 1988).
Gambar 25. Persentase Tutupan
Karang pada Stasiun 3 di kedalaman 10 meter.
Pada
stasiun 3 kedalaman 10 meter terdpat 11 jenis karang hidup ( karang keras)
yaitu Acropora Branching (ACB) 8,13%,
Acropora Encrusting (ACE) 4,52%, Acropora Submassive (ACS) 2,38%, Acropora Digitate (ACD) 7,13%, Acropora Tabulate (ACT) 4,40%, Coral Encrusting (CE) 9,17%, Coral Branching (CB) 3,77%, Coral Foliose (CF) 3,67%, Coral Massive (CM) 10,03%, Coral Submassive (CS) 5,72%, Coral Mussrom (CMR) 2,52%.
Gambar
26. Diagram karang batu yang ditemukan di Stasiun 3 kedalaman 10 meter
5.4 Kondisi Karang pada Stasiun 4 Zona Perlindungan Bahari Utara Kaledupa
5.4.1 Kedalaman 5 meter
Tutupan karang hidup pada Stasiun 4 di kedalaman 5 meter
adalah sebesar 54,53% dan termasuk dalam kategori sedang. Karang yang
mendominasi pada stasiun ini adalah karang jenis Acropora branching sebesar
6,05%, hal ini menandakan bahwa perairan ini memiliki arus tidak terlalu kuat sehingga
karang jenis dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Gambar 27. Jenis Karang Acropora
branching yang mendominasi
Stasiun 4 kedalaman 5 meter ( Foto
Istimewa )
Tutupan karang mati yang ditemukan pada stasiun ini cukup
besar yaitu 18,13%, kondisi tinggi ini lebih nyata dibanding stasiun 1 dan
stasiun lainya yang ber arus relatif kuat. Diketahui bahwa stasiun ini memiliki
kondisi yang kurang baik, ini disebabkan stasiun pengamatan ini merupakan zona
lintas kapal yang menuju ke Pulau Darawa dan Lintea, serta banyak ditemukannya
bekas – bekas penangkapan yang menggunakan bius dan bahan peledak.
Pada wilayah ini algae
yang ditemukan tidak terlalu banyak yaitu sebesar 3,35% dan Other sebesar 4,18%,
sedangkan tutupan abiotik yang ditemukan pada stasiun ini memiliki nilai sangat
besar yaitu 19,60%.
Gambar 28. Persentase Tutupan Karang pada
Stasiun 4 di kedalaman 5 meter
Pada
stasiun 4 kedalaman 5 meter terdpat 13 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu
Acropora Branching (ACB) 6,05%, Acropora Encrusting (ACE) 1,65%, Acropora Submassive (ACS) 5,68%, Acropora Digitate (ACD) 3,72%, Acropora Tabulate (ACT) 1,97%, Coral Encrusting (CE) 3,35%, Coral Branching (CB) 5,03%, Coral Foliose (CF) 3,92%, Coral Massive (CM) 5,23%, Coral Submassive (CS) 3,78%, Coral Mussrom (CMR) 1,83%, Coral Meliopora (CME) 0,50%, Coral Heliopora (CHL) 0,50%.
Gambar 29. Diagram karang batu yang ditemukan di
Stasiun 4 kedalaman 5 meter
5.4.2 Kondisi Kedalaman 10 meter
Tutupan
karang hidup pada Stasiun 4 di kedalaman 10 meter adalah 61,60% termasuk kategori
baik. Persentase tutupan karang pada stasiun ini didominasi oleh jenis karang Acropora
submassive sebesar 8,43%. Tutupan karang mati sebesar 13,67% dan didominasi
oleh DC sebesar 13,23%, didapatkan pula persentase abiotik sebesar 16,63% yang
didominasi pecahan karang sebesar 16,25%. Algae yang ditemukan adalah sebesar
3,73%, dan Other sebesar 4,80%.
Gambar 30. Persentase
Tutupan Karang pada Stasiun 4 di kedalaman 10 meter
Pada stasiun 4 kedalaman 10 meter
terdpat 11 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu Acropora Branching (ACB) 2,87%, Acropora
Encrusting (ACE) 0,98%, Acropora
Submassive (ACS) 8,43%, Acropora
Digitate (ACD) 4,48%, Acropora
Tabulate (ACT) 5,75%, Coral
Encrusting (CE) 4,20%, Coral Branching
(CB) 3,42%, Coral Foliose (CF) 4,07%,
Coral Massive (CM) 7,85%, Coral Submassive (CS) 4,12%, Coral Mussrom (CMR) 3,27%.
Gambar
31. Diagram karang batu yang ditemukan di Stasiun 4 kedalaman 10 meter
5.5 Kondisi Karang pada Stasiun 5 Zona Perlindungan Bahari Darawa
5.5.1 Kedalaman 5 meter
Tutupan karang hidup pada stasiun 5
Zona Perlindungan Bahari Darawa adalah sebesar 56,43% yang dapat digolongkan
dalam kategori baik berdasarkan kriteria (Gomez and Yap,1988 dalam
Terangi,2009). Tingkat karang hidup di stasiun ini cukup baik, walaupun masih
dijumpai masyarakat sekitar pulau Darawa melakukan penangkapan dengan
menggunakan jaring dan tersangkut di
terumbu karang. Persentase karang yang tinggi adalah coral massive sebesar 8,77% dan Acropora
submassive sebesar 7,43%, hal ini menandakan bahwa kondisi perairan pada
stasiun ini memiliki arus yang cukup kuat. Hasil analisis persentase tutupan
terumbu karang mati yaitu sebesar 8,42%
dan didominasi DC, komponen terumbu karang mati ini merupakan yang harus
dipertimbangkan dalam ekosistem terumbu karang. Keberadaan substrat keras
memperbesar peluang terumbu karang untuk tumbuh di suatu periaran, apabila syarat
pertumbuhan karang terpenuhi ( Manuputty, 2000 dalam Rahman 2007). Persentasi Algae sebesar 5,85% yang terdiri
dari Macro algae 2,58%, Turf algae 0,73%, Coraline algae 0,92%,
Halimeda algae 1,20%, Algae asamblage
0,42%. Sedangkan tumbuhan lain atau Other 5,73%, sedangkan tutupan komponen
Abiotik tercatat sebesar 23,57%, hal ini disebabkan besarnya aktifitas penangkapan
yang dilakukan masyarakat Pulau Darawa dengan menggunakan alata tangkap tidak
ramah lingkungan seperti bubu dan jaring.
Gambar 32. Persentase Tutupan Karang pada Stasiun 5 di kedalaman
5 meter
Pada stasiun 5 kedalaman 5 meter
terdpat 12 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu Acropora Branching (ACB) 4,12%, Acropora
Encrusting (ACE) 2,30%, Acropora
Submassive (ACS) 7,43%, Acropora
Digitate (ACD) 3,85%, Acropora
Tabulate (ACT) 4,27%, Coral
Encrusting (CE) 2,95%, Coral
Branching (CB) 2,62%, Coral Foliose
(CF) 4,72%, Coral Massive (CM) 8,77%,
Coral Submassive (CS) 1,60%, Coral Mussrom (CMR) 3,63%, Coral Heliopora (CHL) 1,35%.
Gambar
33. Diagram karang batu yang ditemukan di Stasiun 5 kedalaman 5 meter
5.5.2 Kondisi Kedalaman 10 meter
Tutupan terumbu karang pada Stasiun
5 kedalaman 10 meter diketahui bahwa persentase karang hidup sebesar 61,57%,
dan jenis karang yang banyak di jumpai yaitu jenis karang Acropora digitate 7,50% dan Coral
encrusting 6,97%, Serta coral massive
6,97%, hal ini menandakan bahwa stasiun ini memiliki arus yg kuat dan di dominasi
oleh kebanyakan karang batu. Persentase Algae
sebesar 3,72% dan yang banyak ditemukan pada kedalaman ini yaitu Macro algae sebesar 2,30%, Turf algae 0,78%, Coraline algae 0,68%. Persentase bentik lain Other sebesar 4,93%, dan persentase Abiotik cukup tinggi yaitu sebesar 19,33% dan didominasi pecahan
karan akibat aktifitas penangkapan dengan menggunakan bubu.
Gambar 34. Persentase Tutupan Karang pada Stasiun 5 di kedalaman 10 meter
Pada stasiun 5 kedalaman 10 meter
terdpat 12 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu Acropora Branching (ACB) 5,33%, Acropora
Encrusting (ACE) 0,42%, Acropora
Submassive (ACS) 4,45%, Acropora
Digitate (ACD) 7,50%, Acropora
Tabulate (ACT) 2,97%, Coral Encrusting
(CE) 6,97%, Coral Branching (CB)
3,12%, Coral Foliose (CF) 3,75%, Coral Massive (CM) 6,97%, Coral Submassive (CS) 5,18%, Coral Mussrom (CMR) 2,28%, Coral Heliopora (CHL) 1,32%.
Gambar 35.
Diagram karang batu yang ditemukan di Stasiun 5 kedalaman 10 meter.
5.6 Kondisi Karang pada Stasiun 6 Zona Perlindungan Bahari Lintea
5.6.1 Kedalaman 5 meter
Persentase tutupan karang hidup
Stasiun 6 di kedalaman 5 meter adalah 60,70 %. Nilai tutupan yang terdapat pada
stasiun ini dapat digolongkan dalam kategori baik. Persentase tutupan karang
hidup tersebut memiliki nilai terbesar untuk karang jenis massive sebesar 9,58 %. Dengan banyak nya jenis karang massive dan relatif dominan di stasiun
ini, maka disimpulkan persentase di stasiun ini memiliki arus yang kuat.
Tutupan karang mati ( DC) memiliki persentase sebesar 12,87 % terdiri
dari DC. Untuk jenis alagae yang ditemukan pada Stasiun 6 di kedalaman 5 meter
adalah jenis macro algae sebesar 4,02
% dan coraline algae 0,93 %. Persentase
abiotic didominasi oleh pecahan karang
( Rubble) sebesar 12,73 % dan untuk persentase biota lain ( Other ) sebesar 5,17 %.
Gambar 36. Persentase Tutupan Karang pada Stasiun 6 di kedalaman
5 meter.
Pada stasiun 6 kedalaman 5 meter
terdpat 10 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu Acropora Branching (ACB) 6,60%, Acropora
Submassive (ACS) 7,03%, Acropora
Digitate (ACD) 5,42%, Coral
Encrusting (CE) 1,67%, Coral
Branching (CB) 4,32%, Coral Foliose
(CF) 3,17%, Coral Massive (CM) 9,58%,
Coral Submassive (CS) 6,27%, Coral Mussrom (CMR) 3,20%, Coral meliopora (CME) 1,27%.
Gambar
37. Diagram karang batu yang ditemukan di Stasiun 6 kedalaman 5 meter
5.6.2 Kondisi Kedalaman
10 meter
Tutupan
karang hidup pada Stasiun 6 di kedalaman 10 meter adalah sebesar 64,52 %, nilai
tersebut dalam kategori baik dan memilki persentase karang mati sebesar 11,42
%. Karang Batu ini didominasi oleh jenis massive
yang merupakan jenis karang tahan
terhadap gelombang dan arus yang kuat. Persentase algae yang ditemukan sebesar
4,97 % , algae yang mendominasi adalah Macro
algae sebesar 3,92 % dan Halimeda
algae 1,05 %, others sebesar 4,78 % dan abiotik yang didominasi oleh
patahan karang sebesar 11,82 %.
Gambar 39. Persentase Tutupan Karang pada Stasiun 6 Kedalaman
10 meter
Pada stasiun 6 kedalaman 10 meter
terdpat 11 jenis karang hidup ( karang keras) yaitu Acropora Branching (ACB) 7,47%, Acropora
Encrusting (ACE) 4,40%, Acropora
Submassive (ACS) 5,73%, Acropora
Digitate (ACD) 3,02%, Acropora
Tabulate (ACT) 0,67%, Coral
Encrusting (CE) 7,63%, Coral
Branching (CB) 1,40%, Coral Foliose
(CF) 5,58%, Coral Massive (CM) 8,73%,
Coral Submassive (CS) 6,25%, Coral Mussrom (CMR) 2,92%.
Gambar
40. Diagram karang batu di Stasiun 6 kedalaman 10 meter.
5.7
Perbandingan Persentase Tutupan Karang Hidup
5.7.1
Perbandingan Persentase Tutupan Karang Hidup 5 meter dan 10 meter
Terumbu
karang yang diamati pada keseluruhan stasiun digolongkan dalam tipe terumbu
karang tepi (Freenging reef). Tipe
terumbu karang ini dicirikan dengan kedalaman yang tidak lebih dari 40 meter
dan berkembang sepanjaang pantai (Nontji, 1987).
Dari hasil pengamatan yang
dilakukan, terlihat bahwa persentase karang hidup secara keseluruhan kedalaman
5 meter adalah 59,72% kategori baik dengan nilai karang hidup tertinggi
terletak di stasiun 2 ( Zona Pariwisata Sombano Chanell) sebesar 69,72% dan
yang terendah di stasiun 4 (Zona Perlindungan Bahari) sebesar 54,13%.
Persentase karang hidup pada stasiun 2 (Zona Pariwisata Chanell) tergolong
bagus karena letak stasiun 2 yang jauh dari pemukiman penduduk sehingga tekanan
ekologi seperti aktifitas penangkapan sedikit dan merupakan tempat bertemunya
musim barat dan musim timur sehingga arus yang ada pada stasiun tersebut dapat
dilkatakan kuat dan normal untuk transportasi makanan dan unsure hara untuk
membantu pertumbuhan karang.
Gambar 41. Persentase tutupan karang hidup di
kedalaman 5 meter
Keterangan : Stasiun 1, 2, 3 Zona
Pariwisata
Stasiun 4, 5, 6 Zona Perlindungan Bahari
Gambar 42. Persentase Perbandingan Karang Hidup di
kedalaman 5 meter
Dan untuk persentase karang hidup
kedalaman 10 meter secara keseluruhan adalah 63,85% kategori baik dengan nilai
karang hidup tertinggi terletak di Stasiun2 sebesar 68,78% dan nilai yang terrendah
di Stasiun 1 sebesar 60,53% dari hasil yang tercatat diketahui bahwa stasiun 4
dan 5 (Zona Perlindungan Bahari) memilki
tutupan karang hidup dalam kategori sedang sebesar 61,60% dan 61,57%.
Hal ini dapat dibuktikan oleh ditemukannya sisa – sisa penggunaan bom (sianida)
yang pernah dilakukan oleh penduduk untuk pemenuhan kebutuhan ikan konsumsi (
Bryant, 1988).
Gambar 43. Persentase tutupan karang hidup di
kedalaman 10 meter
Keterangan : Stasiun 1, 2, 3 Zona
Pariwisata
Stasiun 4, 5, 6 Zona Perlindungan
Bahari
Gambar 44. Persentase Perbandingan Karang Hidup di
kedalaman 10 meter.
5.7.2
Perbandinagan Persentase Karang Mati
Sedangkan
untuk persentase karang mati yamg di temukan, nilai karang mati tertinggi
terletak di Stasiun 4 ( Zona Perlindungan Utara Kaledupa) sebesar 15,68% dan
yang terendah di Stasiun 2 (Sombano Chanell) sebesar 8,15%. Sebagian besar
karang mati yang terdapat di perairan Zona Pariwisata dan Perlindungan merupakan karang mati yang disebabkan oleh
aktifitas manusia, hal ini karena sering ditemukannya sisa dari alat tangkap
seperti bubu dan sisa dari bahan peledak atau bom (Sianida), dan penggunaan
jaring ikan yang pengoperasiannya menggiring ikan sampai ke kantung besar
dengan menginjak karang yang berada di dekatnya sehingga karang patah dan mati,
dan stasiun 4 merupakan jalur transportasi kapal. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Hermanlimianto & Budiyanto (1999) dan Knowlton (2001) dalam
Anggara (2006), yang menyatakan bahwa aktifitas manusia seperti penangkapan
ikan, pengambilan karang batu, pembuangan limbah rumah tangga dapat
mengakibatkan kerusakan bagi terumbu karang di suatu daerah.
Sebagian besar penduduk sekitar pulau
Kaledupa merupakan nelayan dan memilki perahu sewaan untuk membawa wisatawan
melakukan aktifitas snorkling/diving dengan menginjak karang, serta adanya
aktifitas lempar jangkar, hal ini juga memberikan kontribusi cukup besar dalam
kerusakan karang, koleksi biota laut jua berpengaruh terhadap rusaknya terumbu
karang (DKP, 2006).
Gambar 45. Persentase tutupan karang Mati di
kedalaman 5 meter
Keterangan : Satsiun 1, 2, 3 Zona
Pariwisata
Stasiun 4, 5, 6 Zona Perlindungan Bahari
Gambar 46. Persentase tutupan karang Mati di
kedalaman 10 meter
Keterangan : Satsiun 1, 2, 3 Zona
Pariwisata
Stasiun 4, 5, 6 Zona Perlindungan Bahari.
Gambar 47. Persentase Perbandingan Karang Mati
kedalaman 5 meter
Gambar 48. Persentase Perbandingan Karang Mati
kedalaman 10 meter
5.7.3
Perbandingan Persentase Tutupan Benthic
Secara umum persentase tutupan biota
bentik lainya memilki nilai yang berbeda – beda, sesuai dengan keadaan dan
kondisi lingkungan sekitarnya. Jumlah tutupan biota bentik lain di stasiun 5
kedalaman 5 meter menempati yang paling tinggi yaitu 5.74% dan terendah di
Stasiun 1 sebesar 3.02% dan Stasiun 3 sebesar 3.95%, Sedangkan untuk stasiun 2,
4 dan 6 berturut – turut adalah 5,15%, 4,19% dan 5,16%.
Gambar 49. Persentase tutupan Benthic
Keterangan : Satsiun 1, 2, 3 Zona
Pariwisata
Stasiun 4, 5, 6 Zona Perlindungan Bahari
Gambar 50. Persentase Perbandingan Benthic kedalaman
5 meter
Gamba 51. Persentase Perbandingan Benthic kedalaman
10 meter
5.7.4
Perbandingan Persentase Tutupan Abiotik
Persentase tutupan komponen abiotik
tertinggi terletak di stasiun 1 dan stasiun 5 yitu sebesar 26.36% dan 21.10% dikedalaman
5 meter dan didominasi oleh patahan karang (Rubble).
Hal ini dikarenakan Stasiun 1dan 5 merupakan jalur lintas dan pernahnya
ditemukan sisa dari bahan peledak (Sianida) di Stasiun 5 yang menyebabkan
karang patah dan hancur. Stasiun 2 (15,27%), Stasiun 3 (18,94%), Stasiun 4
(19.60%) dan Stasiun 6 ( 16,31%).
Persentase tutupan komponen abiotik
tertinggi pada kedalaman 10 meter terletak di Stasiun 1 sebesar (21.10%) dan
Stasiun 5 sebesar (19.34%) dari hasil yang tercatat dapat di simpulkan bahwa
dua Stasiun tersebut pada kedalaman 10 meter sering di lakukan penangkapan ikan
yang tidak ramah lingkungan, hal ini diperjelas pernah ditemukannya alat
tangkap bubu dan botol – botol plastik dari penggunaan bahan peledak (Sianida).
Gambar 52. Persentase tutupan Abiotik
Gambar 53. Persentase Perbandingan Abiotik kedalaman
5 meter
Gambar 54. Persentase Perbandingan Abiotik kedalaman
10 meter.
5.8
Perbandingan Zona Pariwisata dan Zona Perlindungan Keseluruhan
5.8.1
Perbandingan Karang Hidup dan Karang Mati
Gambar 55. Perbandingan tutupan karang hidup
dan karang mati keseluruhan
Untuk persentase tutupan karang hidup Zona
Pariwisata, seluruh kedalaman dan seluruh stasiun adalah sebesar 63,65% dan
masih digolongkan dalam kondisi baik, hal ini dikarenakan pada zona pariwisata
tidak diizinkan untuk melakukan kegiatan penagkapan serta memiliki arus yang
cukup kuat yaitu berkisar 0,28 m/s – 0,34 m/s sehingga karang hidup di Zona Pariwisata
dapat berkembang lebih baik, walaupun terkadang ditemukan nya nelayan yang
nakal, melakukan kegiatan penangkapan di Zona Pariwisata, sedangkan pada Zona
Perlindungan persentase tutupan karang hidup sebesar 59,93% dan masih
digolongkan pada kondisi baik, hal ini karena sering ditemukannya kegiatan
penangkapan yang dilakukan oleh nelayan sekitar pulau ataupun dari luar pulau
Kaledupa, dan pada Zona Perlindungan merupakan jalur lintas transportasi laut
yang sering dilewati oleh kapal – kapal yang membawa penumpang dan arus
perairan pada seluruh Zona Perlindungan sama dengan Zona Pariwisata berkisar
0,28 m/s - 0,34 m/s.
Tutupan karang mati pada Zona Perlindungan lebih
tinggi dibandingkan dengan Zona Pariwisata yaitu sebesar 12,42% hal ini diduga
akibat banyaknya nelayan yang melakukan penangkapan yang berasal dari luar
Pulau Kaledupa, dan merupakan jalur transportasi laut antar Pulau.
5.9 Indeks Keanekaragaman,
Keseragaman dan Dominasi
5.9.1 Nilai Indeks kedalaman 5
meter
Nilai keanekaragaman (H’) tutupan karang di
kedalaman 5 meter berkisar antara 3,17 – 3,50 dan memiliki populasi yang
tinggi, terjadi keseimbangan ekosistem, karena keanekaragaman yang tinggi
sehingga keseragaman rendah yaitu 0,89 – 0,95. Indeks Dominansi di kedalaman 5
meter adalah berkisar antara 0,10 - 0,10, dapat dilihat bahwa indeks Dominansi
( C ) mendekati nol yang berarti bahwa di dalam struktur komunitas biota yang
diamati tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominasi spesies lainya.
Gambar 56 .Grafik Nilai Indeks tutupan karang di
kedalaman 5 meter.
5.9.2 Nilai Indeks
di kedalaman 10 meter
Kondisi tutupan karang di kedalaman 10 meter di seluruh Zona
Pariwisata dan Zona Perlindungan Bahari dapat ditentukan dari nilai Indeks keanekaragaman
(H’), keseragaman ( E ) dan dominansi ( C ) dimana nilai Indeks Keanekaragaman
berkisar antara 3,38 – 3,47 dan memilki populasi yang tinggi, sehingga terjadi
keseimbangan ekosistem, dan keseragaman rendah yaitu berkisar antara 0,93 –
0,97. Indeks Dominansi ( C ) di kedalaman 10 meter berkisar antara 0,10 – 0,11.
Terlihat bahwa Indeks Dominansi mendekati nol yang berarti struktur komunitas
biota yang diamati tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominansi
biota lainya sesuai dengan pernyataan (Odum,1996).
Gambar
54 .Grafik Nilai Indeks tutupan karang di kedalaman 10 meter
5.10
Parameter Pembatas
Terumbu karang di
Wakatobi bertipe karang tepi (fringing reef), karang gosong, patch reef
dan atol. Rataan terumbu mempunyai lebar yang bervariasi antara 50 meter hingga
1,5 km untuk terumbu karang tepi. Rataan terumbu membentuk parit- parit dan
kumpulan karang di tepi tubir. Kondisi tubir hampir semuanya dengan reef
slope yang curam. Karang yang hidup di Wakatobi mencapai kedalaman lebih
dari 20 meter.
Pulau Kaledupa dikelilingi oleh rataan terumbu yang di dalamnya
terdapat beberapa pulau antara lain Pulau Kaledupa, Pulau Lintea, Darawa dan
Pulau Hoga. Mempunyai panjang lebih kurang 22,92 km dan lebar 7,31 km, dengan
rataan terumbu agak landai sampai kedalaman 5 meter dan melebar ke arah timur
dan utara. Pantai pasir putih dilanjutkan rataan terumbu yang lebar dengan
dasar berupa karang mati dan pasir lumpuran. Di Pulau Kaledupa terdapat Marine
Research Station. Di sebelah selatan perairan Pulau Kaledupa oleh Taman
Nasional Wakatobi ditetapkan sebagai daerah perlindungan (no fishing zone) (COREMAP, 2001).Koordinat
posisi pengambilan data di Zona Pariwisata dan Zona Perlindungan Bahari disajikan pada Tabel
2.
Tabel 2. Koordinat Stasiun Pengamatan
No
|
Nama Lokasi
|
Posisi
Penyelaman
|
Zona
|
1
|
Tanjung Sombano
|
05° 28' 12" LS
123° 40' 46" BT
|
Pariwisata
|
2
|
Sombano Chanell
|
05° 27' 46" LS
123° 41' 3" BT
|
Pariwisata
|
3
|
Mantigola
|
05° 30' 40" LS
123° 43' 6" BT
|
Pariwisata
|
4
|
Z.P.B utara kaledupa
|
05° 29' 56" LS
123° 49' 28" BT
|
Perlindungan Bahari
|
5
|
Darawa
|
05° 31' 5" LS
123° 53' 19" BT
|
Perlindungan Bahari
|
6
|
Lintea
|
05° 35' 34" LS
123° 50' 49" BT
|
Perlindungan Bahari
|
Tabel
3. Parameter Pembatas Terumbu Karang Pada Kedalaman 5 dan 10 meter
No
|
STASIUN
|
SALINITAS
(%0)
|
SUHU
(°C)
|
KECERAHAN
(m)
|
ARUS
(m/s)
|
1
|
I
|
33
|
29
|
10
|
0,34
|
2
|
II
|
33
|
29
|
10
|
0,34
|
3
|
III
|
34
|
30
|
10
|
0,28
|
4
|
IV
|
33
|
29
|
8
|
0,34
|
5
|
V
|
34
|
30
|
8
|
0,33
|
6
|
VI
|
33
|
30
|
10
|
0,28
|
Keterangan:
1. Stasiun 1 ( Pariwisata Sombano )
2. Stasiun 2 ( Pariwisata Sombano
Chanell )
3. Stasiun 3 ( Pariwisata Mantigola
)
4. Stasiun 4 ( Perlindungan Utara
Kaledupa )
5. Stasiun 5 ( Perlindungan Darawa )
6. Stasiun 6 ( Perlindungan Lintea )
Suhu
di setiap stasiun memiliki kisaran suhu antara 29,0°C – 30,0°C. Pada saat
pengamatan sedang berlangsung musim barat yang umumnya suhu berkisar 29,0°C -
32°C (Sukarno et al,1983).
Kisaran
suhu yang terdapat pada Zona Pariwisata dan Kawasan Zona Perlindungan Bahari
tercatat masih dalam kisaran hidup terumbu karang seperti yang diutarakan oleh Supriharyono (2007), bahwa dalam kehidupan terumbu karang
memiliki suhu kisaran untuk hidup antara 25,0°C – 29,0°C. (Menurut
Kinsman,1964 dalam Supriharyono,
2000) pada suhu di bawah 18,0 °C, dapat menghambat pertumbuhan karang bahkan mengakibatkan
kematian. Lebih lanjut lagi dikatakan suhu di atas
33,0oC dapat menyebabkan gejala pemutihan (bleaching), yaitu
keluarnya zooxanthellae dari polip karang dan akibat selanjutnya dapat
mematikan karang tersebut.
Suhu
merupakan faktor pembatas yang akan memberikan pengaruh besar terhadap
kehidupan karang sehingga juga akan berdampak pada kehidupan hewan lain yang
ikut berasosiasi bersama ekosistem terumbu karang. Tak hanya suhu, parameter
lainnya seperti salinitas, kecerahan serta arus juga merupakan bagian penting
dalam menunjang kehidupan terumbu karang. Salinitas yang terdapat di zona –
zona tersebut memiliki kisaran yang sama, baik pada Stasiun 1 hingga Stasiun 6
memiliki nilai salinitas 33,0 - 34,0‰, dan nilai tersebut masih sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
karang. Rohmimohtarto
dan Juwana (2007) menyatakan bahwa
salinitas air yang berada dibawah 35,0‰ akan menjadi lingkungan yang baik
bagi terumbu karang.
Intensitas
cahaya merupakan salah satu faktor penting bagi pertumbuhan karang, kecerahan
di daerah pengamatan memiliki nilai kecerahan hingga dasar perairan. Penyinaran
yang baik ini tentu akan sangat mempengaruhi kehidupan karang karena proses
fotosintesa dapat berjalan dengan baik, seperti yang dinyatakan Rohmimohtarto
dan Juwana (2007). Cahaya diperlukan untuk
fotosintesis zooxanthellae yang produk atau hasilnya kemudian
disumbangkan kepada hewan karang yang menjadi inangnya (Nontji, 2005).
Pada saat pengamatan di Zona Pariwisata dan Zona
Perlindungan bahari sedang berlangsung Musim Barat dan yang ditandai oleh angin yang biasanya bertiup
di
pagi hari dan malam hari dengan kecepatan tinggi (badai angin), sehingga
menyebabkan gelombang air laut yang besar (ketinggian gelombang 1 – 1,5 meter).
Hal tersebut diduga mempengaruhi kecepatan arus di daerah pengamatan yang memiliki kisaran 0,28 - 0,34
m/, arus atau gelombang penting
untuk transpotasi unsur hara, larva, bahan sedimen dan oksigen. Selain itu arus
atau gelombang dapat membersihkan polip karang dari kotoran yang menempel, itulah
sebabnya karang yang hidup di daerah berombak atau berarus kuat lebih
berkembang dibanding daerah yang tenang dan terlindung (DKP, 2006).
5.11 Upaya Pengelolaan
Melihat
permasalahan yang ada di perairan Kepulauan Wakatobi, maka upaya penyelamatan
terumbu karang bukanlah perkara mudah. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh
berbagai pihak seperti Pemerintah Daerah, Dinas Perikanan, Taman Nasional
Wakatobi bahkan masyarakat setempat khususnya di Pulau Kaledupa, seperti
meningkatkan kesadaran masyarakat dengan penyuluhan-penyuluhan tentang terumbu
karang dan membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pembentukan LSM ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia melalui pelatihan
yang berkaitan dengan pengelolaan dan teknik rehabilitasi terumbu karang dan
juga berfungsi untuk memperkuat koordinasi antar instansi yang berperan dalam
penanganan terumbu karang baik pengelola kawasan, aparat keamanan, pemanfaat
sumberdaya dan pemerhati lingkungan.
Dengan
pengembangan kelembagaan ini maka diharapkan pengelolaan terumbu karang
berbasis masyarakat akan memberikan manfaat yaitu dapat meningkatkan peran
serta masyarakat sebagai pemanfaat terumbu karang dan mempertinggi rasa
tanggung jawab masyarakat sehingga lebih aktif berperan serta melestarikan
sumberdaya terumbu karang.
Pernyataan tersebut
didukung oleh Supriharyono dalam Ikawati (2001) yaitu langkah
implementasi pengelolaan terumbu karang meliputi 3 hal, yaitu:
1.
Pengaturan kelembagaan
dan organisasi untuk mempermudah pelaksanaan pengelolaan.
2.
Memerlukan intervensi
masyarakat secara langsung dalam mengubah tingkah laku yang terjadi pada
anggota masyarakat, termasuk instrumen kebijakan.
3.
Keikutsertaan
pemerintah atau pengusaha secara langsung.
Lembaga-lembaga swadaya masyarakat di Pulau Kaledupa dan
Hoga, yang turut membantu dalam upaya pengelolaan terdiri dari:
1.
Kepemudaan Pencinta
Alam Laut, yang bergerak dalam upaya Pengawasan Pemanfaatan terumbu Karang.
- Intensi WWF yang bergerak dalam upaya pengelolaan dan pengawasan pemanfaatan terumbu karang di sekitar pulau Kaledupa dan Hoga.
- Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Indonesian Coral Reef Foundation) yang merupakan organisasi yang bergerak dalam upaya pelestarian dan pengelolaan terumbu karang serta biota laut yang ada didalamnya sehingga dapat berkelanjutan.
- Coremap dan LIPI yang bertujuan untuk menyelamatkan dan memanfaatkan sumberdaya terumbu karang secara lestari dan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat dengan cara meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk membantu pengelolaan terumbu karang.
Selain lembaga tersebut
yang rutin melakukan program-program pengelolaan terumbu karang adalah pihak
Taman Nasional Wakatobi ( BTNW ) khusus nya wilayah II yang sering melakukan
Patroli rutin 2 kali dalam seminggu yang bertujuan menghindari
kecurangan-kecurangan nelayan yang menangkap ikan di tempat yang dilarang untuk
menangkap di sekitar pulu Kaledupa dan Hoga. Selain itu juga pihak Taman
Nasional juga melakukan Penataan zonasi juga merupakan penataan
ruang pada setiap kawasan taman nasional dimana penerapan dan penegakan hukum
dilaksanakan secara tegas dan pasti.
Sebagai konsekuensi dari sistem zonasi
tersebut, maka setiap perlakuan atau kegiatan terhadap kawasan taman nasional,
baik untuk kepentingan pengelolaan dan pemanfataan, harus mencerminkan pada
aturan yang berlaku pada setiap zona dimana kegiatan tersebut dilakukan. Dengan
demikian keberadaan zonasi dalam sistem pengelolaan taman nasional menjadi
sangat penting, tidak saja sebagai acuan dalam menentukan gerak langkah
pengelolaan dan pengembangan konservasi di taman nasional, tetapi sekaligus
merupakan sistem perlindungan yang akan mengendalikan aktivitas di dalam dan
disekitanya.
Balai Taman Nasional Wakatobi (BTNW)
dalam pengelolaan dikelola dengan sistem zonasi
untuk menjaga kawasan dan potensi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya. Guna memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari.
Sehingga dapat dimanfaatkan dengan tujuan penelitian, pariwisata serta
pengelolaan sumber daya alam yang terkontrol dengan baik.
Penataan zonasi juga merupakan penataan
ruang pada setiap kawasan taman nasional dimana penerapan dan penegakan hukum
dilaksanakan secara tegas dan pasti. Sebagai konsekuensi dari sistem zonasi
tersebut, maka setiap perlakuan atau kegiatan terhadap kawasan taman nasional,
baik untuk kepentingan pengelolaan dan pemanfataan, harus mencerminkan pada
aturan yang berlaku pada setiap zona dimana kegiatan tersebut dilakukan. Dengan
demikian keberadaan zonasi dalam sistem pengelolaan taman nasional menjadi
sangat penting, tidak saja sebagai acuan dalam menentukan gerak langkah
pengelolaan dan pengembangan konservasi di taman nasional, tetapi sekaligus
merupakan sistem perlindungan yang akan mengendalikan aktivitas di dalam dan
disekitanya.
5.11.1
Pemasangan Marka
Kegiatan
pemasangan pembatas zonasi (marka) sebelumnya sudah mendapat persetujuan dari
pihak pemerintah, masyarakat dan balai taman nasional wakatobi sendiri,
pemasangan marka ini dilakukan satu tahun sekali, agar masyarakat dapat
mengetahui batas –batas yang boleh dimanfaatkan dan tidak boleh dimanfaatkan
dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan ataupun kegiatan lainya yang dapat
merusak terumbu karang serta ekositem itu sendari sehingga dapat bermanfaat dan
berkelanjutan.
5.11.2 Kegiatan Penjagaan
Untuk menjaga daerah zona pariwisata dan zona
perlindungan bahari di pulau kaledupa polisi Kehutanan (polhut) dan polisi air
(polairut) setempat bekerjasama dalam menjaga batas – batas zonasi sehingga
kegiatan penagkapan dilakukan pada zona yang telah ditentukan atau ditetapkan
oleh TNW (Taman Nasional Wakatobi).
Kegiatan
penjagaan dilakukan setiap hari yang bertempat di pulau Kaledupa dengan
melakukan kegiatan penjagaan terhadap para wisatawan lokal maupun mancanegara
serta masyarakat lokal yang sedang melakukan kegiatan penagkapan yang tidak
sesuai pada zona tertentu.
No comments:
Post a Comment